Perilaku Seksual Kaum Terdidik
Pada sekitar awal tahun 2000-an, masyarakat Yogyakarta pernah dikejutkan dengan temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan dan Pusat Kajian Bisnis dan Humaniora yang menyatakan 97,05% dari 1.660 mahsiswi Yogyakarta yang menjadi respondennya mengaku tidak lagi perawan. Kita mungkin tidak asing dengan berita-berita di seputar perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa, tapi prosentase 97,05% benar-benar jumlah yang sangat fantastik, di luar perkiraan kita. Terlepas dari segala kontroversi yang menyertai hasil penelitian ini, temuan ini benar-benar membuat banyak orang tersentak hebat.[3] Separah itukah moralitas seksual mahasiswa kita?.
Dunia mahasiswa memang memiliki dinamikanya sendiri. Dunia yang mewakili kritisisme dan aktifisme sosial ternyata menyimpan sisi gelap yang benar-benar suram. Kritisisme yang begitu hidup menghadapi ketidakadilan, kesewanangan atau eksploitasi terhadap manusia dan kemanusiaan, ketika berhadapan dengan hingar-bingarnya kehidupan seksual seolah-olah mati tanpa daya, terkena serangan “impotensi” serius. Barang kali dalam pandangan mereka kehidupan seksual memang tidak membutuhkan sikap kritis.
Yang kini melumpuhkan aktifisme mahasiswa bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris.[4] Daya juang mahasiswa sebagai pejuang hak asasi manusia tidak lagi diuji di ruang interogasi markas Kodim atau Polres, tapi di plaza, café, diskotek, atau kamar kos yang kerap menjadi tempat paling kondusif bagi ekspresi seksualitas bebas bersama pasangannya.
Kita layak bertanya heran, kenapa justru di dunia pendidikan, potret moralitas seksual menjadi begitu suram dan kusut?. Apa yang salah dengan pendidikan kita?. Kita memang tidak dapat sepenuhnya menyalahkan sistem pendidikan, tapi refleksi kritis terhadapnya kiranya akan lebih baik daripada secara apriori membiarkan pendidikan berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk ikut serta mengawal moralitas kamanusiaan agar tetap beradab.
Sistem pendidikan kita agaknya menganut dikotomi antara pikiran dan kesadaran. Kerja pikiran adalah mengkonstruksi pengetahuan dan kerja kesadaran adalah memunculkan tanggung jawab. Aktifitas berpikir adalah primadona pendidikan. Di bangku-bangku kuliah mahasiswa diajari, bahwa untuk menjadi beradab kita harus memiliki ilmu pengetahuan. Karenanya aktifitas berpikir menjadi penting. Dimensi kesadaran yang memunculkan tanggung jawab lalu menjadi anak tirinya, terabaikan. Dikotomisasi antara pikiran dan kesadaran membuat aspek pengetahuan terpisah dari kesadaran. Kita tahu tidak berarti kita sadar. Tahu tak lantas memunculkan sikap bertanggung jawab.
Demikianlah, pengetahuan akan peradaban, harkat dan martabat manusia tidak membuat kita memiliki kesadaran untuk menjaga peradaban, harkat dan martabat manusia agar tidak jatuh menjadi bersifat kebinatangan. Pengetahuan akan sakralitas dan keluhuran nilai-nilai seksualitas sebagai sarana manusia untuk mempertahankan eksistensinya di bumi ini tidak dengan sendirinya memunculkan kesadaran untuk menjaga nilai-nilai seksualitas agar tetap bermartabat. Sebagai imbasnya, merebaknya kehidupan seks bebas justru dikalangan mahasiswa atau pelajar yang seharusnya menjadi penjaga moralitas seksual manusia.
Tentu saja, seperti yang telah kita tegaskan, sistem pendidikan tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Banyak faktor lain yang ikut menyebabkan merebaknya perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa, bahkan lebih besar. Perlu disadari, bahwa memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang Perguruan Tinggi dapat dibaca dari sisi lain sebagai penundaan terhadap usia perkawinan. Itu berarti dari sudut kehidupan seks, semakin besar kesenjangan bio-sosial (bio-sosial gap). Bertambah besar kesenjangan antara kematangan biologis dengan pernikahan sebagai sarana pemuasan kebutuhan seksual yang secara sosial direstui.
Dewasa ini, menikah dalam usia dini dipersepsikan sebagai tidak baik. Karenanya bertambahnya kesenjangan bio-sosial banyak dipuja-puji, terutama oleh para penganjur program Keluarga Berencana. Sementara di sisi lain, rangsangan-rangsangan seks bertambah semarak, semakin bertubi-tubi. Hampir tiada hari tanpa rangsangan seksual dari berbagai media: koran, majalah, tabloid, internet, VCD/DVD porno dan sebagainya. Komersialisasi seks meraja lela.
Para mahasiswa dan remaja menghadapi godaan serius. Film, musik, radio, bacaan, TV, internet, VCD/DVD porno mengajarkan bahwa seks itu indah, romantis, merangsang, menggairahkan serta menjanjikan kenikmatan tiada tara. Maka runtuhlah daya tahan mereka. Perilaku seks bebas merebak, bahkan seolah menjadi gaya hidup baru. Damikianlah salah satu sisi gelap kehidupan mahasiswa yang diharapkan dapat menjadi kekuatan moran masyarakat.
DISCLAIMER
|