Riuh Piala Dunia 2018 di Rusia telah perlahan melenyap dengan berbagai suguhan aksi berkelas pemain di lapangan. Yap, piala dunia edisi ke-21 FIFA ini merupakan kali pertama yang dihelat di dua benua sekaligus. Saking luasnya Rusia yang membentang dari timur Eropa hingga Utara Asia, menjadikan piala dunia edisi ini sebagai termahal dalam sejarah penyelenggaraan piala dunia. Dalam informasi yang dihimpun penulis, biaya penyelenggaraan piala dunia edisi ke-21 ini mencapai USD 14 miliar atau setara Rp 199,3 triliun dengan kurs 1 USD = Rp 14.293. Apakah begitu mahal? Ah tidak, kita saja yang belum terbiasa melihat uang dengan nominal sebanyak itu.
Tulisan ringan ini berangkat dari satu asumsi utama, bahwa positivisme bukan sekedar sebuah mazhab ilmu pengetahuan tapi sudah menjadi bagian dari kesadaran hidup manusia sehari-hari. Positivisme bahkan telah merambah kesadaran hidup manusia yang paling primordial: agama. Melalui logika kuantifikasi dan reifikasi, positivisme mewujud dalam beragam bentuk ekspresi keberagamaan.
Apa yang akan terjadi jika naluri seksual manusia dikawinkan dengan teknologi komputer? Absurditas makna seksual. Itu yang bakal terjadi, bahkan telah terjadi. Seksualitas menjadi sepotong realitas yang ditransformasikan melalui jaringan kabel, membentuk dunia maya. Kita mengenalnya dengan cyberspace dan realitas seksual maya yang ditawarkannya kita sebut dengan cybersex. Seks menjadi online, dapat diakses oleh siapapun tanpa mengenal batasan umur. Dahulu, hubungan seks hanya dapat dibayangkan terjadi melalui kontak fisik secara langsung. Keberadaan internet dengan cybersexnya menjadikan kontak fisik bukan lagi satu-satunya cara mengakses kenikmatan seksual. Internet memungkinkan perengkuhan kenikmatan seksual melalui dunia maya, sebuah kenyataan yang bernar-benar semu, virtual reality of sex.
Proses Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan
Berger memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, inilah yang dinamakan kenyataan sosial.[1] Eksternalisasi adalah kecurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupaun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsernya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui obyektivasi, maka masyarakat menjadi realitas sui generis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat.[2]
Islam dan Modernitas
Tanggapan kaum muslim terhadap modernisasi berbeda-beda. Modernisasi yang sekarang dibawa Barat adalah langkah mereka untuk menguasai Negara dan menyebarkan ideologinya. Bagi banyak orang, keunggulan Eropa harus diakui, dihadapi dan pelajaran-pelajaran harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Pengaruh dan daya pikat Barat yang terus-menerus merupakan bukti lebih sekulernya jalan yang dipilih oleh kebanyakan pemerintah dan kaum elite modern. Bahkan Negara-negara di mana Islam mempunyai peran penting dalam gerakan-gerakan nasionalis, gerakan baru yang berkuasa cenderung berorientasi pada sekuler.
Pendahuluan
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tidak kacau”.[1] Adapun agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali.[2] Dalam setiap agama terdapat aspek konservatif yang memberikan rasa kesucian terhadap tradisi dan keberlangsungannya. Istilah konservatisme dapat dimaknai bahwa agama memiliki kekuatan untuk menolak perubahan dan cenderung ingin mempertahankan status quo–kondisi yang sudah mapan.[3] Karena faktor ini, agama seringkali bersikap menahan diri terhadap unsur perubahan yang mungkin dianggap memprofankan. Sebab lain, ialah karena agama sudah mewujud dalam simbol-simbol dan idiom-idiom suci yang disakralkan, yang secara apriori menolak perubahan.
Generasi Z merupakan generasi yang lahir dengan rentang waktu 1996-2012. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi ini lebih beruntung. Perkembangan teknologi yang sangat cepat membawa generasi ini memiliki banyak kesempatan serta pilihan untuk mengakses interenet 3-5 jam perhari atau bahkan lebih. Dari main game, akses internet, dan mencari informasi di media. Lewat media sosial mereka tak hanya memiliki teman di dunia nyata tetapi juga di dunia maya, teman generasi ini tak hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri. Nah dengan banyaknnya teman dan juga kemudahan komunikasi akankah generasi ini menjadi generasi yang terbuka?.