Untuk Menghindari Zina Tidak Harus dengan Menikah di Usia Muda

Emansipasi wanita bisa dipahami sebagai pembebasan terhadap hak-hak wanita di mana sesungguhnya tidak ada batasan peran bagi perempuan dalam kehidupan masyarakat. Namun pada realitanya perempuan masih dianggap sebagai makhluk sosial yang memiliki peran yang terbatas terlebih pada persoalan-persoalan publik misalnya menjadi wanita karir sampai menjadi pejabat publik (pimpinan). Kesenjangan-kesenjangan demikian mengakibatkan langgengnya “kurungan” bagi hak perempuan

Fenomena tersebut bisa dilihat pada realitas masyarakat khususnya pada masyarakat pedesaan meskipun hal yang sama juga kerap kali terjadi pada masyarakat perkotaan semisal batasan kriteria karyawan yang menghususkan laki-laki. Namun pada masyarakat, bias-bias gender bisa terlihat secara lebih nampak sebab erat kaitannya dengan stereotype tertentu bagi perempuan. Alasan tradisional yang sering muncul ke permukaan sebagai pembenaran han dan posisi (kewajiban) adalah “demi menghindari perbuatan zina maka sebaiknya perempuan menikah di usia muda” tentu argumen semacam ini memiliki makna dan tujuan yang baik yaitu mencegah perbuatan zina di tengah arus pergulatan zaman yang semakin bebas namun secara implisit justru argumen di atas justru membatasi ruang gerak perempuan dan seolah-olah menjadi satu-satunya solusi dari persoalan zina bahkan sampai pada persoalan-persoalan lainnya

Secara sederhana justru keadaan yang demikian akan memunculkan ulang terhadap memori perjalanan panjang tentang emansipasi wanita di mana waktu itu perempuan tidak lebih hanya dianggap mahkluk lemah dan pemuas nafsu birahi saja dan hal yang sama masih terjadi pada dunia modern saat ini namun dengan kacamata yang berbeda. ini justru berbanding terbalik dengan makna emansipasi wanita itu sendiri.

Saya kira dalam hal ini yang paling menjadi korban adalah perempuan yang sampai hari ini masih mengalami pembatasan hak kesempatan, anggapan terhadap perempuan sebagai makhluk sosial kasta kedua setelah laki-laki menyebabkan adanya keputusan-keputusan sepihak dari laki-laki kepada perempuan, dan tanpa disadari hal demikian dianggap sebuah hal yang wajar dan baik-baik saja. Padahal jika kita berpikir ulang justru yang demikian itulah merupakan penindasan terhadap hak perempuan yang seharusnya antara perempuan dan laki-laki memiliki peran, hak dan kesempatan yang sama. Memang tidak ada pengakuan secara langsung bahwa perempuan adalah kasta kedua setelah laki-laki namun, hal itu bisa dilihat dari tindakan sosial yang ditujukan kepada perempuan seperti stereotip bahwa perempuan sebaiknya hanya mengurus urusan rumah tangga, mengasuh anak dan lainnya.

Keputusan sepihak inilah yang menjadi ruang atau celah untuk melanggengkan pernikahan muda sulit untuk dihindari. Secara tak kasat mata menikah bukanlah hal yang tabu atau bahkan salah, bahkan menikah adalah proses pematangan pikiran, pendewaan diri dan lain sebagainya. Namun yang menarik adalah alasan dibalik pernikahan itu yang perlu diulas. Maka yang sering terjadi adalah perjodohan, nilai-nilai tradisi yang sudah terjadi secara turun temurun dan kadang faktor ekonomi (meskipun hari ini sudah sangat jarang terjadi). Inilah yang disebut sebagai keputusan sepihak tanpa adanya kesempatan bagi perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri, mungkin kesempatan itu ada tapi sangat kecil kemungkinannya sebab sering kali dibenturkan dengan nilai-nilai tradisi dan anggapan diamnya perempuan adalah sama dengan persetujuan sehingga mudah sekali keputusan dapat diambil. Meskipun tidak bisa dipungkiri ada faktor internal juga seperti ketakutan. Namun saya kira ketakutan itu terjadi karena sejak dari awal memang ada tekanan secara kultur yang seolah menjadi norma dan keharusan.

Lalu pertanyaannya adalah apakah nikah muda benar-benar menjadi satu-satunya solusi atas terjadinya perzinaan? Apakah ada hal lain untuk membebaskan perempuan dari alasan tradisional semacam itu? Untuk menjawab mari kita mendiskusikan bersama dan tentunya pembaca memiliki pandangan yang berbeda atau bahkan menolak argumen saya, dan saya tidak masalah dengan hal itu. Mari kita mulai dengan pertanyaan pertama, apakah nikah muda benar-benar menjadi satu-satunya solusi atas terjadinya perzinaan? Maka saya beranggapan tidak, sebab argumen semacam itu hanya bersifat klise yang pada dasarnya tidak menjawab masalah dan tidak pula menyelesaikan masalah. Kondisi ini hanya salah satu proses pemaksaan dan pembatasan terhadap kesamaan hak, tanggung jawab serta relasi antara perempuan dan laki-laki yang terjadi begitu saja tanpa adanya koreksi ulang teradap realitas yang ada

Menariknya adalah alasan demikian sering kali dibenturkan dengan nila-nila budaya, tradisi bahkan norma masyarakat tanpa memahami makna gender dengan jelas. Sebagai contoh anak perempuan dalam satu keluarga yang terdiri dari empat bersaudara. Maka sebagai orang tua tentu tidak ingin anak perempuannya berada pada pergaulan yang salah dan dari ketakutan semacam itu maka menikah dianggap sebagai jalan keluarga karena tidak akan ada pelanggaran norma sosial yang terjadi, katakanlah hamil di luar nikah, pelecehan dan lain sebagainya. Pada akhirnya, muncul bias-bias gender yang memunculkan kesenjangan, penindasan dan lain sebagainya terhadap kesamaan hak perempuan.

Sampai hari ini, peran perempuan selalu dibenturkan dengan kondisi biologis mereka dan hal semacam itu seolah sudah menjadi ketentuan kodrati seorang perempuan, padahal seharusnya kita bisa memahami di mana ranah sosial (konstruksi) dan di mana ranah kodrati (biologis) yang melekat pada diri perempuan. Ranah sosial adalah hasil konstruksi sosial mengenai peran perempuan dalam kehidupannya yang mana sebenarnya kondisi tersebut bisa berubah karena bukan kodrat dari tuhan yang melekat pada perempuan, dengan kata lain hanya sebatas hasil dari proses perjalanan budaya, konstruksi dan lain sebagainya yang kemudian kita pahami sebagai gender. Sedangkan ranah biologis adalah sesuatu yang melekat pada jenis kelamin tertentu baik perempuan dan laki-laki seperti laki-laki memiliki penis, memiliki jakun dan lainnya sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim untuk melahirkan, alat untuk menyusui dan lainnya inilah hal yang bersifat kodrati dan tidak bisa diubah.

Kembali pada persoalan pertama, bahwa pemahaman bahwa menikah muda adalah upaya menghindari diri dari perbuatan zina bagi saya karena terlalu kaku menyikapi perubahan sosial yang ada serta anggapan bahwa budaya atau tradisi yang ada sudah dianggap sebagai kemapanan sehingga dinamika sosial cenderung statis (diam)

Lalu pertanyaan yang kedua, Apakah ada hal lain untuk membebaskan perempuan dari alasan tradisional semacam itu? Tentunya ada, yang paling menarik perhatian saya adalah bagaimana pendidikan bisa menjawab persoalan seperti itu.

Ya, kita sepakat bahwa paling tidak pendidikan merupakan upaya mentransformasikan nilai-nilai pengetahuan dengan ketentuan kurikulum yang ada. Namun tentunya tidak hanya sesederhana itu ada banyak hal yang harusnya menjadi perhatian khusus lembaga pendidikan dewasa ini salah satunya adalah kesetaraan gender yang masih minim perhatian dari banyak pihak terutama kesadaran masyarakat itu sendiri yang tidak menganggap serius persoalan gender.

Selama ini lembaga pendidikan katakanlah sekolah menengah masih enggan untuk membahas terkait kebebasan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Diskusi-diskusi masalah perempuan jarang tersentuh dalam pembelajaran di kelas, entah apa karena anggapan belum waktunya atau alasan lainnya sehingga dengan sendirinya justru membiarkan konstruksi sosial mengenai peran perempuan yang terbatas tumbuh subur dengan sendirinya padahal kita mengamini bahwa pendidikan adalah urat nadi pembebasan. Padahal di lingkungan sekolah itulah peserta didik khususnya mendapatkan sosialisasi bagaimana seharusnya peran perempuan sebagaimana peran laki-laki yang ada di masyarakat

Saya kira yang terjadi sampai hari ini justru pembahasan intens tentang perempuan terjadi pada bangku kuliah. Namun sayangnya tidak semua orang bisa menduduki bangku kuliah, maka dari itu penting penanaman nilai-nilai gender sedari dini salah satunya dengan lembaga pendidikan terkait sehingga paling tidak ada perubahan stigma masyarakat terhadap peran perempuan yang pada akhirnya saya yakin bahwa tidak akan ada lagi alasan demi menghindari perbuatan zina maka perempuan sebaiknya/harus menikah di usia muda.

Sebagai penutup saya meyakini bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki di segala bidang dan itu terbukti hari ini bahwa banyak tokoh perempuan yang mampu keluar dari kurungan konstruksi sosial sehingga dapat menempati posisi-posisi yang diharapkan banyak perempuan maupun laki-laki. Di samping itu perlu menghadirkan sosok atau tokoh publik sebagai acuan bahwa perempuan tidak selamanya berada satu tingkat di bawah laki-laki, hanya saja pertanyaannya adalah bagaimana perempuan saat ini keluar dari pembatasan tersebut.

Tentunya penanaman nilai-nilai spiritual (agama) menjadi hal yang sangat menentukan tindakan baik perempuan maupun laki-laki sehingga perzinaan yang selama ini menjadi momok bagi mereka, yang pada akhirnya alasan menikah muda demi menghindari zina tidak lagi menjadi bahasan dalam melanggengkan tradisi ini dengan keputusan-keputusan sepihak tadi. Selain itu sosialisasi, penanaman pemahaman gender juga tidak kalah penting, karena dari situlah perempuan atau bahkan keseluruhan masyarakat mengerti posisi perempuan terhadap peran dan kesempatan dalam menentukan pilihan hidupnya. Tidak hanya itu diharapkan ada keterbukaan pikiran bahwa yang selama ini terjadi mengenai konsep pernikahan adalah kekeliruan yang dianggap biasa saja.

Yono
Penulis: Yono
Tentang Saya
Lahir di Sumenep tahun 2001, mahasiswa Program Studi Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengurus LPM Solidaritas UINSA

 

Find me on 
 ig24 yonomalolo

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini