Persoalan gender hingga saat ini menjadi salah satu wacana utama yang hampir tidak pernah absen ketika membicarakan isu-isu kemanusiaan. Wacana tentang hak-hak perempuan menjadi salah satu arus penting dunia bersamaan dengan meningkatnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Isu tentang gender selalu muncul dalam setiap bidang kehidupan: politik, budaya, agama dan ekonomi.
Sosialisasi merupakan proses yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Tidak mungkin membayangkan masyarakat manusia tanpa proses sosialisasi. Letak penting proses sosialisasi adalah fungsinya sebagai media belajar bagi masyarakat untuk memahami dan membentuk dunianya. Tanpa sosialisasi, manusia lebih mirip sebuah benda daripada seorang pribadi yang utuh. Melalui sosialisasi, manusia belajar berkomunikasi satu sama lain dan menyampaikan makna-makna.
Manusia tidaklah terlahir dengan membawa perbekalan pengetahuan bersamanya. Ia lahir dalam kondisi tidak tahu apa-apa. Orang-orang terdekatnya kemudian mengenalkan makna kata-kata kepadanya sehingga dia mulai belajar memahami apa yang ada di sekitarnya melalui makna kata-kata. Ia juga belajar mengenal nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melalui keluarga dan lingkungan pergaulan. Proses inilah yang disebut dengan sosialisasi.
Walaupun budaya memiliki banyak variasi, tetapi selalu memiliki elemen-elemen yang sama. Ada beberapa varian pembagian elemen kebudayaan menurut para sosiolog. Tapi setidaknya, ada empat elemen mendasar yang tidak pernah absen dalam setiap kebudayaan. Keempat elemen tersebut adalah simbol, bahasa, nilai dan norma. [1] Keempat elemen ini tak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahasa misalnya, selalu merupakan representasi paling utuh dari semesta simbolik, nilai dan norma yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Budaya memiliki empat karakteristik umum yang ada dalam setiap kebudayaan. Salah satu aspek penting dari budaya adalah simbol. Budaya selalu bersifat simbolik. Budaya juga tidak pernah hanya dimiliki oleh individu perorangan. Budaya selalu dikonstruksi secara bersama-sama oleh masyarakat. Ada masa ketika suatu praktik budaya bertahan melalui proses sosialisasi, tetapi pada saat lain budaya juga pasti akan mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat.
Bagi Plato, berpikir adalah aktifitas berbicara dengan diri sendiri. Dalam benak filosof seperti Plato, aktifitas berpikir merupakan aktifitas yang bersifat soliter, kontemplatif dan privat. Ketika seorang individu sedang berpikir, Ia sedang dalam kondisi memisahkan diri dari dunia sosialnya. Aktifitas berpikir adalah aktifitas yang memungkinkan individu membangun tembok pemisah antara dirinya dengan lingkungan di luarnya. Gagasan seperti ini mendominasi peta wacana selama berabad-abad. Baru pada akhir abad ke-20, gagasan ini mendapat tantangan.[1]
Membincangkan budaya tak bisa dipisahkan dari manusia sebagai penciptanya. Sebagai pencipta kebudayaan, manusia tidak pernah sendiri. Manusia menciptakan, memelihara dan merubah kebudayaan secara bersama-sama sebagai kesatuan masyarakat. Itu sebabnya, budaya tidak pernah terisolasi menjadi milik orang-perorangan secara pribadi. Budaya selalu dimiliki bersama oleh masyarakat atau komunitas tertentu.
Sebagai sebuah keniscayaan, perubahan kebudayaan tak mungkin dapat dielakkan. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan kebudayaan. Yang membedakan hanyalah kecepatan dan besar-kecilnya perubahan yang terjadi. Hal ini berkaitan erat dengan karakter masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan sistem sosial yang terbuka lebih mudah menerima perubahan daripada masyarakat dengan sistem sosial yang cenderung tertutup.