Pengikut Manhaj Salaf di Tengah Gempuran Modernitas (Bag-3)

Proses Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan

Berger memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, inilah yang dinamakan kenyataan sosial.[1] Eksternalisasi adalah kecurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupaun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsernya semula, dalam bentuk  suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui obyektivasi, maka masyarakat menjadi realitas sui generis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat.[2]

Sosialisasi dikatakan berhasil jika keadaan tersebut berhasil diinternalisasikan. Proses internalisasi harus selalu dipahami sebagai salah satu momentum dari proses dialektik yang lebih besar yang juga termasuk momentum-momentum eksternalisasi dan objektivasi.[3] Jika ini tida dilakukan, maka muncul suatu gambaran determinisme mekanistik, yang mana individu dihasilkan oleh masyarakat sebagai sebab yang menghasilkan alam. Internalisasi bukan saja merupakan bagian dari dialektik fenomena sosial yang lebih besar, tetapi sosialisasi individu juga terjadi dalam cara yang dialektik.

Seperti yang terjadi dalam Majelis Ta’lim Ummahat. Ajaran-ajaran agama yang berupa ajaran salaf berhasil mengkonstruk cara hidup pengikutnya. Konstruksi disini melalui tiga proses dialektis, yakni internalisasi, ekternalisasi dan obyektivasi. Berbicara tentang internalisasi, tidak bisa lepas dari pembahasan tentang penyampaian dan penerimaan. Aktor penyampaian disini adalah ustadz. Ustadz disini bisa kita sebut sebagai agen sosialisasi. Karena ustadz lah yang menyampaikan isi dari kajian-kajian salaf yang ada di Majelis Ta’lim Ummahat ini. Ustadz mempunyai peran penting dalam proses internalisasi disini. Secara langsung maupun tidak langsung, mereka, para pengikut manhaj salaf menginternalisasi apa saja yang disampaikan oleh ustadz. Mereka percaya, bahwa apa saja yang disampaikan oleh ustadz itu adalah ajaran-ajaran Islam yang benar versi mereka. Karena dalam penyampaian dakwahnya, sang ustadz mencantumkan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dimana, tafsir Al-Qur’an dan Hadist itu adalah hasil penafsiran dari pikiran sang ustadz  lalu disampaikan kepada para jama’ah. Meskipun begitu, para jama’ah majelis ta’lim ini menganggap bahwa apa yang diomongkan oleh ustadz itu bukan penafsiran dari sang ustadz, melainkan penafsiran dari Nabi dan tiga generasi pertama (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in). Oleh karena itu, mereka mau menelan apa yang didakwahkan oleh ustadz. Karena sang ustadz dalam dakwahnya itu menyertakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadist, hal itu cukup membantu dalam proses internalisasi. Sesuai dengan prinsip pengikut manhaj salaf  yaitu mengikuti apa yang tercantum dalam Al-Qur’an, Hadist, dan pemahaman para sahabat. Ditambah lagi, para jama’ah mengetahui bahwa sang ustadz berasal dari pondok-pondok salaf. Maksud salaf disini adalah, salaf yang versi mereka. Terlepas dari apakah makna dalil-dalil yang disampaikan oleh ustadz itu benar-benar merupakan hasil penafsiran dari Rasulullah dan tiga generasi pertama atau bukan. Yang pasti, mereka percaya bahwa makna dari dalil-dalil yang disampaikan oleh sang ustadz itu sama dengan  hasil penafsiran Rasulullah dan tiga generasi pertama, walaupun secara sosiologi, hal-hal yang disampaikan oleh sang ustadz adalah hasil dari penafsiran sang ustadz.

Selain membahas tentang proses penyampaian, dalam internalisasi juga membahas proses penerimaan.  Dalam hal ini, bagaimana proses penerimaan ajaran-ajaran salaf yang terjadi di Majelis Ta’lim Ummahat. Dalam proses penerimaan ini, mereka tidak sembarangan memilih sumber. Sumber disini bisa berupa buku ataupun ustadz. Dalam proses penerimaaan, kaum-kaum ini, dalam hal-hal yang menyangkut agama, mereka terkesan hanya mau membaca buku-buku yang berbau salaf. Selain buku, mereka juga memilih-milih terhadap siapa saja yang melakukan dakwah, dalam hal ini, orang-orang yang berdakwah di luar majelis salaf seperti ini. Misalnya, dakwah-dakwah ulama yang ada di televisi. Selama mereka tahu bahwa ulama tersebut alirannya tidak berseberangan dengan aliran salaf, mereka mau menerima. Tetapi jika ulama itu alirannya berseberangan dengan salaf, mereka tidak akan  mau mendengarkan dakwah dari ulama tersebut.Seperti yang kita ketahui, berdasarkan sejarah Islam, aliran salaf berseberangan dengan aliran syi’ah. Termasuk dengan kelompok salaf yang satu ini, juga anti terhadap syi’ah. Jadi, buku-buku dan ustadz-ustadz yang mereka ketahui beraliran syiah, mereka menolaknya.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran salaf seperti ini tidak dengan mudah menginternalisasi ajaran-ajaran Islam yang bukan bersumber dari ustadz-ustadz atau buku-buku salaf. Hal itu dapat dibuktikan dengan sikap mereka yang cenderung tertutup atau bahkan anti dengan hal-hal yang tidak berbau salaf. Namun, meskipun mereka percaya terhadap ucapan sang ustadz, mereka juga tetap meng-kroscek ulang apakah yang diucapkan oleh ustadz itu benar-benar tercantum dalam al-qur’an dan hadist.

Hal-hal apa saja yang telah mereka internalisasikan dalam pengajian-pengajian salaf, kemudian mereka ekspresikan dalam tindakan sehari-hari. Disini, ustadz salaf juga berperan penting dalam proses eksternalisasi. Karena apa yang disampaikan oleh ustadz, mereka eksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti contoh yang disebutkan di atas, ketika sang ustadz mengatakan bahwa buku ini berbau syiah atau ustadz ini berbau syiah, ungkapan-ungkapan ustadz tersebut mereka internalisasikan dalam diri mereka kemudian mereka eksternalisasi dalam wujud tindakan tidak mau membaca buku yang berbau syia’ah dan tidak mau mendengarkan ceramah dari ulama-ulama yang menurut ustadz mereka beraliran syiah. Selain itu, ketika ustadz memberitahu mereka bahwa ilmu filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf tidak boleh dipelajari. Mereka tidak mempelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah hanya itu saja proses eksternalisasi yang bersumber dari proses internalisasi yang mereka lakukan dari dakwah sang ustadz? Ternyata, tidak. Karena proses internalisasi yang mereka lakukan dari dakwah sang ustadz turut mempengaruhi mereka dalam menyikapi modernitas ini. Mereka tidak menerima produk-produk modernitas begitu saja, berangkat dari menginternalisasi ajaran-ajaran salaf, lalu mereka eksternalisasikan di kehidupan sehari-hari dalam menyikapi modernitas. Misalnya, dalam hal memilih makanan. Dalam Islam melarang umatnya memakan makanan yang haram. Eksternalisasi yang mereka wujudkan dalam hal ini adalah dalam mengkonsumsi makanan, mereka lebih cenderung memilih yang sudah berlabel halal dari MUI.

Eksternalisasi dari ilmu salaf itu juga mereka wujudkan dalam hal berpakaian. Dimana sang ustadz menyampaikan dalil-dalil untuk menutup aurat seperti yang tercantum dalam surat annur ayat 33, hasil penafsiran sang ustadz dari ayat tersebut yakni perintah untuk menutup aurat dengan cara memakai pakaian yang longgar, tidak transparan dari ujung rambut sampai ujung kaki (kecuali muka dan telapak tangan), dan memakai kerudung yang sampai menutupi dada. Ajaran tersebut kemudian mereka internalisasikan ke dalam diri mereka dan mereka eksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penelitian, semua pengikut manhaj salaf yang tergabung dalam Majelis Ta’lim Ummahat berpakaian menutup aurat sebagaimana hasil penafsiran sang ustadz terhadap ayat tersebut. Karena ajaran menutup aurat yang mereka terima seperti itu, jadi mereka juga berpakaian seperti itu pula, tidak mengikuti perkembangan mode baju di dunia modern ini.

Namun, meskipun ajaran-ajaran tersebut berasal dari ustadz yang sama, namun dalam proses internalisasi, hasilnya berbeda. Misalnya, dalil-dalil yang disampaikan oleh ustadz mengenai menutup aurat bagi wanita. Dari dalil-dalil tersebut, meskipun semuanya memakai kerudung yang menutup dada dan pakaian yang menutup aurat. Namun, mereka punya interpretasi sendiri tentang cadar. Dari mereka, ada yang menganggap bahwa cadar itu hukumnya sunnah, ada juga yang menganggap wajib. Sehingga ada yang bercadar, ada yang tidak. Atau cara pandang mereka terhadap TV dan internet. Ada yang menganggap bahwa TV tidak bermanfaat lagi hingga mereka tidak menggunakan lagi yang namanya TV, namun ada juga yang masih menganggap TV masih ada manfaatnya hingga mereka masih menggunakan TV.

Sesuatu bisa dikatakan sebagai obyektivasi apabila menjadi budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya yang dimaksud disini adalah pola bagi tindakan, yang menjadi rujukan dari tindakan atau pikiran manusia. Pola bagi tindakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist menurut ustadz salaf. Yang mana penafsiran ayat-ayat Qur’an dan hadist-hadist menurut ustadz salaf ini sangat berpengaruh besar bagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para jama’ah. Hingga hampir semua jama’ah mengikuti apa yang dikatakan oleh ustadz tersebut seperti yang disebutkan dalam proses internalisasi dan eksternalisasi. Yang mana, dari hasil internalisasi dan eksternalisasi yang mereka lakukan itu menghasilkan suatu produk atau obyek yang menjadi ciri khas mereka.

Berdasarkan pembahasan yang peneliti bahas sebelumnya, kita dapat simpulkan bahwa pengikut manhaj salaf ini mempunyai cirri khas misalnya dari segi penampilan, para wanitanya memakai baju longgar, tidak transparan, kerudung yang menutupi dada atau bahkan bercadar. Para laki-lakinya menggunakan celana di atas mata kaki dan berjenggot. Dari segi aktifitas keagamaan, mereka menolak adanya aktifitas keagamaan yang mencampur-adukkan Islam dan budaya lokal. Dan golongan-golongan seperti mereka bisa dikatakan cenderung menghindari hal-hal yang berbau kesenangan duniawi, misalnya jalan-jalan ke mall, atau berkunjung ke tempat-tempat hiburan.

Dengan obyektivasi mereka yang seperti itu, baik dari segi penampilan maupun pemikiran, orang-orang yang berbeda dengan mereka kemudian menyimpulkan bahwa golongan mereka termasuk golongan-golngan yang tertutup, ekslusif, dan konservatif. Karena orang-orang dengan penampilan dan pemikiran seperti itu, bukanlah kelompok yang mayoritas di Indonesia. Ditambah lagi dari mereka berpenampilan dengan bercadar. Maka, identitas sebagai teroris pun melekat pada diri mereka. Karena selama ini media mengekspose cirri-ciri penampilan teroris seperti itu.

Catatan Kaki

[1] Bagong Suyanto dan  M. Khusna Amal, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, (Jakarta: Aditya Media), hlm. 143

[2] Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1991), hlm. 5

[3] Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1991), hlm. 22

 

 

Ninung Farihani Najwa
Penulis: Ninung Farihani Najwa
Tentang Saya
Alumni Program Studi Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya
Tulisan Lainnya

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini