Pergeseran Cara Pandang
Tampaknya, persepsi masyarakat terhadap seks telah banyak berubah. Dahulu, dimensi prokreasi (seks sebagai sarana untuk melanjutkan keturunan) dipandang sebagai fungsi utama seks, sehingga harus diwadahi dalam perkawinan. Kini, fungsi rekreatiflah yang ditonjolkan sehingga untuk memperoleh kenikmatan seks seseorang tidak harus menikah terlebih dahulu. Ia dapat mengakses kenikmatan seksual dengan pacar atau menggunakan jasa para penjaja cinta. Bahkan seks tidak jarang dipandang sebagai cara ampuh untuk membina relasi bisnis atau sekedar persahabatan.
Ambiguitas persepsi sosial terhadap dunia seks komersil juga tampak jelas. Di satu sisi, prostitusi dipandang sebagai salah satu patologi sosial yang harus dicari solusinya, tapi di sisi lain banyak lokalisasi yang justu dilindungi bahkan dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kenyataan ini tampak jelas terlebih lagi di daerah-daerah pariwisata yang menjadikan seks sebagai komoditi yang layak jual dan menjanjikan.
Pandangan terhadap seks seperti ini menyebabkan seks tidak lagi harus dikorelasikan dengan tanggung jawab. Bermain seks tidak berarti harus bertanggung jawab sehingga seks bisa dilakukan dengan siapa saja: pacar, teman, relasi bisnis, pelacur atau bahkan dengan orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Banyaknya kasus-kasus aborsi, atau penyakit menular seksual adalah realitas ikutan (dampak) dari sikap seperti ini.
Puncak Absurditas Perilaku Seksual Masyarakat Modern
Pada tahun 2002, terbit sebuah buku yang boleh dikatakan sangat menggemparkan: Jakarta Undercover: Sex ‘n The City. Buku yang ditulis oleh Moammar Emka ini menceritakan tentang absurditas perilaku seksual kalangan kelas atas Jakarta. Buku ini memberikan banyak informasi yang mencengangkan tentang perilaku seksual kalangan berduit di Jakarta.
Simak saja cerita Moammas Emka di bukunya. Ia mengisahkan bagaimana sebuah pesta nudies digelar di bawah tanah dengan peserta lebih dari 150 orang tanpa busana. Gadis-gadis cantik bergaul bebas dengan pria dalam basement yang disulap menjadi seperti sebuah klub malam kelas atas. 150 orang berkumpul bersama, laki-laki perempuan, tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuh mereka, merayakan kebebasan seksual yang seakan tanpa batas.[5]
Puncak absurditas perilaku seksual kaum jet set Jakarta tampak jelas dari judul-judul tulisan yang ada dalam buku tersebut. Simak saja judul-judul berikut: Service Dobel-Tripel VIP Sauna, Seks Bulan Madu Pajero Goyang, Chicken Nite Private Party, Ladies Escort No Hand Service, Seks Sandwich Sashimi Girls, Blue Nite Cowboy Stripper, “Tukar Kelamin” Party of The Year, dan seabrek judul lain yang susah dipahami, bahkan oleh imajinasi seksual terliar laki-laki normal sekalipun.[6]
Perilaku seksual yang dilaporkan dalam buku yang oleh pengarangnya disebut sebagai sex guide tersebut menunjukkan bahwa seksualitas telah mulai kehilangan maknanya dalam masyarakat. Seks dipahami sebagai sekedar alat pelampiasan kebutuhan syahwati manusia, tanpa disertai dengan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari makhluk manusia. Inilah puncak absurditas perilaku seksual masyarakat modern.
DISCLAIMER
|