Desa itu hanya rahim dari kita untuk berkembang dewasa. Sedangkan kota itu tempat jelajahan saat kita dewasa. Rahim itu harus diberikan gizì untuk berkembang dengan baik agar tidak heran, tidak kaget saat menelaah sesuatu.
Kita menilai rahim dan tempat jelajahan itu sama saja. Konyolnya sekarang tidak ada paham perbedaan antara rahim dan jejalahan. Lebih parahnya rahim akan dijadikan jelajahan. Gila. Manusia tidak lagi hormati rahim hanya saja selalu rindu ingin menikmatinya. Kemudian jadi tempat jelajahan.
Kota dan desa akan disamaratakan pikirannya. Desa tidak lagi berekonomi sebagai perdesaan tapi semi kota. Toko-toko mart menjamur membuktikan fakta itu ada. Toko-toko desa lama-lama melayani diriya sendiri.
Emang masih ada tapi bandingannya kecil dan ada juga pasar di tengah desa, orang jualan sayur yang keliling tapi kecil. Tetap saja mart antara kebutuhan sekaligus penjajah juga. Fungsi masing ambang-ambang. Seperti kotoran bau tapi bisa jadi pupuk yang menyuburkan.
Harapannnya desa tetap jadi rahim dan kota jadi jelajahan bermain kita. Desa ya desa. Kota ya kota. Tetaplah begitu. Itulah harus dipertahankan.
Tubuh manusia itu bertumbuh ada maksimal. Tapi tubuh pikiran itu bertumbuh tanpa maksimal suka-suka mau di titik berapa angkanya. Begitu jadi perbuatan maka akan terjenggal oleh hukum dan norma apalagi agama lebih juga budaya.
#WaraWiriHariIni
Purworejo, 18 Februari 2019
Sumber dari blog sendiri : https://sastracun.wordpress.com/2019/02/18/rahim-bukan-tempat-bermain-main/
Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/soekarno72/8704217070
DISCLAIMER
|