Konstruksi Hoax

Konstruksi Hoax - Sumber. WikimediaKonstruksi Hoax - Sumber. WikimediaHoax dalam Merriam-Webster Dictionary didefinisikan sebagai “to trick into believing or accepting as genuine something false and often preposterous” atau tipu muslihat untuk membuat orang percaya sesuatu sebagai benar padahal sejatinya hanya berita bohong dan seringkali bertentangan dengan akal sehat atau nalar. Dalam kamus Cambridge, hoax didefinisikan sebagai “a ​plan to ​deceive someone, such as ​telling the ​police there is a ​bomb ​somewhere when there is not one”. Singkatnya hoax dapat diterjemahkan sebagai berita bohong atau palsu. Salah satu model pemberitaan palsu yang paling umum adalah menyampaikan informasi tentang suatu kejadian yang berbeda dengan kejadian sebenarnya.

Sebuah berita hoax dapat menyebar dengan cepat bak virus yang dalam sekejap menjadi wabah di dunia virtual. Penyebaran hoax yang begitu cepat juga didukung oleh kenyataan bahwa para pengguna internet cenderung mematikan otak kritis mereka ketika berhadapan dengan berbagai konten berita sensasional di internet. Di dunia media sosial, sensasi merupakan hal yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan sifat aktifitas netizen di media sosial yang selalu diarahkan untuk mendapat dan mengumpulkan klik pada tombol like, share dan komentar sebanyak-banyaknya. Makin sensasional sebuah berita atau informasi, makin mungkin untuk mendapat banjir like, share and comments.

Hoax sangat sering memanfaatkan emosi dan sentimen primordial seperti agama, ras atau etnis dalam berita-berita yang disajikannya. Salah satu sentimen yang paling sering digunakan oleh para pembuat berita hoax di Indonesia adalah sentimen keagamaan. Tampaknya, mereka sadar benar bahwa di hadapan sentimen dan emosi keagamaan, nalar kritis pembaca dapat dengan mudah ditundukkan dan “dibunuh”.

Hoax-hoax berlatar belakang sentimen agama menyebar begitu cepat dengan memanfaatkan kemarahan pembaca akibat kepercayaan yang terganggu atau terkoyak. Mereka dengan serta merta menyebarkan informasi-informasi hoax seperti ini tanpa pikir panjang. Bagi mereka, menyebarkan informasi seperti ini adalah bagian dari pembelaan terhadap agama dan kepercayaan mereka. Mereka bukan hanya tidak lagi peduli dengan orisinalitas dan validitas informasi, tapi mereka juga acap kali bersikap emosional ketika ada netizen lain mengingatkan bahwa informasi tersebut adalah bohong. Pihak-pihak yang mengingatkan bahkan dapat saja dituduh sebagai musuh agama melalui sebutan sebutan represif seperti sekuler, liberal atau antek Yahudi dan sebutan bernada menyerang lain.

Yang tak kalah mencengangkan adalah kenyataan bahwa para penyebar hoax tak jarang adalah mereka-mereka yang merupakan kaum terdidik, bahkan yang bergelar doktor dan profesor sekalipun. Etika dan prinsip validitas kebenaran ilmiah yang mestinya sangat dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan tampaknya sirna begitu saja ketika mereka larut dalam dunia media sosial. Nalar kritis yang menjadi milik berharga kaum akademisi seolah mati seketika.

Di tengah dunia yang sudah memasuki tahap di mana manusia tak mungkin dapat lepas dari internet, situasi ini begitu mengkhawatirkan. Manusia seakan tak lagi bisa membedakan mana realitas virtual dan mana realitas sebenarnya. Realitas virtual yang sebenarnya terdiri dari media citra tak lagi bisa dibedakan dari realitas nyata yang terdiri dari air, tanah, udara, manusia dan segenap unsur nyata lain. Akibat kecanggihan teknologi informasi, citra yang dibentuk oleh teknologi virtual tampak begitu nyata dan alami sehingga para penggunanya tak lagi bisa membedakan dengan kenyataan yang sebenarnya.

Situasi ini menyebabkan begitu mudahnya orang menciptakan realitas rekaan dan kemudian mempropagandakannya sebagai benar-benar terjadi. Di hadapat virtual reality, realitas-realitas rekaan ini terus diproduksi setiap hari yang lalu dipercaya banyak orang sebagai benar terjadi. Batas antara dunia maya dan dunia nyata tampaknya sudah hilang seiring musnahnya nalar kritis para pengguna media sosial.

Konstruksi Realitas Melalui Hoax

Lazimnya, sikap kritis berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan kedalaman pengetahuan seseorang. Tetapi tampaknya hal ini tidak berlaku pada penyebaran informasi rekaan (hoax) di dunia maya. Para penyebar hoax di jagad virtual tak jarang adalah mereka-mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.

Fenomena seperti ini tampaknya berkaitan erat dengan sifat kenyataan yang berbeda antara realitas sehari-hari di dunia riil dengan realitas di dunia maya. Realitas maya sesungguhnya pada prinsipnya bersifat simulatif. Ia hanya cerminan apa yang benar-benar ada di dunia nyata. Hanya saja, tak jarang realitas simulatif ini dialami oleh para penikmatnya dengan cara yang tak kalah nyata dengan kenyataan riil sehari-hari. Akibatnya para penggunanya tak jarang mengalami kesulitan dalam membedakan mana kenyataan simulatif dan mana kenyataan riil. Kenyataan simulatif itu kerap dipandang sama riilnya dengan kenyataan di dunia nyata.

Peter L. Berger membagi realitas menjadi dua: realitas obyektif dan realitas subyektif. Individu “mengalami” masyarakat sebagai kenyataan obyektif dan subyektif sekaligus. Kenyataan obyektif adalah kenyataan yang ada di luar diri kita, sementara kenyataan subyektif ada di dalam diri kita. Kedua kenyataan ini memiliki kaitan satu sama lain. Kenyataan hidup sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan (obyektif) yang kemudian ditafsirkan manusia dan mempunyai makna subyektif bagi manusia (realitas subyektif). Sebaliknya, kenyataan subyektif merupakan dunia yang berasal dari pikiran-pikiran manusia dan tindakan-tindakan mereka yang kemudian dipelihara sebagai sesuatu yang nyata oleh pikiran dan tindakan itu (Berger dan Luckmann, 1990).

Realitas subyektif lazimnya memang berhubungan dengan realitas obyektif, tetapi ada juga realitas yang hanya ada di alam subyektif tanpa benar-benar eksis secara obyektif. Hal ini mungkin saja terjadi akibat keberhasilan sosialisasi. Sosialisasi memungkinkan penciptaan realitas yang sesungguhnya tidak pernah ada dalam kenyataan. Ia hanya hidup dalam dunia subyektif manusia tetapi dialami dan dipelihara sebagai realitas obyektif oleh pikiran manusia itu sendiri.

Penciptaan dan penyebaran berita hoax mengikuti proses seperti ini. Hoax adalah tipe berita rekaan yang tidak benar-benar ada dalam kenyataan. Tetapi proses sosialisasi dan penyebarannya memungkinkan hoax berubah menjadi kenyataan, ketika secara subyektif diyakini kebenarannya oleh para penerima hoax sebagai benar-benar ada. Hoax tiba-tiba seolah menjadi kenyataan yang diperlakukan oleh pikiran manusia sebagai sesuatu yang riil dan mempengaruhi interaksi manusia sebagaimana hal riil lain.

Proses penyebaran berita rekaan ini biasanya menggunakan strategi untuk mengaburkan antara apa yang riil dan apa yang sebetulnya tidak pernah benar-benar ada dalam kenyataan. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menghubungkan hoax dengan peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di masyarakat, seperti gempa, pembegalan dan peristiwa-peristiwa lain yang benar-benar terjadi dan menyedot perhatian publik.

Strategi pengaburan realitas seperti ini bisa sangat efektif terutama jika kejadian-kejadian riil itu dipandang sebagai sesuatu yang meresahkan atau memunculkan ketakutan pada masyarakat. Rasa takut kerap membuat orang begitu mudah percaya dengan informasi yang seolah hendak menawarkan jalan keselamatan tanpa peduli kebenaran informasi yang disampaikan.

Keberhasilan hoax kerap juga ditentukan oleh keberhasilan memancing emosi atau simpati penerima hoax. Emosi dan simpati ini ditujukan untuk “membunuh” rasionalitas. Itu sebabnya hoax kerap memanfaatkan keberpihakan politik dan emosi keagamaan yang biasanya berkaitan dengan sikap terhadap aliran agama lain. Berita-berita rekaan yang sesuai dengan kepentingan politiknya atau paham keagamaannya akan lebih mudah dipercaya sebagai kebenaran. Sebaliknya orang cenderung resisten dengan berita-berita yang berseberangan dengan keberpihakan politik dan pemahaman keagamaannya. Nalar kritis seolah tak lagi berfungsi.

Kematian nalar kritis ini menunjukkan dengan jelas bagaimana realitas rekaan dapat dengan mudah menjadi realitas subyektif ketika sebelumnya telah terbentuk konstruksi subyektif tertentu dalam pikiran individu.

Dalam bahasa Peter L. Berger, proses penciptaan realitas subyektif ini disebut sebagai internalisasi. Internalisasi memungkinkan individu menyerap kembali segala sesuatu yang ada di luar sana dan tersedia baginya sehingga seakan menjadi keyakinan dirinya sendiri. Dalam kasus penyebaran hoax, proses internalisasi ini dapat berupa penyebaran berita hoax itu sendiri yang didesain dengan begitu rapi sehingga mudah dipercaya oleh orang sebagai kebenaran.

 

BACAAN:

Berger, Peter L., dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990.


DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini