Bicara soal dielektika tentu tidak lepas dari Hegel, dialektika selalu diasosiasikan dengan Hegel. Dimana dalam teorinya, dinyatakan, bahwa, dunia terus bergerak secara dialektis menuju kesempurnaan. Yakni bergerak dari: Tesis, Anti Tesis, dan Sintesis. Maksudnya apa yang tampak pada diri kita saat ini dan kondisi apa pun yang kita alami saat ini bukanlah sesuatu yang selesai, melainkan terus mengalami dinamika dan bergerak menuju kehidupan yang lebih baik, yakni kesempurnaan.
Baudrillard menyatakan bahwa tubuh dijadikan objek panggilan.[1] Secara literal, ia telah diganti dengan jiwa dalam fungsi moral dan ideologis. Dalam praktik kesehariannya apa yang terjadi pada tubuh perempuan baik di kasur, dapur, sumur dan ruang publik merupakan hal yang bersifat politis. Rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual merupakan hal yang sangat serius terkait pengaturan hak-hak politis perempuan. Jika sebelumnya tidak ada payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual secara komprehensif mulai dari penyelidikan, pendampingan dan pemulihan korban maka RUU ini sebagai jalan keluarnya. Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pun diatur dengan rinci hingga tidak akan mengkriminalisasi korban seperti yang terjadi pada Baiq Nuril. RUU P-KS ini tidak tanpa hambatan, ada pihak-pihak yang terganggu dengan perubahan sistem yang ada.
Zaman modern, di mana kita hidup sekarang, adalah zaman ketika manusia modern tak dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap teknologi yang makin lama makin canggih. Semua bidang dalam keseharian kita tidak ada yang lepas dari jamahan teknologi, seperti gadget, benda kecil tapi kaya akan fitur yang membuat aktivitas manusia menjadi efektif dan efisien.
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk membahas realitas di masyarakat menggunakan perspektif One Dimensional Man dari Herbert Marcuse. Dinamakan manusia satu dimensi karena di era modern ini manusia digiring untuk mengafirmasi apa yang diinginkan sistem dan bukan melawan. Lagi pula setiap kali ada perlawanan atau penolakan terhadap hal tersebut, yang terjadi justru hal itu diolah seakan-akan menjadi keuntungan dan merupakan hal yang baik atau wajar. Semua ini tidak lain adalah pengaruh dari iklan dan media sosial serta netizen yang senang untuk sekedar ikut-ikutan dengan trending topic.
Semenjak masifnya perkembangan internet pada akhir abad 20, dunia juga mulai berubah rupa. Semisal saja, perubahan sistem belanja yang sifatnya konvensional bergeser menggunakan daring. Juga bermunculannya start up yang mulai mereduksi kegiatan konvensional. Seperti aplikasi Go-Jek, Grab untuk transportasi. Bukalapak, Shopee, Belimobilgue.com dan lain sebagainya.
Bagi Sufi CINTA adalah suluk
Bagi Pejuang CINTA adalah revolusi
Bagi Rumi CINTA adalah Tuhan
Pendapat diatas menggambarkan bagaimana rumitnya menguraikan tentang esensi dan makna cinta. Membicarakan cinta ibarat menyelam ke dalam laut yang sangat dalam, serta mengarungi samudra yang tidak bertepi, atau seperti orang yang masuk ke dalam hutan kemudian tersesat yang kemungkinan sulit untuk ia temukan jalan pulang. Cinta adalah kata yang tidak akan mampu dan diurai secara menyeluruh, karena ia adalah inti bagi semua kehidupan. Cinta adalah gejala yang bersifat purbakala dan semua orang memiliki serta merasakan sengatannya. Sejarah cinta adalah sejarah tentang proses pencarian “diri individu” ke dalam “diri orang lain” yang melebur dalam “cinta”. Cinta adalah proses peleburan diri dengan orang yang kita cintai tanpa syarat dan ketentuan. Pencarian cinta adalah proses menemukan “kepingan hati” kita ke dalam “kepingan hati sang orang lain” dalam kalimat “saling mencintai”.
Perjumpaan agama dan politik kerap memunculkan banyak persoalan bagi kemanusiaan. Hal ini dikarenakan, melalui agama manusia hendak mengabsolutkan kekuasaan politiknya, dan sebaliknya, melalui politik manusia hendak mengabsolutkan kebenaran agamanya.
Jika dirunut, sikap semacam ini berkaitan dengan cara pandang modernisme yang hendak mengabsolutkan kebenaran tunggal. Melalui positivisme, ilmu-ilmu modern hendak menegaskan bahwa kebenaran itu bersifat obyektif dan oleh karenanya tunggal. Nalar positivis ini kemudian terbukti mendarah daging dalam cara berpikir manusia modern, termasuk dalam melihat ajaran agama. Bagi sebagian orang, adalah mungkin untuk sampai pada kebenaran absolut dalam agama, dan oleh karenanya maka pandangan keagamaan apapun yang berbeda akan dianggap sebagai pandangan yang melenceng dari kebenaran.
“Dulu saya berkata jika Jika Anda ingin memerdekakan masyarakat, yang Anda butuhkan hanya internet. Sekarang, saya percaya, untuk memerdekakan masyarakat, kita harus lebih dahulu memerdekakan internet”, begitu pengakuan Wael Ghanim, salah satu inisiator Arab Spring, mengungkapkan kekecewaannya atas apa yang terjadi pada rakyat Mesir pasca revolusi yang dimulai sejak akhir 2010 lalu.
Setelah euforia revolusi berakhir, Mesir justru memasuki situasi politik yang berujung pada polarisasi tajam. Media sosial diyakini memiliki konstribusi besar memperparah keadaan dengan memfasilitasi beredarnya informasi palsu, rumor, ruang gema (echo chamber) dan kampanye kebencian. Media sosial menjadi kancah peperangan penuh kejahilan, kebohongan, dan kebencian (Ghonim 2015).
Desa itu hanya rahim dari kita untuk berkembang dewasa. Sedangkan kota itu tempat jelajahan saat kita dewasa. Rahim itu harus diberikan gizì untuk berkembang dengan baik agar tidak heran, tidak kaget saat menelaah sesuatu.
Kita menilai rahim dan tempat jelajahan itu sama saja. Konyolnya sekarang tidak ada paham perbedaan antara rahim dan jejalahan. Lebih parahnya rahim akan dijadikan jelajahan. Gila. Manusia tidak lagi hormati rahim hanya saja selalu rindu ingin menikmatinya. Kemudian jadi tempat jelajahan.
Musik telah berdampak pada masyarakat, sepanjang masa, selama manusia memainkan dan juga mendengarkan musik. Musik bisa dikatakan sebagai sarana untuk menyampaikan sebuah pesan dengan diiringi oleh beberapa instrumen yang dimainkan dan dapat mengeluarkan suara atau bunyi. Musik sudah menjadi suatu budaya yang mendarah daging di dalam masyarakat itu sendiri. Secara garis besar karya-karya musik selalu bersinggungan dengan aspek realitas yang terjadi di dalam lapisan masyarakat.