“Dulu saya berkata jika Jika Anda ingin memerdekakan masyarakat, yang Anda butuhkan hanya internet. Sekarang, saya percaya, untuk memerdekakan masyarakat, kita harus lebih dahulu memerdekakan internet”, begitu pengakuan Wael Ghanim, salah satu inisiator Arab Spring, mengungkapkan kekecewaannya atas apa yang terjadi pada rakyat Mesir pasca revolusi yang dimulai sejak akhir 2010 lalu.
Setelah euforia revolusi berakhir, Mesir justru memasuki situasi politik yang berujung pada polarisasi tajam. Media sosial diyakini memiliki konstribusi besar memperparah keadaan dengan memfasilitasi beredarnya informasi palsu, rumor, ruang gema (echo chamber) dan kampanye kebencian. Media sosial menjadi kancah peperangan penuh kejahilan, kebohongan, dan kebencian (Ghonim 2015).
Tampaknya itu pula yang saat ini kita saksikan di negara kita. Pilpres 2019 membuat polarisasi masyarakat kita yang sudah berlangsung sejak pilpres 2014 makin menjadi-jadi. Polarisasi ini tampak jelas di ruang-ruang media sosial kita. Media sosial pra dan pasca pilpres menjadi ruang yang penuh kebohongan, keculasan, kebencian, rumor dan ajang sumpah serapah. Bangsa yang konon sangat ramah dan toleran ini seolah menjelma menjadi makhluk asing yang amat menyeramkan dan siap menerkam siapapun yang menghalangi jalannya.
Pertanyaan yang menggelayut di kepala banyak orang adalah kenapa di sebuah ruang yang amat bebas dan terbuka seperti internet (media sosial) justru terjadi polarisasi yang makin tajam dan radikal? Internet yang mestinya menjadi ruang yang sangat demokratis justru tampak sebagai ancaman serius bagi demokrasi kita. Media sosial yang seharusnya menjadi tempat diskusi yang terbuka justru membuat penggunanya makin terkotak-kotak dan terpenjara dalam pandangannya sendiri-sendiri.
Tampaknya, kita memang salah duga dengan karakter internet sebagai ruang terbuka dan demokratis. Media sosial tak seterbuka yang kita kira. Oleh Eli Pariser (2011), media sosial bahkan dituding sebagai ancaman bagi demokrasi. Pariser menjelaskan hal ini secara gamblang melalui apa yang disebutnya sebagai fenomena filter bubble.
Menurut Pariser, Filter Bubble adalah fenomena ketika algoritma membuat layar digital menjadi one way mirror yang hanya akan merefleksikan ketertarikan-ketertarikan pribadi kita. Filter Bubble mengisolasi individu dalam dunianya sendiri. Demokrasi menghendaki agar individu bersedia melihat sudut pandang orang lain. Akan tetapi media sosial justru membuat individu makin terkurung dalam “gelembungnya” masing-masing.
Ketika user sebuah platform media sosial melakukan search, click, share, like atau comment pada informasi atau konten-konten tertentu (seperti informasi tentang Jokowi atau Prabowo), mesin algoritma akan menafsirkan bahwa pengguna menyukai konten-konten tersebut. Tahap berikutnya, algoritma akan terus menjejali lini masa pengguna dengan konten-konten serupa. Algoritma akan terus menampilkan informasi dari pengguna yang kerap berinteraksi dengan kita yang sebagian besarnya adalah mereka yang memiliki pandangan politik yang sama dengan kita. Pada saat yang sama algoritma juga akan makin menjauhkan kita dari pengguna-pengguna—yang menurut “tafsir” algoritma—tidak kita sukai pandangan-pandangannya. Konsekuensinya, pengguna akan digiring untuk hanya berkutat dalam satu jenis wacana tunggal, tanpa menyediakan alternatif pembandingnya.
Filter Bubble berperan penting dalam membentuk pengetahuan pengguna media sosial. Salah satu fungsi media sosial adalah mengabarkan realitas pada pengguna. Media sosial berada di antara pengguna dan realitas, sebuah posisi yang sangat powerfull. Posisi antara (mediator) ini memungkinkan media sosial untuk membelokkan atau memanipulasi pandangan pengguna tentang realitas.
Filter bubble memiliki peran besar dalam menciptakan pseudo criticism. Saya sebut demikian (pseudo criticism) karena kritisisme seperti ini tak pernah diuji dengan perspektif lain yang berbeda. Kita seolah memiliki sikap skritis, tapi pada hakekatnya sikap kritis kita lebih merupakan penyimpulan tergesa-gesa dari narasi yang tak benar-benar kita pahami. Kita hanya mendengar narasi itu dari orang-orang dalam lingkaran bubble kita, dan dalam sekejap kita merasa sudah mengetahui keseluruhan realitas. Pemahaman utuh atas realitas mensyaratkan kesediaan untuk mendengar dari pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan kita. Fenomena ini tampak jelas dari berbagai kesimpulan tergesa-gesa, baik dari mereka yang menuduh terjadi kecurangan massif dalam Pilpres 2019 maupun mereka yang membelanya.
Terlebih lagi keikutsertaan faktor emosional menyebabkan kita terlalu mudah percaya dengan berbagai narasi yang ada di sekitar kita. Penciptaan “realitas” rekaan akan jauh lebih mudah dilakukan pada kita yang sedang dibalut sikap emosional. Saling klaim kemenangan dari kedua kubu dalam pilpres kali ini tiba-tiba begitu mudah diyakini sebagai kebenaran yang tak terbantahkan walaupun perhitungan resmi KPU belum usai dilakukan. Realitas, di hadapan seorang yang memiliki emosi meluap-luap, akan tampak berlipat ganda. Jika ada sebuah kesalahan, andaipun kecil, di hadapan orang yang memendam kebencian mendalam, akan tampak bak dosa setinggi gunung Himalaya.
Karena kita berada dalam filter bubble kita, maka begitu pandangan-pandangan kita mendapat tepuk tangan meriah (like, share, atau komentar positif) dari orang-orang dalam lingkaran bubble kita, kita lalu merasa telah menemukan kebenaran sejati. Semangat juang kita kemudian seperti terlecut dan berlipat ganda. Makin banyak tepukan dan dukungan, makin semangat kita untuk terus mengulangi, memproduksi dan mereproduksi narasi-narasi berikutnya tanpa merasa perlu untuk memikirkan ulang narasi yang kita buat atau mengecek ulang informasi yang kita reproduksi.
Filter Bubble juga memiliki kemampuan untuk memantulkan atau menggemakan pandangan-pandangan kita sendiri di telinga kita. Kita mengemukakan dan mendiskusikan pandangan-pandangan kita ke publik media sosial, tetapi feedback yang kita dapatkan sesungguhnya hanya berasal dari mereka yang memiliki kesamaan isi kepala dengan kita. Filter Bubble menciptakan echo chamber (ruang gema) yang memantulkan pandangan-pandangan kita sendiri kembali ke telinga dan otak kita. Diskusi yang kita lakukan di media sosial, sebagian besarnya, terjadi diantara kita yang memiliki kesamaan pilihan politik. Jika Anda pendukung 01, linimasa Anda akan dipenuhi dengan berbagai pujian terhadap paslon 01 dan cacian atas kubu 02. Sebaliknya, jika Anda pendukung 02, media sosial Anda akan dijejali oleh berbagai puja-puji untuk paslon 02 dan hujatan untu kubu 01.
Apa yang terjadi selanjutnya dapat ditebak: kita akan makin tenggelam dalam “realitas” yang kita ciptakan sendiri dalam filter bubble kita. Kita hidup dalam dunia kita sendiri. Kita hanya tertarik mendengar kata-kata kita sendiri. Kita memuja pandangan-pandangan kita sendiri.
Jika demikian, media sosial hanya akan mengamplifikasi polarisasi yang terjadi dalam masyarakat kita. Dengan “bantuan” media sosial, perseteruan antara kedua kubu makin menjadi-jadi. Celakanya, kita tak pernah menyadari bahwa kita sebenarnya sedang berada dalam lingkungan yang membuat kita makin tenggelam dalam permusuhan tak masuk akal. Dan, karena media sosial sejatinya manawarkan keasyikan tersendiri bagi penggunanya, kita seolah tak lagi bersedia bangun atau dibangunkan dari berbagai halusinasi yang diciptakan oleh media sosial tentang realitas di sekitar kita.
Lalu bagaimana cara kita keluar jerat filter bubble kita? Adakah jalan bagi kita untuk membebaskan diri dari ruang-ruang pengap media sosial yang meracuni hati dan pikiran kita? Bagaimana menyelamatkan demokrasi yang terancam? Tampaknya menarik jika kita mendiskusikannya bersama-sama. Mari kita saling berbagi pandangan di ruang diskusi di bawah tulisan ini. Atau jika Anda membacanya melalui media sosial, kita bisa mendiskusikannya melalui komentar.
Bahan Tulisan:
Ghonim, Wael. 2015. “Wael Ghonim: Let’s design social media that drives real change.” TED Talk. Diambil 11 Mei 2019 (https://www.ted.com/talks/wael_ghonim_let_s_design_social_media_that_drives_real_change).
Pariser, Eli. 2011. The Filter Bubble: What The Internet Is Hiding From You. New York: Penguin UK.
DISCLAIMER
|