Apa yang bisa dilakukan?
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat? Ini pertanyaan yang cukup pelik karena kompleksitas persoalannya. Satu hal yang kiranya dapat dijadikan pijakan bahwa usaha untuk mencari solusi dalam upaya mengembalikan moralitas seksual kepada martabat kemanusiaannya haruslah menjadi usaha kolektif yang berangkat dari kesadaran semua pihak sehingga tidak lagi terjadi paradoks dan ambiguitas dalam memandang problematika kehidupan seksual dalam masyarakat. Tulisan ini ingin mengacu pada beberapa kerja sosial yang barang kali dapat dijadikan alternatif solutif.
Pertama, seks memang tidak perlu dijadikan hanya sebagai wacana kamar tidur. Wacana seks seharusnya dapat dibuka secara lebih luas sehingga terdapat ruang-ruang publik untuk membicarakan persoalan-persoalan seksualitas yang lebih bermoral dan luhur. Karenanya publikasi wacana seks seyogyanya menekankan pada dimensi edukatifnya. Selama ini yang kita saksikan adalah publikasi wacana seks yang justru lebih menonjolkan dimensi rangsangan, gairah, godaan dan kenikmatannya seperti yang kita saksikan melalui iklan, tobloid, internet dan media lainnya, sehingga publikasi wacana seks justru mengakibatkan terjadinya gelombang gairah untuk mereguk kenikmatan seksual sebabas-bebasnya, bukannya perilaku seks yang bertanggung jawab dan bermoral.
Kedua, pendidikan kiranya dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya untuk mencari solusi bagi persoalan moralitas seksual masyarakat modern, terlebih dunia pendidikan sendiri juga “bermasalah” dengan persoalan ini. Pendidikan harus mampu menciptakan kesadaran akan perlunya menjaga keluhuran nilai-nilai seksual, dan bukan hanya memproduksi pengetahuan tentang seksualitas.
Pendidikan dapat mengembalikan nilai-nilai tanggung jawab dalam seksualitas yang telah banyak dikikis oleh budaya seks bebas. Kehidupan seksual melibatkan relasi antara sepasang manusia. Hubungan seksual selalu melibatkan orang lain. Karenanya, tanggung jawab menjadi penting, sebab dalam setiap perilaku manusia yang melibatkan orang lain, aspek tanggung jawab harus juga disertakan.
Pendidikan juga dapat memainkan peran untuk menumbuhkan kesadaran akan dimensi-dimensi yang lebih luhur dari seksualitas. Nilai-nilai modernitas telah mereduksi seksualitas menjadi semata-mata persoalan kenikmatan biologis, bersifat material. Apa yang kita sebut peradaban modern telah mencampakkan aspek-aspek filofofis dari seksualitas. Kiranya, dimensi yang lebih dalam inilah yang perlu diangkat kembali untuk menumbuhkan kesadaran akan perlunya menjaga perilaku seks yang lebih bermoral. Seksualitas erat kaitannya dengan usaha manusia untuk mempertahankan eksistensinya di dunia melalui fungsi prokreatif, sehingga seks mempunyai keterkaitan dengan sifat kemahapenciptaan Tuhan, karenanya bersifat sakral. Dimensi sakral dan prokreatif inilah yang mengharuskan hubungan seksual dilakukan dengan cara-cara yang lebih manusiawi dan beradab melalui lembaga pernikahan.
Ketiga, perlu ada perubahan perspektif dalam upaya penanggulangan masalah-masalah seksualitas. Lembaga-lembaga yang bergerak dalam penyuluhan tentang seks selama ini tampaknya lebih berusaha untuk mencari solusi bagi dampak yang ditimbulkan oleh perilaku seks bebas daripada menyelesaikan persoalan seks bebas itu sendiri. Mereka menyerukan penanggulangan AIDS, kahamilan di luar nikah atau aborsi, tapi tidak menyentuh persoalan yang sebenarnya lebih mendasar, perilaku seks bebas itu sendiri. Maka muncullah anjuran-anjuran: “jangan gonta ganti pasangan!” (artinya, walaupun tidak nikah asalkan dilakukan dengan hanya satu pasangan tidak menjadi soal), atau “pakailah kondom!”. Melaui kampanye kondomisasi atau pemakaian kontrasepsi yang juga menjadi program Keluarga Berencana, seolah-olah ingin dikatakan kepada masyarakat, “nikmatilah kehidupan seksual sebebas-bebasnya, dan mari kita hindarkan kehamilan atau AIDS melalui kondom atau kontrasepsi”.
Perspektif ini perlu kita rubah. Kampanye untuk menyelesaikan persoalan seksualitas bukan hanya diarahkan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perilaku seks bebas tetapi terutama pada perilaku seks bebas itu sendiri, sehingga seruannya tidak berbunyi “setialah pada pasangan anda atau pakailah kondom!”, tapi “mari kita bina kehidupan seksual yang lebih beradab, bermoral, bertanggung jawab dan mampu mengangkat harkat dan martabat manusia dan kemanusiaannya!”. Begitulah kira-kira bentuk seruannya.
Demikianlah beberapa pemikiran di seputar persoalan seksualitas manusia modern beserta altenatif-altenatif solusinya. Persoalan seksualitas bukan sekedar persoalan privat, tapi telah menjadi persoalan publik sehingga harus diselesaikan secara individual melalui kesadaran pribadi akan perilaku seksual yang lebih manusiawi dan secara sosial melalui kerja-kerja kolektif.
Catatan Kaki
[1] F. X. Rudi Gunawan, Krisis Orgasme Nasional, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 23.
[2] “Ini Alasan Risma "Ngotot" Tutup Lokalisasi Prostitusi”, Kompas Online, http://regional.kompas.com/read/2014/03/11/1348295/Ini.Alasan.Risma.Ngotot.Tutup.Lokalisasi.Prostitusi. diakses 25 Agustus 2014.
[3] Beberapa cerita tentang hasil penelitiannya ini kemudian dituangkan oleh Iip Wijayanto dalam Iip Wijayanto, Sex In The “Kost”: Realitas dan Moralitas Seks Kaum “Terpelajar”, (Yogyakarta: Tinta, 2003)
[4] Idi Subandy Ibrahim, Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1997), 14.
[5] Moammar Emka, Jakarta Undercover: Sex ‘n The City, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), 1-19.
[6] Emka, Jakarta., xxxix-xl.
DISCLAIMER
|