Bicara soal dielektika tentu tidak lepas dari Hegel, dialektika selalu diasosiasikan dengan Hegel. Dimana dalam teorinya, dinyatakan, bahwa, dunia terus bergerak secara dialektis menuju kesempurnaan. Yakni bergerak dari: Tesis, Anti Tesis, dan Sintesis. Maksudnya apa yang tampak pada diri kita saat ini dan kondisi apa pun yang kita alami saat ini bukanlah sesuatu yang selesai, melainkan terus mengalami dinamika dan bergerak menuju kehidupan yang lebih baik, yakni kesempurnaan.
Teori ini (baca: Dialektika Hegel), terlepas dari segala kerancuanya, memberikan kita optimisme dalam memandang dunia, utamanya masa depan. Karena intensitas interaksi dialektis kita dengan Alam, baik interaksi dengan sesama manusia, hewan dan tumbuhan kesemuanya adalah modalitas untuk sampai pada kesempurnaan. Tapi kesempurnaan itu tidaklah dengan serta merta bisa dicapai tanpa melalui kontradiksi-kontradiksi/konflik-konflik internal dalam kehidupan kita, atau kalau kita gunakan bahasa teologi, "tidaklah beriman seseorang kecuali akan diuji dengan berbagai macam ujian dan cobaan". Jadi cobaan itu adalah awal menuju keimanan (dalam makna teologi), atau konflik internal dalam relasi kemanusiaan adalah syarat gerak sejarah menuju kesempurnaan (dalam makna filosofis).
Jadi gerak dialektis, yakni konflik-konflik dan ujian-ujian yang kita alami dalam perjalanan kehidupan kita, janganlah dilihat sebagai keberakhiran-apalagi membuat kita jadi pesimis, karena ujian-ujian itulah yang akan mengantarkan seluruh potensialitas kemanusiaan kita sampai pada kesempurnaan atau kebenaran hakiki.
Oleh karena itu, penting kiranya bagi manusia menggunakan seluruh daya rasionalitasnya untuk membaca kehendak sejarah universal (Roh Absolut). Dalam artian, manusia dengan segenap refleksi rasionalnya mampu menyesuaikan kehendak-kehendak subjektif dirinya dengan kehendak absolut manusia. Yakni individu (tesis), dengan kehendak-kehendak subjektif manusia-manusia (anti tesis), harus diterjemahkan dan ditransformasikan ke dalam kehendak bersama/Umum/Absolut (Sintesis).
Demikian dalam membangun relasi cinta, juga tidak lepas dari kontradiksi dua jiwa yang hendak menyatu. Tentu dua insan yang berbeda (pria dan wanita), masing-masing membawa ide-ide atau kehendak-kehendak cinta yang saling berlawanan dan bertentangan, namun di atas semua itu tentu ada kehendak bersama (umum) yang ingin dicapai, yakni membawa relasi dialektis cinta itu pada tujuan hakiki, yakni KEBAHAGIAAN.
Lalu pertanyaannya, bagaimana caranya sampai pada tujuan hakiki cinta dalam makna dialektis? Yah, tentu dengan melepas segala ego (tesis), dan mencoba menegosiasikan segala kehendak cinta masing-masing (anti tesis), untuk menemukan kehendak cinta yang diinginkan secara bersama-sama (Sintesis). Pada tahapan inilah perjuangan cinta dibutuhkan untuk mencapai sintesis CINTA.
Oleh karena kontradiksi-kotradiksi atau konflik-konflik cinta adalah sebuah realitas yang senantiasa mengada dalam kehidupan para pecinta, misalnya: penolakan-penolakan dalam kehendak cinta, termasuk konflik-konflik cinta dengan pasangan, janganlah dilihat sebagai kondisi yang statis apalagi memberikan respon negatif, karena itu adalah kontradiksi cinta yang dinamis yang hendak menyempurna oleh dorongan energi Roh Absolut. Tentu dalam makna dialektis.
Maka jangan berhenti berjuang mendapatkan cinta anda, dan jangan berhenti memperbaiki hubungan cinta anda. Cukup siapkan dan pantaskan diri anda sebagai prasyarat dialektis bagi Roh Absolut untuk mengamini dan mewujudkan kehendak cinta anda. Dengan begitu Roh Absolut akan mengantarkan anda pada masa depan cinta, yakni cinta yang membahagiakan penduduk bumi dan diberkahi penduduk langit. Itulah masa depan cinta dan spiritualitas cinta.
DISCLAIMER
|