Tulisan ringan ini berangkat dari satu asumsi utama, bahwa positivisme bukan sekedar sebuah mazhab ilmu pengetahuan tapi sudah menjadi bagian dari kesadaran hidup manusia sehari-hari. Positivisme bahkan telah merambah kesadaran hidup manusia yang paling primordial: agama. Melalui logika kuantifikasi dan reifikasi, positivisme mewujud dalam beragam bentuk ekspresi keberagamaan.
Tapi sebelum diskusi lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak berpretensi untuk melihat persoalan-persoalan yang dikemukakan dalam tulisan reflektif ini dalam perspektif hukum fikih yang bersifat normatif, tapi lebih sebagai refleksi sosiologis atas sikap dan perilaku keagamaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Jadi, tulisan ini tidak ingin terjebak dalam berdebatan fikih soal boleh-tidak, halal-haram dan logika fikih lain. Ini sebentuk refleksi atas keberagamaan kita, secara sosiologis!
Apa itu Kesadaran Positivistik?
Membincangkan positivisme sebetulnya bukan sekedar membicarakan sebuah kecenderungan utama dalam ilmu pengetahuan, tapi juga pola pikir manusia modern. Positivisme tidak hanya bekerja pada wilayah metodologi ilmiah, tapi lebih dari itu, ia masuk dalam ruang kesadaran manusia modern dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali cara kita beragama. Logika kuantifikasi dan cara pandang reifikatif (membendakan hal yang abstrak dan subyektif) yang khas positivisme tidak hanya kita temukan dalam produk-produk ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora tapi juga dalam ruang-ruang kesadaran keberagamaan kita.
Positivisme meyakini dengan sepenuh hati bahwa di luar logika kuantifikasi, yang tersisa hanya mitos yang tak layak disebut sebagai kebenaran. Suatu konsep, gagasan, perilaku atau penjelasan apapun jika tidak tunduk dibawah logika kuantifikasi tidak layak disebut sebagai kebenaran. Positivisme hendak menyamakan saja semua gejala dengan gejala alam yang dapat diukur dan dihitung-hitung. Bahkan jiwa dan subyektivitas manusia pun hendak di-angka-kan dengan perhitungan statistik, seperti yang kita temukan dalam psikologi atau sosiologi positivistik.
Kecenderungan lain dari positivisme adalah apa yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai reifikasi. Reifikasi memahami fenomena-fenomena manusiawi seolah-olah semua itu benda-benda bukan manusiawi. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, dalam bukunya The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociology of Knowledge, menjelaskan reifikasi sebagai cara pandang atas tindakan manusia seolah-olah tidak berasal dari manusia melainkan adalah fakta atau benda alam yang bersifat obyektif dan kongkrit.
Dua logika yang sebetulnya merupakan warisan metodologi ilmu pengetahuan positivistik ini kemudian tertanam dalam wilayah kesadaran manusia sehari-hari, bahkan menjarah kesadaran keberagamaan kita. Logika kuantifikasi dan reifikasi adalah pola pikir manusia modern yang sangat hegemonik. Sosialisasi kita dalam dunia pendidikan dan lingkungan pengetahuan telah membentuk pola pikir kita menjadi sangat positivistik. Bahkan, relijiusitas yang sebetulnya mewakili kesadaran yang sangat subyektif dan sublim pun tanpa sadar kita perlakukan secara sangat positivistik. Ini bisa kita lihat pada beberapa kecenderungan (gejala) berikut:
1. Haji dan Egoisme Spiritual
Logika kuantifikasi yang khas positivisme seringkali dijadikan tolok ukur keberagamaan. Orang lalu mengejar jumlah. Haji itu kalau bisa jangan sekali, berkali-kali lebih baik. Kita belajar mengkuantifikasi ibadah haji sebagai tolok ukur keberagamaan. Haji di benak kita lalu menjadi momen perayaan egoisme spiritual. Egoisme spiritual adalah nafsu keberagamaan yang tak pernah memperdulikan nasib orang-orang yang harus mengantri belasan tahun untuk mengunjungi baitullah. Atas nama kerinduan terhadap baitullah, kita merasa berhak memperpanjang rasa rindu orang lain ke baitullah. "Ini sudah panggilan Tuhan", dalih kita, merasa sok menjadi orang yang dirindukan Tuhan sehingga Tuhan tak sabar ingin menemuinya di baitullah setiap tahun.
Orang yang telah melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali memiliki kedudukan tersendiri di mata masyarakat. Masyarakat cenderung berpikir seringnya seseorang melaksanakan ibadah haji sebagai tolok ukur keimanan dan ketakwaan seseorang. Kuantitas pelaksanaan ibadah haji adalah indikasi kekayaan dan ketakwaan sekaligus. Orang yang telah berkali-kali melaksanakan ibadah haji dihormati tidak hanya sebagai orang yang relijius tetapi juga lambang kekayaan (yang terakhir ini tentu mengecualikan mereka yang melaksanakan haji berkali-kali karena tugas, seperti menjadi pembimbing haji). Mereka yang berhaji berkali-kali mengumpulkan di tangannya dua sumber kemuliaan sekaligus: kedekatan dengan Tuhan dan kekayaan. Begitu kira-kira yang ada di benak masyarakat.
2. Ibadah Kuantitatif
Banyak contoh lain betapa tanpa sadar kita berpikir secara sangat kuantitatif dalam beragama. Kita diajari untuk tidak ragu dalam bersedekah karena Tuhan pasti akan menyediakan balasan yang berlipat ganda. Kita diajari lebih baik bersedekah tiap hari seribu rupiah daripada sebulan sekali 30 ribu rupiah, karena yang tiap hari lebih banyak pahalanya.
Saya tidak hendak berbicara halal haram. Memang tidak ada persoalan hukum dalam keberagamaan seperti ini tapi saya khawatir logika kuantitatif seperti ini akan mentelantarkan dimensi substantifnya. Dimensi substantif sedekah (zakat dkk) adalah agar ada pemerataan kemakmuran, agar harta tidak hanya berputar pada segelintir orang. Ada makna pemberdayaan dalam sedekah. Tapi logika kuantitatif bisa membuat dimensi substantif ini terabaikan begitu saja. Kita asal sedekah, tak peduli fungsi substantifnya terpenuhi atau tidak, asal kita sudah mendapat pahala di sisi Tuhan. Apakah ini yang diajarkan Tuhan?
Model sedekah seperti ini juga sekali lagi menegaskan betapa umat Islam memiliki kesadaran yang lemah terhadap persoalan-persoalan yang sistemik. Kita bukannya tak tahu bahwa memberi pengemis seribu rupiah setiap hari tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan tapi kita enggan repot-repot berpikir sistemik atas persoalan kemiskinan. Persoalan kemiskinan lalu kita serahkan saja pada kemurahan hati personal. Padahal, kemiskinan adalah persoalan sistemik yang harus diatasi dengan pendekatan sistem dan managerial yang baik. Dalam konteks ini, kesadaran untuk berderma, bersedekah atau berzakat melalui lembaga-lembaga amil zakat yang bisa dipercaya sangatlah penting sebagai bagian dari upaya menghadapi problem kemiskinan dengan pendekatan sistemik dan terencana.
Kita terusik dengan tingkah polah sebagian orang kaya muslim yang mengeluarkan zakatnya dengan cara yang sangat naif: melemparkan uang di tengah kerumunan orang yang berkumpul di rumahnya demi memuaskan “nafsu” bersedekah. Soal sedekah atau zakat bukan soal kepuasan spiritual dan janji pahala berlipat ganda tapi soal bagaimana harta tidak hanya berputar di tangan segelintir orang tapi ada pemerataan. Zakat seharusnya dipandang sebagai cara sistemik menyelesaikan problem kemiskinan, bukan sekedar urusan etika dan kesalehan personal
3. Membendakan Spiritualitas
Positivisme melihat hanya dari yang empiris, karena di luar yang empiris tidak ada kebenaran. Kita pun sering melakukan hal yang sama dalam beragama. Kita menilai relijiusitas dari yang tampak saja. Seakan kalau orang rajin ke masjid, selalu lebih baik dari mereka yang tiap hari harus menarik becak. Spiritualitas yang sebetulnya sangat subyektif kita nilai sebagai benda empiris yang tolok ukurnya adalah keterlibatan kita pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang bisa diamati. Ini namanya reifikasi keberagamaan: membendakan keberagamaan, membendakan spiritualitas yang sebenarnya sangat subyektif.
4. Agama Citra
Reifikasi keberagamaan juga tampak dari begitu mudahnya kita tertipu dengan simbol-simbol keberagamaan. Ekspresi simbolik agama dalam wujud yang kongkrit seringkali kita anggap sebagai tolok ukur spiritualitas. Kalau seseorang sudah memakai simbol-simbol keagamaan seperti jubah putih, surban atau teriakan takbir, ia seakan berhak menjadi wakil Tuhan yang bisa menentukan jatah surga dan neraka bagi seseorang atau kelompok keagamaan. Kalau terpidana atau tersangka korupsi sudah memegang tasbih di tangannya berarti dia sudah tobat dan karena itu layak dikasihani. Inilah sikap keberagamaan reifikatif yang begitu mementingkan citra.
Akibat lain dari cara keberagamaan seperti ini, agama lalu tampil dalam model-model ekspresi yang sangat modis dan fashionable. Bisnis modelling menjadi daya tarik tersendiri yang selalu laris manis. Kapitalisme merambah wilayah relijiusitas. Tapi karena logika kapitalis sejatinya adalah logika pencarian keuntungan, maka dimensi substantif keberagamaan menjadi terabaikan. Kapitalisme dunia modeling hanya mementingkan bagaimana produk-produk modeling mereka laku di pasar.
Muncullah model-model busana muslimah super-trendi dan super-modis. Keberagamaan, bagi mereka, adalah urusan fashion dan citra diri sebagai muslimah trendi. Perempuan-perempuan berbusana muslimah dengan cara yang sangat seronok: tidak menyisakan rongga udara sedikitpun antara kulit tubuh dan kain bajunya. Kapitalisme, dengan bujuk rayunya yang menggoda, membuat sebagian perempuan sebetulnya tampil telanjang tapi merasa berpakaian. Ini adalah model penjajahan atas tubuh perempuan yang dirayakan dengan penuh semangat dan suka cita.
Jika ada yang belum menyadari apa yang sebetulnya terjadi, saya ingin mengucapkan: Selamat datang di dunia citra!!!
DISCLAIMER
|