Pengikut Manhaj Salaf di Tengah Gempuran Modernitas (Bag-1)

Pendahuluan

Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tidak kacau”.[1] Adapun agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali.[2] Dalam setiap agama terdapat aspek konservatif yang memberikan rasa kesucian terhadap tradisi dan keberlangsungannya. Istilah konservatisme dapat dimaknai bahwa agama memiliki kekuatan untuk menolak perubahan dan cenderung ingin mempertahankan status quo–kondisi yang sudah mapan.[3] Karena faktor ini, agama seringkali bersikap menahan diri terhadap unsur perubahan yang mungkin dianggap memprofankan. Sebab lain, ialah karena agama sudah mewujud dalam simbol-simbol dan idiom-idiom suci yang disakralkan, yang secara apriori menolak perubahan.

Sudah menjadi asumsi bahwa Islam menentang perubahan dan menolak modernitas.[4] Mereka yang berpikiran demikian dapat ditemui baik dari orang-orang muslim maupu orang-orang non-muslim. Namun, kenyataannya, modernisasi juga merambah ke Agama Islam. Sehingga, menyebabkan pemahaman tentang nilai-nilai keagamaan, tata cara keagamaan, beserta ekspresi relijiusitas dalam agama Islam pun juga mengalami perubahan. Seperti yang terjadi pada saat ini. Misalnya, jika dahulu seorang Kyai hanya berdakwah di tempat-tempat ibadah, sekarang berdakwah juga bisa dilakukan lewat media-media elektronik seperti internet, televisi, atau radio. Yang menjadi masalah bagi umat Islam adalah apakah dengan modernisasi yang kian intensif nanti nilai-nilai luhur dapat dipertahankan sehingga umat Islam dapat sekaligus beragama-masyarakat modern, tetapi tetap berpijak pada identitas diri yang jelas pula. Namun, ada beberapa orang yang tetap mempertahankan aspek konservatif agama sehingga mereka tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang terdahulu. Paham yang diikuti orang-orang tersebut disebut paham salaf. Salaf sendiri berarti yang terdahulu. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Yang dimaksud orang-orang yang mendahului kita dalam penjelasan di atas adalah para sahabat, tabi’in, dan atba’ al-tabi’in. Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.

Nilai-nilai salaf kini mulai beredar di kalangan masyarakat kota. Sehingga, pengikut manhaj salaf di perkotaan mulai banyak. Bahkan, tak jarang mereka mengadakan sebuah pengajian rutin tentang kajian-kajian salaf, seperti yang terjadi di Semolowaru Surabaya. Disitu terdapat sebuah majelis ta’lim yang menggunakan metode salaf.

 

Agama dan Perubahan

Moore (1967) mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada struktur-struktur sosial, yakni pada pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Agama dan perubahan memang merupakan dua hal yang berbeda, tapi saling mempengaruhi. Merujuk pada Max Weber (1864-1920), agama-lah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Dengan nilai-nilai keagamaan mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka melahirkan peradaban yang lebih humanis.  Dalam bukunya yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber mengemukakan bahwa aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.[5]

Menurut penelitian Max Weber dalam bukunya tersebut, ia menyatakan bahwa Protestanisme yang diusung oleh Martin Luther dan Johanes Calvin sesungguhnya telah berhasil mengubah wajah Eropa dengan etika Kristen. Kehidupan gereja menurut penelitian Max Weber sebelum peristiwa Reformasi abad XVI sebenarnya telah mengembangkan sikap “asketisme yang terarah ke luar-dunia”, yaitu kehidupan yang mengarah “ke sorga”. Sehingga orang-orang yang bekerja secara sekuler dianggap belum memiliki tingkat “rohani” yang mulia. Kepercayaan Calvinis tidak hanya dengan amat tegas menekankan perlunya kerja keras dan melarang semua bentuk pemborosan dan penggunaan uang dengan percuma, tetapi ia juga menolak validitas sistem gerejawi untuk mendapatkan kehidupan yang baik di bumi ini dan di surga kelak melalui pemberian sakramen.[6]

Tak kalah dengan Weber dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Robert N. Bellah juga melakukan pengamatan terhadap agama Tokugawa dengan pembangunan ekonomi Jepang. Penelitian ini menguji seberapa besar pengaruh agama Tokugawa terhadap cepatnya laju pembangunan di Jepang. Bellah mengembangkan teori Weber dalam kajian fungsional dalam sistem sosial dengan mencoba melihat prestasi dan bawaan dengan sifat-sifat ekonomi yang disebut sebagai nilai ekonomis. Kemudian sistem motivasi atau budaya sebagai nilai-nilai budaya dan politik sebagai nilai-nilai politik, serta sistem integratif atau institusi sebagai nilai-nilai integratif dijadikan sebagai unsur yang universal dan particular untuk melihat pola utama.[7] Awal gerak gelombang industrialisasi Jepang berawal dari kelas samurai. Kelas samurai inilah yang memiliki wiraswastawan unggul dan sanggup membangun kembali masa kejayaan kekaisaran Jepang, dan meletakkan dasar-dasar modernisasi Jepang.

Demikan juga saat Islam hadir di Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi. Muhammad yang hadir sebagai pemimpin baru di Mekkah, selain mengemban misi tauhid, ia juga melakukan perbaikan moral, yang dimana waktu itu di Mekkah mengalami jaman jahiliyah atau jaman kebodohan. Ajaran Islam membawa pesan dan ajaran tentang hak-hak orang miskin, melindungi perempuan, dan membela hak-hak budak yang tertindas. Bahkan setelah Muhammad hijra ke Madinah, Muhammad mampu membentuk masyarakat madani dengan adanya Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah, Muhammad membuat tatanan masyarakat baru lintas suku dan kabilah dalam satu negara yang dibangun atas dasar kebersamaan dan keadilan.[8]

 

Benarkah Dunia Ini Semakin Sekuler?

Seiring dengan perubahan sosial akibat proses modernisasi, sebagian ilmuwan meyakini bahwa agama akan mengalami penurunan di segala bidang kehidupan. Fenomena ini dikenal sebagai proses sekularisasi. Bagi Peter L. Berger, sekularisasi adalah suatu “proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan. Terdapat dua bentuk arah atau kecenderungan proses sekularisasi. Pertama, kecenderungan proses sekularisasi ke arah bentuk rasionalisasi, dan kedua ke arah terbentuknya sekuralisme.

Faktor sebagai pendorong sekularisasi menurut Berger, antara lain: peradaban manusia sebagai suatu keseluruhan yang menyebar ke seluruh dunia; dinamika yang ditimbulkan oleh kapitalisme industrial; gaya hidup yang ditimbulkan oleh produksi industrial; pengaruh dari ilmu pengetahuan modern yang meresap ke berbagai sektor kehidupan sosial; infrastruktur praktikal di dalam kehidupan sosial.[9]

Sejak abad yang lalu, hingga dewasa ini, ada dua macam sekularisme, yaitu sekularisme ekstrem dan sekularisme moderat. Sekularisme ekstrem adalah sebuah ideoogi yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur tangan Tuhan.[10] Sedangkan, sekularisme moderat yaitu pandangan hidup atau ideologi yang mencita-citakanotonomi nilai duniawi dengan mengikutsertakan Tuhan dan agama.[11] Nurcholis Madjid juga berpendapat tentang sekularisasi dan sekularisme. Nurcholish Madjid sangat menolak adanya persamaan istilah antara “sekularisasi” dengan istilah  “Sekularisme”, yang membuat umat Islam selalu berorientasi pada duniawi. Sekularisasi menurutnya, merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai istilah deskriptif, sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah , dimana masyarakat dan kebudayaan di bebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sehingga sekularisasi pada dasarnya merupakan perkembangan pembebasan. Hal itu sangat berbeda dengan istilah “Sekularisme”, sebab ia, adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup, yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Selanjutnya Nurcholish Madjid menegaskan, bahwa sekularisme adalah faham keduniawian, faham ini mengatakan bahwa kehidupan duniawi adalah mutlak dan terakhir.

Berbicara tentang sekularisasi, tidak bisa lepas dari modernisasi. Zaman sekuler, ditandai dengan hilangnya pesona dunia. Seluruh aktivitas dan gejala alam dapat diatasi oleh ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, masyarakat sekuler memandang agama tidak penting lagi.

Arus modernisasi tidak dapat terbendung lagi. Segala macam aspek kehidupan mengalami modernisasi. Hingga, peran agama pun tersingkirkan akibat ulah modernisasi. Hingga orang-orang menyebutnya dengan istilah God is Dead. Namun, benarkah modernisasi dan sekularisasi telah memperoleh kemenangan yang mutlak dari agama? Fakta menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Di beberapa Negara yang telah “tersekulerkan”, justru semangat relijiusitas muncul dengan adanya beberapa gerakan keagamaan. Hal itu ditandai dengan adanya gerakan New Age di Amerika Serikat, gerakan fundamentalisme agama merebak di berbagai Negara dan agama, terorisme yang berdalih argument keagamaan, dan tuntutan khilafah Islamiah dari kelompok Hizbut Tahrir misalnya, yang tak kunjung surut di beberapa Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia.

Prestasi manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak begitu kuat terhadap nilai-nilai yang sudah mapan. Namun, scientisme dan rasionalisme yang semula dianggap sebagai pahlawan pembebas dari kesulitan hidup, justru telah menyebabkan manusia masuk dalam lubang krisis kemanusiaan. Hal itu membuat kaum urban haus akan nilai-nilai relijiusitas yang dulu pernah dianggapnya bisa menenagkan jiwa mereka. Meski dengan modernitas manusia menjadi narsis, tetapi di saat yang sama manusia juga bisa kehilangan maknanya dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, ketidak-seimbangan manusia dalam keseluruhan upayanya menyingkap misteri kosmik harus diimbangi dengan spiritual.

Jika kita pergi ke toko buku, maka buku-buku yang bertemakan relijiusitas lah yang paling laris.[12] Kursus, pelatihan, seminar yang paling diminati pun yang bertemakan relijiusitas. Media massa yang sebelumnya tak pernah menyajikan tayangan-tayangan keagamaan pun juga ikut menawarkan jajanan relijiusitas. Apalagi saat ini media massa yang khusus menyajikan hal-hal yang berbau keagamaan juga sudah berkembang pesat. Seperti yang kita ketahui, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, banyak stasiun televisi atau radio yang khusus menyiarkan hal-hal yang berbau agama.

Artis, yang identik dengan kehidupan yang bersifat glamor, hedonis, tak ketinggalan untuk mengadakan pengajian-pengajian di kalangan mereka sendiri. Berdasarkan perhitungan statistik, jumlah jamaah haji di Indonesia juga tiap tahun mengalami peningkatan. Sampai-sampai, untuk saat ini antrean haji tembus dua juta orang.[13] Partai politik yang identik dengan ide-ide demokrasi juga muncul dengan wajah baru yaitu dengan cara berbasis pada suatu agama.

Dalam suatu wawancara pada tanggal 17 September 2008 dengan Tempo, Direktur Utama Mizan, Hadiar Bagir mengungkapkan bahwa persoalan hidup berpotensi memicu masyarakat menjadi stress, depresi, dan alienasi.[14] Ia menambahkan bahwa semakin tingginya individualisme dan tingkat perceraian juga memicu gejala ini. Akibatnya, masyarakat mulai mencari alternatif untuk membuat hidup mereka menjadi lebih tenang. Sufisme atau tarekat menjadi jawaban terhadap ekses mental dan psikologis orang modern yang tinggal di perkotaan. Di sinilah segi agama dapat membantu dalam memberikan pegangan agar masyarakatnya tidak gelisah dan mencari pegangan dalam ajaran Tuhan.[15]

Fenomena seperti ini memang cukup unik karena fenomena ini muncul di kalangan masyarakat perkotaan pada kelas menengah keatas. Pencinta spiritualitas yang dulu di-stereotype-kan sebagai orang yang gembel, hanya mementingkan kehidupan ukhrawi, menjadi peminta-minta, berasal dari kalangan kelas ekonomi bawah, kini mengalami perubahan. Dari sini, kita bisa simpulkan bahwa teori sekularisasi telah mengalami kegagalan.

Karena teori sekularisasi tidak memperhitungkan bahwa agama mungkin saja muncul dengan penampilan baru. Menurut Yves Lambert, agama tidak tersekulerkan, agama hanya mengalami perubahan bentuk.[16] Dalam menjelaskan sekularisasi, kita harus mengerti konsep relijiusitas. Peter E. Glasner menyatakan bahwa apa yang dipahami tentang relijiusitas dalam teori sekularisasi erat kaitannya dengan sosio-historis agama Kristen Barat. Relijiusitas diidentikkan dengan ketaatan terhadap gereja, eksistensinya dalam upacara-upacara relijius. Akibatnya, yang terjadi saat ini adalah teori sekularisasi mengalami kesulitan konseptual ketika berhadapan dengan tradisi keagamaan yang tidak mengenal institusi gereja, seperti agama Islam. Memang, agama apapun pasti mengalami proses institusionalisasi. Akan tetapi, institusi dalam agama Islam dan agama Kristen jelas berbeda. Karena tradisi dalam agama Islam cenderung lebih cair. Pada awal kemunculannya, agama manapun belum terinstitusionalisasi secara ketat seperti yang terjadi dalam dunia modern. Oleh karena itu, melunturnya partisipasi institusional bukan berarti melunturnya relijiusitas.[17]

Bersambung ke Pengikut Manhaj Salaf di Tengah Gempuran Modernitas (Bag-2)

Catatan Kaki

[1] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Rosda, 2000), hlm. 13

[2] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,(Bandung: Rosda, 2000), hlm.  14

[3] Nanang  Martono, Sosiologi Perubahan Sosial,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), Hlm. 174

[4] Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) Hal. 167

[5] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi dan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 238

[6] Elizabeth K. Nattingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1975), hlm 137

[7] Robert N. Bellah, Religi Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 5

[8] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 94-95

[9] Peter L. Berger, Langit Suci, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 131-132

[10] Ishomudin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 65

[11] D. Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 136

[12] Husnul Muttaqin, Menggugat Teori Sekularisasi”, Jurnal Sosiologi Islam (Vol. 2, No. 2, Oktober 2012), hlm. 30

[13] “Antrean Haji Tembus Dua Juta Orang”, www.kemendagri.go.id (09 April 2013), www.kemendagri.co.id/news/2013/04/09/antrean-haji-tembus-dua-juta-orang, (Diakses 15 Juli 2013)

[14] Rana Akbari Fitriawan, “Stress Memicu Sufisme Perkotaan Meningkat”, TEMPO.CO (17 September 2008), m.tempo.co/read/news2008/09/17/058136067/Stress-Memicu-Sufisme-Perkotaan-Meningkat, (Diakses 15 Juli 2013)

[15] Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 128

[16] Dikutip oleh Husnul Muttaqin,Menggugat Teori Sekularisasi”, Jurnal Sosiologi Islam (Vol. 2, No. 2, Oktober 2012), hlm. 31

[17] Husnul Muttaqin, “Menggugat Teori Sekularisasi”, Jurnal Sosiologi Islam (Vol. 2, No. 2, Oktober 2012), hlm. 32

Ninung Farihani Najwa
Penulis: Ninung Farihani Najwa
Tentang Saya
Alumni Program Studi Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya
Tulisan Lainnya

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini