Dalam sejarah peradaban modern, ilmu pengetahuan dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang saling berebut kekuasaan. Abad Pertengahan adalah abad kekuasaan agama. Agama adalah “kaisar” yang kekuasaannya sangat absolut. Agama tidak hanya menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan oleh manusia tapi juga apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan. Semboyannya, “di luar wahyu, tidak ada kebenaran”. Renaissance adalah kudeta atas kekuasaan agama. Rasio kemudian dinobatkan sebagai “kaisar” baru dengan kekuasaan yang tak kalah absolut dengan yang pertama. Semboyannya, “di luar rasio, tidak ada kebenaran”. Rasio menjadi penentu benar dan salah. Segala sesuatu yang bertentangan dengan rasio dicap sebagai mitos. Agama adalah korban pertamanya.
Kemenangan rasio ini merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat. Dengan rasio sebagai senjata utamanya, Barat memulai proyek besar pengembangan ilmu pengetahuan secara sangat luar biasa. Hanya saja karena berawal dari penentangannya terhadap kekuasaan Gereja, ilmu pengetahuan yang tercipta dari perhelatan ini kemudian menampakkan wajah yang sangat sekularistik.
Rasio kemudian bergerak lebih jauh. Setelah agama disingkirkan, rasio pun menolak segala nilai yang hendak ikut campur dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan karena dipandang dapat memelencengkan obyektifitas. Hanya kebenaran empiris yang terhindar dari nilai sajalah yang dipandang mampu menciptakan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inilah tesis utama positivisme yang kemudian mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan modern secara sangat hegemonik.
Kenyataannya, positivisme tidak pernah dapat membuktikan janji-janjinya. Obyektifitas yang dijanjikannya adalah palsu belaka. Tidak pernah ada ilmu yang benar-benar bebas nilai. Hal ini terlihat jelas pada perkembangan ilmu sosial. Bahkan David J. Grey (1968: 14) menyatakan dengan sangat lugas bahwa ilmu sosial yang bebas nilai adalah “doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban” (a doctrine of hypocrisy and irresponsibility).
Ilmu sosial dikembangkan dan dibentuk dalam setting sosial Barat dengan seperangkat nilai dan budayanya. Itu sebabnya ia seringkali gagal menjelaskan realitas masyarakat non-Barat yang memiliki nilai budaya yang berbeda. Robert M. Marsh (1967: 19) menegaskan ketika menjelaskan tentang keterbatasan sosiologi: “Sosiologi telah dikembangkan di sebuah sudut kecil dunia dan dengan demikian amat terbatas sebagai suatu skema universal”.
Dengan latar belakang inilah, beberapa ilmuwan sosial muslim, salah satunya Isma’il Raji al-Faruqi, menganggap penting untuk melakukan islamisasi ilmu sosial, karena teori-teori sosial Barat terbukti gagal dalam menjelaskan realitas masyarakat muslim yang jelas memiliki setting sosio-kultural yang sangat berbeda dengan masyarakat Barat, tempat berkembangnya teori-teori tersebut.
Beberapa Ide Pokok Islamisasi Ilmu
Ada dua tokoh penting yang dipandang sebagai pelopor ide islamisasi ilmu pengetahuan; Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Isma’il Raji al-Faruqi. Tulisan ini akan difokuskan pada pemikiran al-Faruqi.
Kritik al-Faruqi terhadap Ilmu Sosial Modern
Ide islamisasi ilmu sosial pada dasarnya berkeinginan untuk mengembalikan nilai-nilai agama (Islam) sebagai bagian sah dari ilmu sosial. Tampaknya, kecenderungan untuk membawa kembali agama dalam wilayah ilmu didasari oleh kekecewaan akibat pemisahan agama dari wilayah ilmu yang kemudian membawa dampak-dampak kemanusiaan yang tidak ringan. Gagasan ini agaknya searah dengan kecenderungan posmodernism yang bercirikan dedifferentiation, tidak secara tegas memisahkan atau menggabungkan agama dan dunia, sebagai reaksi atas modernisasi yang bercirikan differentiation, memisahkan agama dari bidang-bidang kehidupan yang lain (Kuntowijoyo, 1998: 68 dan 2001: 362).
Al-Faruqi menekankan perlunya ilmu sosial memiliki landasan keislaman yang ditegakkan di atas prinsip dasar ajaran tauhid. Para ilmuwan muslim penganut ide ini secara umum memiliki beberapa pandangan dasar. Pertama, penolakan terhadap positivisme yang melahirkan obyektifitas palsu. Kedua, sikap skeptis atas kemampuan teori dan metodologi ilmu sosial yang lahir di dalam konteks dan tradisi sosiologis masyarakat Barat dalam menjelaskan realitas sosial dunia non-Barat, terutama dunia muslim dengan segenap sistem pengetahuan dan simbolnya yang unik. Ketiga, perlunya ilmu sosial memiliki landasan dan keberpihakan atas nilai-nilai, dalam hal ini nilai-nilai Islam, sehingga tidak sekedar bersifat instrumental. Tugas ilmu dan tugas kemanusiaan tidak boleh dipisahkan sebagaimana yang secara fanatik dipegang teguh oleh para penganut “kepercayaan” positivisme ilmu sosial. Landasan nilai dibutuhkan agar ilmu sosial mampu berperan serta dalam mengarahkan proses transformasi sosial menuju cita-cita kemanusiaan dan bukan sekedar menjadi alat bagi kepentingan untuk mempertahankan kemapanan. Keempat, perlunya menciptakan alternatif epistemologis dan metodologis yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dasar keislaman.
Positivism, oleh Auguste Comte, dipandang sebagai puncak perkembangan pemikiran manusia. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu merupakan satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta (Noeng Muhadjir, 2001: 69). Sangat jelas kiranya bahwa ilmu pengetahuan empiris mendapat tempat terhormat dalam perspektif positivis. Adapun teologi dan metafisika bukanlah pengetahuan yang valid. Pengetahuan dalam positivisme adalah pengetahuan terhadap segala yang tampak, segala gejala yang mewujud sebagai fakta (Harun Hadiwijono, 1980: 109). Metode positive menjadi satu-satunya tolok ukur yang sahih bagi ilmu pengetahuan. Karenanya, untuk dapat mencapai status ilmiah, ilmu tentang masyarakat pun harus menggunakan metode positivis yang biasa digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Maka ada istilah Fisika Sosial, yaitu ilmu pengetahuan alam mengenai kehidupan sosial (L. Laeyendecker, 1983: 139). Masyarakat dipandang merupakan bagian dari alam, karena itu pendekatan ala ilmu-ilmu alam harus juga diterapkan pada ilmu-ilmu sosial untuk dapat menghasilkan hukum-hukum perkembangan masyarakat, sehingga bisa diramalkan.
Bagi al-Faruqi, perkembangan ini adalah akibat dari kekalahan telak Gereja dalam peperangan melawan ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan keyakinan dan kepercayaan yang sangat kukuh terhadap empirisisme, penolakan atas semua penalaran deduktif, dan keyakinan yang total terhadap metodologi ilmu alam (Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 5). Perkembangan ilmu alam yang sangat pesat menggoda para ilmuwan sosial untuk menjadikannya model bagi pengembangan ilmu sosial. Secara alamiah, apa yang mungkin dalam alam dianggap juga mungkin dalam kemanusiaan manusia secara individu, juga dalam masyarakat ((Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 7).
Secara filosofis, penerapan metode ilmu-ilmu alam pada realitas sosial memunculkan masalah tersendiri. Dalam ilmu-ilmu alam, fakta-fakta yang diobservasi bersifat tetap dan tidak berubah, sehingga dapat ditentukan hukum-hukumnya. Dalam ilmu sosial, persoalannya menjadi lain, kenyataan sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang serba kompleks, terus berubah dan tidak mudah diprediksi sehingga tidak dapat ditempatkan dalam bingkai hukum-hukum tetap sebagaimana pada fakta alam. Karenanya, kedua ilmu itu memiliki metode ilmiah masing-masing yang tidak dapat direduksi satu sama lain (F. Budi Hardiman, 1990: 27).
Al-Faruqi menegaskan bahwa tidak semua data yang berkaitan dengan perilaku manusia dapat diamati dengan akal sehat dan karenanya bisa menjadi sasaran kuantifikasi dan pengukuran sebagaimana fenomena alam. Fenomena manusia bukanlah gejala yang terdiri dari elemen-elemen “alam” yang eksklusif. Manusia memiliki moralitas dan spirit yang otonom dari elemen-elemen alam. Elemen ini tidak dapat menjadi sasaran kuantifikasi. Ilmu sosial kemudian memperlakukannya sebagai sesuatu yang tidak relevan dalam penelitian sosial. Itu sebabnya, para ilmuwan sosial kemudian secara tidak sah mereduksi komponen moral dan spiritual dari kenyataan sosial pada akibat materialnya. Sampai hari ini, metodologi ilmu sosial masih belum memiliki peralatan yang mengenal dan berkaitan dengan komponen spiritual itu (Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 8).
Kesalahan dalam identifikasi data ilmu sosial ini menyebabkan terjadinya kesalahan berikutnya, fakta-fakta harus dipisahkan dari prasangka pribadi, dan membiarkan fakta-fakta itu berbicara apa adanya. Padahal, perilaku manusia tidak sama dengan data alam. Data perilaku manusia bukan tidak mempan dengan sikap dan preferensi pengamat (Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 9).
Pemahaman seorang pengamat terhadap data-data di lapangan sangat tergantung dari persepsi-persepsi awal yang dikonstruk oleh bekal pengetahuan awal si pengamat. Pemilihan mana data yang diinginkan dan dianggap penting dan mana yang tidak adalah juga sangat tergantung dari penilaian pengamat. Itulah sebabnya, bagi al-Faruqi, obyektifitas yang dijanjikan oleh ilmu sosial Barat adalah palsu belaka.
Karena prasyarat obyektifitas adalah bebas nilai, maka ilmu sosial modern kemudian memisahkan ilmu dari tugas kemanusiaan. Dengan sengaja, ilmu sosial dibersihkan dari pertimbangan nilai dan membiarkannya terbuka bagi apa saja yang mempengaruhinya (Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 4). Ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya, atau memahaminya (verstehen), kemudian memaafkannya (Heru Nugroho, 1997: 6). Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan (F. Budi Hardiman, 1990: 58). Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan. Oleh Faruqi, keadaan ini dipandang ikut serta menyebabkan kemunduran moral masyarakat, karena tugas kemanusiaan, bagi Barat, berada di suatu tempat di luar ilmu pengetahuan (Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 14).
Tawaran al-Faruqi
Setelah menunjuk kelemahan-kelemahan ilmu sosial Barat, al-Faruqi kemudian menawarkan beberapa alternatif pengembangan ilmu sosial yang didasarkan pada perspektif Islam, atau biasa disebut sebagai islamisasi ilmu sosial. Ia kemudian menggariskan beberapa prinsip dasar ide islamisasi ilmu yaitu keesaan Tuhan, kesatuan ciptaan, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia (Isma’il Raji Al-Faruqi, 1984: 56-97).
Melalui Prinsip Keesaan Tuhan (tauhid), semua obyek pengetahuan dilihat sebagai penyempurnaan tujuan yang dikehendaki Allah. Pengetahuan Islam mengatakan bahwa tidak ada kehidupan, tidak ada kebenaran, dan tidak ada nilai diluar diluar rangkaian dimana Allah adalah asal dan akhir, serta Maha Tinggi (Isma’il Raji Al-Faruqi, 1984: 58).
Prinsip Kesatuan Semesta (dan prinsip-prinsip berikutnya) adalah konsekwensi logis dari prinsip Keesaan Tuhan. Alam semesta adalah sebuah keutuhan integral karena merupakan karya Pencipta Tunggal. Tata kosmis terdiri dari hukum-hukum alam. Hal-hal yang material, spasial, biologis, psikis, sosial dan estatis-semua realitas itu menuruti dan menyempurnakan hukum-hukum ini (Isma’il Raji Al-Faruqi, 1984: 56-97).
Prinsip Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan menegaskan bahwa karena kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua realitas berasal dari sumber yang sama (Tuhan) maka kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada karena Allah lah yang menciptakan keduanya.
Akal manusia dihadapkan pada bahaya nalar yang sangat mungkin jatuh dalam kesalahan, karena itu nalar memerlukan dukungan dari sumber wahyu yang tidak mungkin salah. Sumber wahyu itu berfungsi sebagai perkiraan dasar nalar yang bersifat pasti dan tak diragukan lagi. Berdasarkan prinsip ini, nalar dan wahyu haruslah didialektikakan. Kita tidak boleh membuat pernyataan berdasar wahyu yang tidak sesuai dengan realitas, wahyu harus selalu diinterpretasi ulang berdasarkan realitas yang ada. Sebaliknya pengamatan kita atas realitas juga sangat mungkin salah sehingga tidak sesuai dengan wahyu, karenanya data-data pun harus diperiksa ulang (Isma’il Raji Al-Faruqi, 1984: 66-71).
Prinsip Kesatuan Hidup menegaskan bahwa Tuhan menciptakan hidup ini untuk satu tujuan yaitu mengabdi kepada Allah dengan merealisasikan kehendaknya. Kehendak Allah itu ada dua macam yaitu kehendak Allah yang berupa hukum-hukum alam dan kehendak Allah yang berupa hukum-hukum moral. Melalui prinsip kesatuan hidup, manusia dipandang sebagai pemegang amanah dan khilafat untuk menegakkan kultur dan kebudayaan, untuk menegakkan perdamaian, keadilan, kebenaran, keindahan dan kebahagiaan (Isma’il Raji Al-Faruqi, 1984: 72-82).
Prinsip terakhir adalah prinsip Kesatuan Umat Manusia. Dengan prinsip ini, manusia adalah sama karena diciptakan oleh satu Tuhan. Kemanusiaan, dalam Islam, adalah universal, menyangkut seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Kemanusiaan tidak terikat dengan pertimbangan geografis, ras, etnis, warna kulit, kultur dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Islam tidak mengakui perbedaan. Islam tetap mengakui adanya perbedaan yang natural. Yang ditolak dan tidak diakui dalam Islam adalah etnosentrisme, rasialisme dan nasionalisme berlebihan, karena dipandang dapat menyebabkan terjadinya konflik-konflik antar manusia. Menurut al-Faruqi, di zaman modern ini, hampir semua pengetahuan manusia didasarkan pada etnisitas sebagai ukuran tertinggi bagi kemanusiaan. Ilmu pengetahuan barat terus berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, tapi istilah ini dipahami sebagai manusia barat dan kemanusiaan Barat. Ilmu sosial, bukannya mencari dan menekankan apa yang dimiliki manusia secara universal, malah mencari, mengembangkan dan membesar-besarkan apa yang bersifat khas dari suatu kelompok etnis (Isma’il Raji Al-Faruqi, 1984: 84-97).
Dengan keempat prinsip diatas, tampak sekali bahwa nilai merupakan hal yang inherent dalam ilmu sosial Islam. Nilai itulah yang kemudian mencirikan ilmu sosial Islam sehingga menjadi kritis. Realitas tidak sekedar dipahami tapi harus selalu dilihat dalam konteks realisasi atau pelanggaran terhadap nilai yang menjadi dasar teori sosial Islam. Ilmu sosial Islam tidak pernah memisahkan antara pengetahuan dengan nilai dan tugas kemanusiaan. Ini adalah salah satu prinsip metodologi Islam. Al-Faruqi menyebutnya dengan prinsip ummatisme, sebuah prinsip yang menegaskan bahwa tidak ada nilai dan kewajiban yang semata-mata pribadi. Tugas untuk melakukan proses transformasi sosial berlandaskan pada nilai-nilai yang menjadi dasar bukanlah tugas yang bersifat pribadi tapi tugas yang inheren dalam ilmu sosial dalam relasinya dengan masyarakat. Ilmu pengetahuan dan tugas kemanusiaan adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan. Itu sebabnya, al-Faruqi menandaskan, ilmu-ilmu semacam ini haruslah disebut dengan ilmu ummatiyah. Al-Faruqi menolak pemisahan antara ilmu sosial dan kemanusiaan karena dipandang bertentangan dengan prinsip ummatisme. Ia kemudian mengklasifikasi ilmu menjadi dua; ilmu alam dan ilmu ummatiyah. Kata al-Faruqi, jika diantara ilmuwan sosial muslim masih terus menyebut istilah ilmu-ilmu sosial, itu berarti kita juga melakukan penyimpangan seperti yang dilakukan oleh Barat (Isma’il Raji al-Faruqi, 1985: 11-15).
Menimbang Gagasan Al-Faruqi
Gagasan islamisasi ilmu sosial yang didengungkan al-Faruqi mendapat sambutan yang cukup luas dari para ilmuwan sosial muslim di seluruh dunia. Banyak yang mendukungnya, tapi tidak sedikit pula yang menentangnya bahkan menganggapnya sebagai sama sekali bukan gagasan kreatif dan ilmiah seperti yang ditulis oleh Usep Fathuddin (2000: 51). Ketidaksetujuan lain dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu telah “Islam”. Yang terpenting adalah menciptakan ilmuwan yang tahu akan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, sehingga mampu menggunakan sains secara konstruktif-positif (Fazlur Rahman, 2000: 55-68).
Di bawah ini kita akan mencoba untuk menimbang gagasan islamisasi ilmu sosial Isma’il Raji al-Faruqi.
Islamisasi ilmu sosial bertujuan untuk mengislamkan ilmu sosial. Temanya adalah ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler atau bukan Islam. Menurut Kuntowijoyo, sikap seperti ini tidak realistis. Itu akan membuat jiwa kita terbelah, antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial Barat. Kuntowijoyo bertanya, “bagaimana nasib ilmu yang belum diislamkan?. Bagaimana nasib Islam tanpa ilmu?”. Kuntowijoyo menolak pandangan dikotomis yang membagi antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial bukan Islam (sekuler) (Arief Subhan, 1994: 99-100). Ia kemudian mengusulkan Ilmu Sosial Profetik sebagai gantinya. Ilmu Sosial Profetik bertujuan bukan untuk mengislamkan teori sosial, tapi merumuskan ilmu sosial yang obyektif (tentu bukan dalam pengertian positivisme). Kuntowijoyo mengusulkan obyektifikasi nilai-nilai transendental dalam bentuk teori-teori sosial, sehingga menjadi ilmu yang obyektif dan bukan islamisasi teori sosial Barat.
Al-Faruqi, tampaknya juga belum dapat melepaskan diri secara penuh dari jeratan teologi. Agama memang tidak perlu dipisahkan dengan ilmu sosial, bahkan agama harus memberikan landasan yang kukuh bagi ilmu sosial. Hanya saja agama dan teologi menuntut pendekatan yang berbeda. Teologi mempelajari aspek-aspek normatif agama dalam kaitannya dengan Tuhan, sedang ilmu sosial mempelajari realitas sosial hubungan manusia. Karena itu keduanya menuntut pendekatan yang berbeda. Jika ilmu sosial hendak memakai pendekatan teologis normatif maka tidak akan terlahir sebuah ilmu sosial yang empiris.
Al-Faruqi tampak sekali tidak bisa membedakan mana ranah teologi, mana ranah ilmu sosial. Hal ini tampak, misalnya ketika al-Faruqi mengemukakan adanya bangunan ide wahyu yang kebenarannya bersifat pasti. Berbicara tentang wahyu sebagai bangunan ide yang bersifat absolut bukanlah wilayah ilmu sosial, tapi wilayah teologi. Sebenarnya al-Faruqi sudah berada pada posisi yang benar ketika mengharuskan adanya dialektika antara nalar dan wahyu, tapi persis ketika dia mengasumsikan bahwa ada bangunan ide sempurna dari Tuhan, saat itu ia terjebak dalam ranah teologi. Berbicara tentang kesempurnaan suatu ide transendental dalam konteks ilmu sosial adalah tidak berguna. Wahyu dalam konteks ilmu sosial hendaklah dipahami dalam konteks yang sepenuhnya manusiawi, sebagai hasil dari proses penalaran manusia. Ini artinya wahyu diposisikan tak ubahnya seperti realitas empiris yang menjadi data ilmu sosial atau seperti nalar yang menyediakan konseptualisasi terhadap realitas empiris. Wahyu, dalam ilmu sosial, harus didesakralisasi.
Barangkali, inilah dilema bagi seorang ilmuwan sosial muslim yang ingin menjadikan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Ada semacam keengganan teologis untuk mendesakralisasi wahyu transendental dan meletakkannya sejajar dengan bukti-bukti empiris yang dapat dipertanyakan, diuji, difalsifikasi atau bahkan ditolak. Tapi seharusnya keengganan atau kekhawatiran seperti ini tidak perlu terjadi karena Tuhan pun tidak pernah takut ayat-ayatnya diuji oleh manusia, bahkan Dia menantang manusia untuk mengujinya dan mendatangkan burhan (bukti-bukti) yang lebih valid dari ayat-ayatnya (QS. 28: 75). Karenanya, penempatan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang sejajar dengan sumber-sumber lain seperti rasio dan realitas empiris tidak perlu ditakutkan akan merusak keimanan, karena kita sedang berbicara dalam konteks ilmu bukan dalam konteks keimanan.
Salah satu fakta lain yang menunjukkan bahwa para ilmuwan sosial muslim masih saja sulit untuk lepas dari jeratan cara berpikir normatif adalah kecenderungan untuk tetap memakai simbol-simbol formal agama, bahasa adalah salah satunya. Itu sebabnya mengapa al-Faruqi menolak penggunaan kata ilmu sosial dan mengusulkan istilah ilmu ummatiyah. Hal ini membedakannya dengan Kuntowijoyo. Kuntowijoyo tidak berangkat dari islamisasi tapi obyektifikasi. Bagi Kunto, bahasa ilmu harus dibedakan dari bahasa agama (Kuntowijoyo, 2001: 364). Ilmu harus dapat dipahami oleh semua kalangan, karena ilmu itu terbuka, sehingga ilmu sosial hendaknya menghindarkan diri dari penggunaan terminologi yang hanya dapat dipahami dalam konteks subyektif seperti bahasa agama. Al-Faruqi jelas tidak menghiraukan masalah ini, sehingga bahasa agama (teologi) masih sangat kental dalam pemikirannya.
Penolakan al-Faruqi untuk memakai istilah ilmu sosial dan menggantinya dengan ilmu ummatiyah juga menunjukkan bahwa al-Faruqi tidak memahami perkembangan ilmu sosial Barat secara menyeluruh. Alasan al-Faruqi dengan menolak istilah ilmu sosial adalah karena di Barat ilmu sosial dipisahkan dengan tugas kemanusiaan. Ini hanya benar dalam konteks ilmu sosial aliran positivis. Padahal ilmu sosial yang berkembang di Barat jauh lebih kompleks. Ilmu sosial kritis misalnya, adalah ilmu sosial yang tidak lagi memisahkan antara teori dengan praksis, antara pengetahuan dengan nilai. Ilmu sosial kritis sadar benar dengan tugas kemanusiaannya yang dinyatakannya sebagai tugas emansipatoris. Karenanya, penolakan al-Faruqi terhadap istilah ilmu sosial sebenarnya lebih bersifat egosentris daripada ilmiah substantif.
Satu hal lain yang patut dikritisi dari ide islamisasi ilmu sosial adalah bahwa walaupun di satu sisi ide ini menolak kecenderungan overgeneralis dari positivisme dengan mengasumsikan teorinya sebagai universal, tapi tampaknya al-Faruqi juga mempunyai kecenderungan yang sama. Hal ini tampak misalnya dari keinginan al-Faruqi agar ilmu sosial Islam lebih menekankan pada apa yang dimiliki manusia secara universal daripada mencari keunikan, dengan demikian hendak mencari nomos (hukum-hukum yang berlaku secara universal). Al-Faruqi tampaknya mengabaikan sifat ilmu sosial yang tidak seperti ilmu alam. Seperti dinyatakan oleh Windelband, Ilmu alam adalah nomothetic, bertujuan mencari keteraturan dan kesamaan hukum-hukum yang berlaku universal, sementara ilmu sosial kemanusiaan adalah ideographic, bertujuan mencari keunikan (F. Budi Hardiman, 1990: 27).
Terakhir, kita perlu juga mempertanyakan apakah ide agar agama menjadi landasan ilmu sosial itu lebih bersifat ideologis atau epistemologis. Seperti yang telah kita tegaskan, ilmu sosial pada hakekatnya tidak pernah dapat melepaskan diri dari muatan nilai tertentu. Nilai adalah inheren dalam ilmu sosial, diakui atau tidak. Persoalannya adalah nilai mana yang akan kita pilih. Dengan demikian, ide islamisasi ilmu sosial, dalam konteks ini, sebetulnya hanyalah persoalan ideologis, terkait dengan pilihan nilai.
Demikianlah, apa yang dilakukan oleh al-Faruqi, walaupun di sana sini masih mengundang kontroversi, mampu menyadarkan kita, bahwa kita tidak dapat menjiplak begitu saja teori sosial Barat untuk kita terapkan dalam menganalisis masyarakat non-Barat. Ilmu sosial dirumuskan dan dikembangkan dari satu sudut kecil dunia, dan oleh karenanya sangat terbatas sebagai skema universal.
Hanya saja, usaha mencari sebuah bangunan ilmu sosial alternatif mestinya harus tetap konsisten berjalan dalam koridor ilmu sosial dan tidak kemudian terjebak dalam ranah teologis yang bersifat normatif, karena jika kita memakai pendekatan teologis normatif dalam ilmu sosial maka hanya akan lahir sebuah absolutisme baru berkedok ilmu pengetahuan.
Bacaan
Abubaker A. Bagader, (ed.), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial (Iislam and Sociological Perspective), alih bahasa Muchtar Efendi Harahap, (Yogyakarta: PLP2M, 1985)
Arief Subhan, “Dr. Kuntowijoyo: al-Quran Sebagai Paradigma”, Jurnal Ulumul
David J. Gray, “Value Free Sociology: A Doctrine of Hypocrisy and Irresponsibility”, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers (Ed.), Sociology for The Seventies, (New York: John Wiley, 1968)
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu Sebuah Respon”, dalam Moeflich Hasbullah, (ed.) Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka CIDESINDO, 2000)
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997)
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan), alih bahasa Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1984)
Kuntowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-ilmu sosial”, Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga, Nomor 61, Tahun 1998
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001)
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde, Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih bahasa Sumekto, ( Jakarta: Gramedia, 1983)
Moeflich Hasbullah, (ed.) Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka CIDESINDO, 2000)
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme dan PostModernisme, edisi II, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001)
Robert M. Marsh, Comparative Sociology, (New York: Brace and World, 1967)
Usep Fathuddin, “Perlukah Islamisasi?”, dalam Moeflich Hasbullah, (ed.) Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka CIDESINDO, 2000)
DISCLAIMER
|