Saat ini politik berada dalam kegalauan ontologis. Istilah Kegalauan Ontologis saya adopsi dari Yasraf A. Pilang, seorang akademisi sekaligus seniman yang konsen pada kajian-kajian Cultural Studies yang bernuansa postmo. Istilah tersebut mengacu kepada keterbauran atau hilangnya batas-batas antara "Ada Politik" dengan "Ada Citra". Batas-batas ontologis keduanya mengalami persilangan sehingga dua entitas tersebut kehilangan keaslian dan realitasnya. Dalam artian terjadi hibriditas (kontaminasi) Politik oleh entitas-entitas yang berada diluar dirinya.
Politik kehilangan makna ontologisnya tergantikan oleh kepalsuan politik citra. Sama seperti manusia yang tenggelam dalam keumuman, budaya massa, sehingga kehilangan otentisitas dirinya. Ada politik (aktor, institusi, ruang publik) tenggelam dan terbenamkan oleh Citra Politik (citra aktor, ruang publik maya/virtual) yang berujung pada Imagologi Politik (Politik virtual/maya).
Fenomena seperti itu sangat mungkin dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang kian melaju. Dimana kebaradaan politik sebagai sebuah entitas yang utuh bergerak menuju kepalsuan politik yang dimediasi oleh teknologi informasi, sehingga yang ada bukan lagi presentasi politik (kehadiran aktor) melainkan representasi aktor (aktor citra/aktor virtual). Maka yang sampai pada khalayak bukan lagi realitas Politik melainkan simulasi politik citra (Imagologi Politik).
Di sinilah perlunya rasionalitas dan refleksi atas realitas, dunia saat ini tidak lagi mengada dalam makna orisinalitasnya. Apa yang tampak sebagai realitas sejatinya adalah simulasi realitas (realitas tiruan). Namun manusia saat ini lebih menyenangi dunia simulasi ketimbang realitas itu sendiri, misalnya, "kebiasaan perempuan selfie dengan kamera 360 agar kelihatan lebih cantik dan mulus". Itu salah satu dari sekian banyak contoh ekstase teknologi, dalam arti bahwa saat ini manusia lebih menyenangi dirinya yang terwakili oleh citra ketimbang dirinya yang riil.
Termasuk berbagai macam wacana politik yang dihembuskan melalui simulasi media citra, ia bukanlah realitas, ia adalah simulacra yang direkayasa sedemikian rupa. Dibalik wacana itu ada libido-libido yang sedang berusaha meraih keuntungan politik dan ekonomi. Maka jangan lihat wacananya, lihatlah siapa yang mereproduksi wacana itu terus-menerus, kejar sampai pada konteks, nanti juga akan ketemu dengan para Kaisar Libido itu.
Ya itulah gambaran politik hari ini, yang bergerak dan tenggelam ke dalam citra, sehingga kebenaran politik tegantikan oleh kepalsuan politik. Politik mengalami hibriditas, yakni perselingkuhan dengan berbagai entitas diluar dirinya: perkawinan politik dengan seksualitas melahirkan politik libido, perkawinan Politik dengan ekonomi melahirkan pasar politik, perkawinan politik dengan hukum melahirkan ketidakadilan/penindasan politik, perkawinan politik dengan teknologi melahirkan virtualitas politik (politik tanpa kehadiran). Keseluruhan hasil persilangan itulah yang disebut " transpolitika" oleh Yasraf.
Itu menandakan bahwa narasi politik tidak lagi berdiri sendiri melainkan selalu bersinggungan dengan narasi-narasi diluar dirinya: seperti, ekonomi, hukum, budaya, teknologi, seksualitas dan dunia hiburan. Persilangan-persilangan itu melahirkan kontaminasi (hibriditas) sehingga satu entitas dengan entitas lainnya kehilangan entitas aslinya, kehilangan eksistensi, lalu jatuh ke dalam jurang kegalauan ontologis. Sebuah dunia abu-abu tanpa makna dan kepribadian. Itulah dunia kita saat ini, dunia nihilisme, sebuah dunia tanpa tujuan.
DISCLAIMER
|