Masyarakat jawa jika memandang masyarakat papua yang akan muncul dari pikirannya adalah masyarakat primitif, pemabuk, dsb. Ada banyak sekali judgement buruk tentang masyarakat papua di masyarakat jawa. Kultur di papua seringkali dipukul rata atau disamakan dengan kultur jawa sehingga yang terjadi kita terjebak pada rasialisme yang tidak perlu. Mereka tidak memahami apa dan bagaimana proses pembentukan masyarakat di papua. Ada proses sejarah panjang yang membentuk kultur masyarakat papua yang tentu berbeda dengan jawa.1
Basundoro dalam bukunya Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an berusaha memotret fenomena Kembang Kuning dari sudut pandang pertarungan akan eksistensi manusia dalam kebutuhan ruang. Ruang di sini merupakan ruang di mana manusia menjalankan konsep dirinya sebagai individu dan makhluk sosial. Pertarungan yang terjadi di Surabaya ternyata berlanjut hingga hari ini, sampai detik ini dua orang masyarakat Waduk Sepat tengah diperiksa oleh Polda Jatim lantaran mereka dituduh merusak fasilitas yang dimiliki oleh PT. Ciputra Surya. Lalu bagaimanakan sebenarnya konflik ini berlangsung, tulisan ini berusaha memotret perebutan ruang kota di era sekarang.
Kata impunity yang ada dalam bahasa inggris tidak ditemukan padanan kata dalam bahasa indonesia resmi. Kata impunity sendiri berasal dari bahasa latin impunitas yang berasal dari akar kata impune yang artinya tanpa hukuman.
Impunity dalam kerangka hukum internasional disini adalah ketidakmungkinan de jure atau de facto untuk membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan, kriminal, sipil, administratif atau indisipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinakan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka.
Menyandang gelar mahasiswa barangkali menjadi sebuah kebanggaan bagi arek-arek sing jek tas melbu kampus. Sialnya, tidak semua jurusan memiliki stereotipe yang apik di mata masyarakat umum. Salah satunya jurusan Sosiologi.
Jurusan yang kerap tergabung dengan Fakultas FISIP ini sering mendapat ejekan dan cercaan dari sebagian umum masyarakat. Selain begok dalam hitung-hitungan, ada anggapan bahwa lulusan sosiologi bakal jauh dari akidah agama. Atau bahasa bekennya: kafir, atheis, gila, serta masih banyak lagi.
Ya gimana lagi, seyogianya kami anak Sosiologi diwajibkan belajar teori milik Karl Marx. Teori ini seringkali dihubungkan dengan kuminis, PKI, gerakan kiri, antiagama, kafir, dan masih banyak lagi.
Kita tahu bahwa masyarakat kita sekarang ini hidup dalam kearifan mesin-mesin industrialisme, hingga kita tak pernah sadar bahwa kita sudah terlalu jauh menjalani kehidupan ini tanpa makna, kita butuh makna itu, dan apa yang sanggup memberi makna dalam kehidupan kita akan saya sebutkan pada penjelasan berikutnya, hanya saja saya akan memakai argumen Kuntowijoyo untuk menjelaskan hal itu.
Menerapkan prinsip keadilan, bagi John Rawls, berarti memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Rawls yakin, suatu jaminan atas kebebasan yang sama bagi semua pihak adalah jalan, khususnya bagi mereka yang kurang beruntung (mereka yang tidak memiliki kemampuan yang cukup atau yang secara sosial berada dalam posisi marginal), untuk berjuang meningkatkan hidupnya sebagai manusia. Dengan kata lain, keadilan sosial akan ditegakkan apabila setiap orang memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk menikmati berbagai nilai dan manfaat sosial dasar yang tersedia di dalam masyarakat (Ujan 2001, 23–24). Pandangan seperti ini dikenal dengan equality of opportunity.
Saat ini politik berada dalam kegalauan ontologis. Istilah Kegalauan Ontologis saya adopsi dari Yasraf A. Pilang, seorang akademisi sekaligus seniman yang konsen pada kajian-kajian Cultural Studies yang bernuansa postmo. Istilah tersebut mengacu kepada keterbauran atau hilangnya batas-batas antara "Ada Politik" dengan "Ada Citra". Batas-batas ontologis keduanya mengalami persilangan sehingga dua entitas tersebut kehilangan keaslian dan realitasnya. Dalam artian terjadi hibriditas (kontaminasi) Politik oleh entitas-entitas yang berada diluar dirinya.
Saya akan memulai artikel ini dengan asumsi, bahwa, saat ini politik mengalami Hibriditas (kontaminasi/perkawinan) dengan berbagai entitas yang berada di luar dirinya, bahkan bukan dirinya, yang mengatarkan dunia politik menjadi dunia abu-abu, sebuah dunia tanpa kejelasan. Oleh karena itu, pada artikel ini kita akan mencoba menemukan relasi, tepatnya pembauran antara politik, tubuh, dan pasar (kapitalis).
Sepak bola dalam satu dekade terakhir telah perlahan berubah wajah dari yang dulu begitu humanis dengan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh manusia biasa (wasit), sekarang menjadi sebuah industri yang menuntut sebuah presisi dengan sedikit kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia dengan sokongan teknologinya. Sepak bola seakan menjadi manifestasi maskulinitas dalam revolusi industri 4.0 saat ini.
Kita tidak bisa menukilkan, bahwa perkembangan kota yang meraksasa dan infrastruktur yang memadai merupakan jawaban kita mengenai konsep kesejahteraan yang kita deskripsikan selama ini, namun kita tidak bisa menafikan pula bahwa pada setiap kesejahteraan yang terukir dalam keberlangsungan sejarah, dibaliknya tersusun beribu-ribu tetesan air mata dan darah yang seharusnya patut kita pertimbangkan. Hal itu tidak hanya berhenti pada perjuangaan Indonesia untuk menggapai kemerdekaan, melalui butir-butir darah pejuang yang menetes ketanah, namun pengorabanan semacam itu juga patut kita pertanyakan dalam proses beranjaknya Indonesia menjadi negara yang bisa di katakan “maju”, di mana tangis-tangis kemiskinan masih mengisi pelosok-pelosok negeri ini.