Musik telah berdampak pada masyarakat, sepanjang masa, selama manusia memainkan dan juga mendengarkan musik. Musik bisa dikatakan sebagai sarana untuk menyampaikan sebuah pesan dengan diiringi oleh beberapa instrumen yang dimainkan dan dapat mengeluarkan suara atau bunyi. Musik sudah menjadi suatu budaya yang mendarah daging di dalam masyarakat itu sendiri. Secara garis besar karya-karya musik selalu bersinggungan dengan aspek realitas yang terjadi di dalam lapisan masyarakat.
Max Weber melihat musik di dunia Barat telah berkembang ke arah rasional. Kreativitas musik direduksi menjadi prosedur rutin yang didasarkan atas prinsip-prinsip menyeluruh. Musik di dunia barat telah mengalami transformasi proses produksi musik menuju pekerjaan yang dapat diperhitungkan yang beroperasi dengan cara-cara populer, instrumen yang efektif dengan aturan-aturan yang dapat dipahami dan juga telah mengalami proses evolusi, dalam evolusi musik barat.[1] Meskipun musik sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan bahwa musik juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan kebudayaan Barat yang modern. Fenomena rasionalisasi inilah yang tampaknya sedang terjadi di Indonesia ketika RUU Permusikan diusulkan.
Rancangan Undang-Undang Permusikan atau biasa kita kenal dengan sebutan RUU Permusikan yang sempat diusulkan oleh Komisi X DPR Republik Indonesia, menuai pro dan kontra di kalangan musisi tanah air. Sebagian ada yang mendukung dengan alasan bisa memajukan industri musik nasional, sebagian lainnya menolak dengan alasan adanya beberapa pasal karet yang berpotensi mengekang, memberangus dan membatasi musisi dalam ranah kreativitasnya. Disamping itu draf RUU Permusikan dianggap aneh, kontroversial dan juga mengada-ngada, tidak sesuai realita.
Beberapa artis yang pro atau mendukung adanya RUU Permusikan ialah Glenn Fredly, ada juga Rian Dmasiv, Iqbal Ramadhan dan yang sepenuhnya mendukung RUU Permusikan ini Anang Hermansyah beserta istri tercintanya Ashanty.
Beberapa Artis yang kontra atau menolak adanya RUU Permusikan seperti Arian Seringai, Danilla Riyadi, Jason Ranti dan yang paling heboh dengan menentang Anang di sosmed ialah Jerinx drummer SID dan beberapa musisi yang bergerak di bawah jalur minor label atau indie yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan #KNTLRUUP.
Menurut Penulis, RUU Permusikan sengaja dibuat untuk tujuan melindungi industri musik tanah air khususnya band-band dari Major Label yang tergerus oleh band-band yang bergerak secara independent dalam Minor label atau sering kita sebut Lajur Indie. Banyak pasal-pasal karet yang terdapat di dalam Draf RUU Permusikan yang bisa menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.
Contoh saja Pasal 32 sampai 35, yang Penulis kutip ayat 1 pasal 32 yang berbunyi “Untuk diakui sebagai profesi, Pelaku Musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi”, Pasal 33 yang berbunyi “Uji kompetensi diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, Pasal 34 yang berbunyi “Peserta uji kompetensi yang telah lulus diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kompetensi”, dan Pasal 35 yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Ini berarti orang yang bisa bermain musik, amatir maupun profesional sebelum terjun ke industri hiburan ini harus bersertifikiasi sesuai peraturan pemerintah dan ini juga bisa membatasi minat dan daya orang untuk bermain musik sesuka hati karena harus melalui uji kompetensi dan mendapatkan sertifikat resmi dari pemerintah. Pengamen-pengamen di jalanan bisa saja terazia karena mereka tidak bisa mendapatkan lisensi dan sertifikasi oleh pemerintah, mungkin saja uji kompetensinya yang ribet dan banyak aturan.
Jika ingin melihat secara lengkap Draf RUU Permusikan bisa klik ini: Draft RUU Permusikan
Meskipun ada beberapa pasal RUU Permusikan yang penulis setuju semisal pasal 6 dan 7, yang berbunyi seperti dibawah ini.
Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi sarana dan prasarana untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi di bidang Musik”. Seperti misalnya Venue atau Stage buat acara musik yang sekarang khususnya di kota penulis tinggal, Surabaya. Sangat jarang venue musik khususnya buat aliran underground yang cenderung sedikit keras dan noise. membuat mereka kesulitan menyalurkan karya atau perform di atas panggung karena sekarang banyak cafe-cafe maupun tempat acara musik yang enggan menyewakan tempat mereka dengan alasan bisa mengalami kerusakan property atau hal-hal yang berbau kekerasan seperti pertengkaran ketika dipakai komunitas underground demi menampilkan band-band dari komunitas mereka. Seharusnya mereka dibuatkan wadah atau memfasilitasi komunitas ini agar mereka terus berkarya demi memajukan music scene kota mereka, siapa tahu mereka juga bisa menjadi band Go International dan membanggakan kota sekaligus negara kita.
Pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengembangkan Musik Tradisional sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa”. Ini bisa menjadi langkah awal pelestarian alat musik tradisional yang tergerus oleh alat musik modern dari barat, atau juga bisa dikolaborasi dengan genre musik jaman sekarang.
Tetapi kebanyakan dari pasal lainnya hanyalah pengekangan terhadap pengembangan kreativitas bermusik para seniman ataupun musisi khususnya yang bergerak di lajur indie dan musik-musik underground lainnya.
Menurut Arian 13 @aparatmati vokalis band rock, Seringai, RUU yang sudah santer sejak Agustus 2018 silam tersebut memiliki pasal-pasal karet yang rentan mengkriminalisasi musisi dan pekerja seni. “Harusnya yang dibahas adalah tata kelola industri musik di Indonesia, seperti apa. Bukannya membatasi. Anggota DPR berdalih ini akan menjadi UU musik pertama di dunia, ya mungkin saja di negara lain itu enggak ada karena memang enggak butuh,” katanya.[2]
Para penyusun naskah RUU pun sangat aneh kecuali Pak Hijau a.k.a Anang Hermansyah, yang lainnya sama sekali tidak mengerti soal industri ini, secara akademik musik formal. Itu bisa dikatakan bahwa perumusan RUU Permusikan hanya mementingkan tujuan pribadi #Palenk dan tidak mengindahkan pertimbangan nilai maupun tidak mau mengkaji lagi lebih dalam untuk kesejahteraan seluruh pelaku industri musik di tanah air.
Setelah beberapa hari polemik soal RUU Permusikan, akhirnya Konferensi Meja Potlot dan Pak Hijau a.k.a Anang Hermansyah sepakat batalkan RUU Permusikan. Baca https://tirto.id/anang-dan-konferensi-meja-potlot-sepakat-batalkan-ruu-permusikan-dg5a
Catatan
[1]Doyne Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (1994), halaman 207.
[2] Sumber: tirto.id/vokalis-seringai-sebut-ruu-permusikan-bertentangan-dengan-uud-1945 (30/01/2019)
Referensi :
George Ritzdan, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari klasik sampai perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi Posmodern, KREASI WACANA, Yogyakarta (2010).
Doyne Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (1994).
Weber Max, The RationalandSocialFoundationof Music
DISCLAIMER
|