Sociology of Food: You Are What You Eat!

Tahukah kamu, berapa banyak buku yang harus kamu baca, berapa teori yang harus kamu kuasai, atau berapa lama waktu yang harus kamu habiskan di bangku kuliah untuk dapat memahami dengan baik karakteristik sebuah masyarakat? Tidak, tidak, tidak..., kamu tidak memerlukan itu semua. Kamu hanya perlu membeli sepotong ayam goreng KFC. Pilih bagian paha, itu selalu lebih lezat. Percayalah...smile

Memahami masyarakat melalui sepotong ayam goreng? Tentu saja, saya tidak sedang bergurau. Sepotong ayam goreng dengan bungkus bergambar seorang pria tua berjenggot putih, dapat membuat kamu memahami masyarakat secara baik. Bagi seorang sosiolog, sepotong ayam Kentucky itu tak pernah benar-benar sekedar ayam goreng, tapi terutama adalah sistem sosial dan kultural, atau bahkan sistem ekonomi masyarakat.

You are what you eat" atau "What you eat is what you are”, begitu kalimat yang sering kita dengar. Pilihan atas jenis makanan bukan hanya menentukan karakteristik seseorang tapi juga sebuah masyarakat. Dalam perspektif consumer culture, memilih jenis makanan adalah urusan kompleks. Ini terutama bukan soal perut, tetapi soal penegasan identitas kelas. Berbagai produk makanan, termasuk ayam goreng KFC, dijual dan dikonsumsi bukan untuk memuaskan rasa lapar, tetapi untuk sebuah strategi distinction (meminjam istilah Bourdieu), menegaskan identitas kelas dengan cara melakukan hal berbeda dengan kelas-kelas lain yang mereka tak ingin menjadi bagiannya, tentunya adalah kelas yang mereka identifikasi sebagai lebih rendah.

Ada perubahan mendasar pada pola konsumsi masyarakat kontemporer. Dulu, kelas menentukan pola konsumsi, tapi kini, konsumsi lah yang menentukan kelas. Di masa lalu, seorang yang berasal dari kelas bawah akan dianggap tidak layak mengkonsumsi barang-barang yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas atas. Pada masyarakat kontemporer, hal semacam ini tidak berlaku. Makin banyak komoditas kelas atas yang dikonsumsi seseorang, makin meningkat pula kedudukannya di masyarakat. Kelas akan berubah mengikuti perubahan pola konsumsinya. (Douglas J. Goodman & Mirelle Cohen, 2003)

Kamu hanya perlu masuk ke KFC, dua atau tiga kali seminggu agar diakui sebagai bagian dari kelas berada. Tentu harus ada orang yang melihat. Ajaklah teman, atau upload di instagram. Jangan lupa kasih hashtag #instafood dan hastag-hashtag keren lain macam #yummy, #foodlover, #foodpic, #foodporn atau #foodgasm, yang hanya diketahui oleh orang-orang keren macam kamu. Jangan hashtag kampungan macam #mbadogyuuukk. Nggak keren tauuu!!!

Sayang banget kan kalau tidak ada saksi. Percuma dong, tidak ada yang akan menyaksikan betapa kamu dengan sangat piawai memegang paha ayam goreng dengan tangan halusmu dan menggigitnya dengan gigi putihmu yang berjajar rapi bak paspampres lagi upacara. Dunia harus tahu, betapa lezatnya gigitan “kresss” ayam Kentucky saat masih mengepulkan asapnya, persis depan bibir seksimu, dengan cara yang hanya bisa dilakukan orang-orang keren yang selevel dengan kamu. Ah, sebuah kelazatan yang mungkin kamu sendiri tidak akan mampu memahaminya. Kelazatan yang terutama muncul tidak dari ayam gorengnya, tetapi terutama dari obsesi terhadap harga diri dan kehormatan yang akan menyertai setiap gigitan daging empuk Kentucky.

Sebuah kehidupan yang amat layak dijalani bukan? Sayangnya, apa yang tampak sebagai surga, tak jarang menyimpan sisi gelapnya sendiri. Dibalik makanan-makanan berkelas yang kamu konsumsi, tak jarang ada kenyataan lain yang kontras dengan seluruh keceriaan yang kamu dapatkan; perlakuan tidak manusiawi terhadap binatang-binatang yang diternak untuk memenuhi kebutuhan restoran-restoran cepat saji, atau jutaan pekerja anak yang berada di balik cokelat lezat meleleh yang kamu nikmati bersama orang-orang terkasihmu.

Sosiologi memiliki cara pandang yang unik dan menarik dalam melihat fenomena sosio-kultural makanan. Bagaimana sebetulnya para sosiolog melihat berbagai hal seputar makanan? Tulisan berikutnya (mudah-mudahan beneran jadi nulis. Haha), akan membahas bagaimana Marx, Durkheim dan kaum feminis melihat dan memahami makna makanan dalam kehidupan sosial.

Bahan Bacaan:

Douglas J. Goodman & Mirelle Cohen. 2003. Consumer Culture

Update:

Lanjutannya bisa dibaca di sini: Sociology of Food: Perspektif Marx, Durkheim, dan Feminism


DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini