Dampak Ikutan Perubahan Kebudayaan

Sebagai sebuah keniscayaan, perubahan kebudayaan tak mungkin  dapat dielakkan. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan kebudayaan. Yang membedakan hanyalah kecepatan dan besar-kecilnya perubahan yang terjadi. Hal ini berkaitan erat dengan karakter masyarakat yang bersangkutan.  Masyarakat dengan sistem sosial yang terbuka lebih mudah menerima perubahan daripada masyarakat dengan sistem sosial yang cenderung tertutup.


Ada perubahan-perubahan yang berjalan lancar tanpa halangan berarti. Ada perubahan yang memerlukan waktu yang sangat lama. Ada juga perubahan yang menyebabkan terjadinya kegelisahan sosial, konflik atau juga situasi chaos.


Salah satu dampak ikutan dari perubahan kultural adalah munculnya fenomena yang biasa disebut sebagai cultural lag. Kesenjangan kebudayaan atau cultural lag dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama adalah cultural lag antar generasi yang berbeda dalam sebuah masyarakat. Kedua kesenjangan antar elemen kebudayaan yang memiliki kecepatan laju yang berbeda.


Cultural lag pertama biasanya terjadi karena orang-orang tua tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan budaya yang terjadi pada diri anak-anak muda. Akibatnya kemudian adalah anak-anak muda memiliki pegangan nilai yang berbeda dengan orang tua mereka. Anak-anak muda sangat mudah menerima ide-ide baru, sementara orang-orang tua cenderung bertahan dalam definisi-definisi dan nilai-nilai lama yang oleh kaum muda sudah dianggap usang.


Cultural Lag kedua terjadi karena terdapat elemen-elemen kebudayaan yang memiliki laju perkembangan sangat cepat dan sangat mudah berubah sementara elemen budaya lain cenderung lambat dan tidak mudah berubah. Fenomena ini dapat ditemukan dalam perkembangan teknologi informasi dewasa ini yang kecepatan perkembangannya hampir-hampir tidak dapat diikuti. Teknologi informasi hadir dengan kecepatan tinggi yang seringkali membuat masyarakat tergagap. Perkembangan teknologi HP adalah contoh nyatanya. Kemunculan smartphone menunjukkan betapa kecepatan perkembangan teknologi HP luar biasa tinggi. Teknologi 3G baru mulai diperkenalkan di Indonesia, mucul lagi teknologi 4G yang sudah mendesak pasar, padahal peralihan dari teknologi 3G ke 3,5G pun masih belum tuntas diikuti masyarakat.
Hal ini berbeda dengan elemen kebudayaan lain seperti keyakinan keagamaan yang relatif tidak mudah berubah. Agama menyangkut dimensi keyakinan dan selama berkenaan dengan keyakinan, perubahan akan sulit terjadi atau terjadi dalam waktu yang sangat lambat. Ini menyebabkan terjadinya kesenjangan budaya. Kesenjangan itu tampak misalnya dari kebingungan sebagian tokoh agama dalam mensikapi fenomena-fenomena baru dalam dunia cyber seperti online shop, trading, gold infestation, carding, cyber-crime atau bahkan facebook dan twitter.


Dampak ikutan lain dari proses perubahan sosial adalah terjadinya fenomena anomie. Anomie dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, anomie terjadi karena masyarakat tidak lagi memiliki pegangan yang pasti terhadap nilai-nilai atau keyakinan. Nilai-nilai baru yang masuk belum sepenuhnya diterima sebagai suatu kebenaran sementara nilai-nilai lama sudah dianggap usang dan tidak relevan. Situasi ini menyebabkan masyarakat berada dalam kondisi tanpa nilai atau yang biasa disebut dengan istilah anomie.
Kedua, terjadi apabila ada keterputusan hubungan antara harapan-harapan masyarakat yang ditetapkan oleh kultur dengan kemampuan struktur untuk mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan kultur.  Konsep anomie ini dikemukakan oleh Robert K. Merton. Bagi Merton, anomie terjadi ketika kultur menghendaki perilaku atau keadaan tertentu dalam sebuah masyarakat tetapi justru struktur sosial yang tidak mampu memenuhi kehendak kultur (Ritzer dan Goodman 2004:142–43).


Anomie jenis ini misalnya terjadi dalam diri seorang anggota masyarakat yang telah memperoleh pendidikan tinggi. Masyarakat mengharapkan bahwa mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi hendaknya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, memiliki pekerjaan yang terhormat dan tidak menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain. Akan tetapi struktur sosial justru tidak mampu mengakomodasi harapan kulturnya sendiri. Tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai atau tidak ada kesempatan yang adil bagi mereka untuk mengembangkan usaha. Keadaan ini bisa jadi menyebabkan mereka mengambil jalan pintas: mencari uang dengan cara yang tidak benar, misalnya dengan menjadi pengedar narkoba. Ini dilakukan agar harapan struktur agar ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tercapai, walaupun dengan cara yang illegal.

Referensi

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.


DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini