Islam dan Modernitas
Tanggapan kaum muslim terhadap modernisasi berbeda-beda. Modernisasi yang sekarang dibawa Barat adalah langkah mereka untuk menguasai Negara dan menyebarkan ideologinya. Bagi banyak orang, keunggulan Eropa harus diakui, dihadapi dan pelajaran-pelajaran harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Pengaruh dan daya pikat Barat yang terus-menerus merupakan bukti lebih sekulernya jalan yang dipilih oleh kebanyakan pemerintah dan kaum elite modern. Bahkan Negara-negara di mana Islam mempunyai peran penting dalam gerakan-gerakan nasionalis, gerakan baru yang berkuasa cenderung berorientasi pada sekuler.
Modernitas juga harus dipahami dalam perspektif sosiologis, daripada hanya rasional belaka. Demikianlah, akan ada pembaharuan-pembaharuan (yang baru) sebagai ganti dari pembaharuan (yang lama). Mereka yang berbuat untuk perubahan dan untuk kemodernan selalu selektif, memperhatikan aspek-aspek tertentu dan mengabaikan aspek-aspek tertentu yang lainnya, tergantung pada kondisi-kondisi penerimaan dan penolakan dalam masyarakatnya. Sir Syed seorang reformer besar India abad ke-19, adalah seorang modernis besar pada masanya dan berbuat tanpa lelah untuk memodernisasi masyarakat Muslim India pada abad ke-19. Beliau menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan menginterpretasikan al-Qur’an dengan sebuah metode untuk memperlihatkan bahwa al-Qur’an tidak bertentangan dengan penemuan ilmu pengetahuan. Beliau juga memperhatikan pentingnya pendidikan modern dan mendirikan sebuah lembaga untuk memperkokohnya. Jadi, fokus perhatian menyeluruh Sir Syed adalah terhadap pendidikan modern dan pemahaman yang tepat terhadap al-Qur’an. Beliau menerima ilmu-ilmu yang datang dari Barat demi kemajuan umat Islam namun tetap menyeleksi mana yang paling baik. Menurutnya, kita harus meniru cara orang Arab zaman dahulu, yang tidak takut akan kehilangan imannya karena mempelajari kitab Phytagoras.[1] Ia bandingkan kebiasaan umat Islam di India dengan kebiasaan orang-orang Barat, dan mempergunakan bahasa yang keras untuk menyadarkan umat Muslim India apada kemunduran serta kehancuran moral dan intelektualnya.[2]
Jika Sir Syed menitik beratkan modernisasi Islam dalam aspek pendidikan. Berbeda dengan sahabatnya, Maulvi Mumtaz Ali. Mulvi Mumtaz Ali berpendapat bahwa konsep modernitas Islam tidak akan sempurna tanpa pemberdayaan perempuan.Walaupun begitu, beliau menolak gerakan-gerakan pembaharuan sosial untuk perempuan. Ketika pendukung dan sahabat beliau, Maulvi Mumtaz Ali Khan menulis sebuah buku Huquq al-Niswan (Hak-hak Perempuan), beliau tidak saja menasehatinya untuk tidak mempublikasikan buku tersebut, tetapi juga menentang keras pandangan-pandangannya.[3] Sir Syed juga menganjurkan orang-orang Islam untuk menjauhi arena politik, yang merupakan aspek penting dari realisasi hak-hak demokrasi modern. Maulvi Mumtaz Ali, pada sisi lain, meskipun sezaman dengan Sir Syed dan seorang partner, adalah seorang tokoh penganjur hak-hak perempuan. Baginya, konsep modernitas atau karena persoalan itulah, Islam tidak akan sempurna tanpa pemberdayaan perempuan. Beliau berbuat tanpa lelah untuk hak-hak perempuan seperti halnya Sir Syad melakukan hal yang sama pada pendidikan modern. Meskipun keduanya tokoh modernitas, pandangan-pandangan keduanya sangat jauh berbeda.
Jika melihat kondisi umat Islam di Indonesia, maka akan semakin jelas bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih sibuk berkutat dalam pola-pola dan tradisi lama. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa masyarakat Indonesia yang pergi ke Mekkah dan tinggal bertahun-tahun disana dan mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks dan hadis.[4] Ketika kembali ke Indonesia, mereka menyebarkan ilmu-ilmu yang mereka dapat ke pesantren-pesantren, dan madrasah-madrasah. Alumni-alumninya kemudian kembali ke msyarakat dan mengembalikan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi dogma-dogma klasik yang tidak rasional. Namun, ada masanya dimana paham-paham klasik tersebut tidak sanggup merespon berbagai persoalan yang kompleks.
Fenomena yang ada pada masyarakat Indonesia masa dulu dan sekarang yang jelas banyak perubahan yang telah terjadi. Dinamisasi dalam pergolakan Islam terus mencuat ke permukaan. Hal ini harmonisasinya dengan historis Islam khususnya yang berkembang dalam konteks keIndonesiaan. Suatu pemikiran yang terlahir dari dunia Barat (non muslim) telah banyak mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. Dan hal tersebut tidak mungkin untuk kita pungkiri, sebab fakta sosial yang akan selalu menunjukkan bahwa ada semacam gesekan terhadap pola yang dikembangkan dalam dunia islam. Ide-ide dari Barat pun perlahan masuk di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia, termasuk modernisasi. Kemunculan gerakan pemikiran “baru” dalam Islam terutama merupakan upaya menjembatani kesenjangan antara idealitas Islam dan realitas umat.
Berkaitan dengan modernisasi, sesungguhnya Nurcholis Madjid bermaksud memberi landasan secara teologis, terutama bagi golongan intelektual, agar mampu memberi respon positif terhadap proses modernisasi. Tetapi tetap bertolak kepada faktor iman. Ia menafsirkan ideologi modernisasi berbeda dengan modernisasi yang dikembangkan di Barat. Karena modernisasi Barat didasarkan atas faham materialisme dan sekularisme. Sementara itu, ia menafsirkan modernisasi berlandaskan pada ajaran Islam.
Umat Islam di Indonesia merupakan terbesar di dunia. Oleh karena itu, respon muslim Indonesia terhadap modernisasi juga berbeda-beda. Baik modernisasi menurut Barat, maupun modernisasi menurut Nurcholis Madjid. Ada beberapa kelompok Islam di Indonesia yang cenderung menolak adanya modernisasi. Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya era reformasi, muncul fenomena baru di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia, yaitu adanya gerakan yang mengusung kembali pada Islam yang kaffah, atau bisa dikatakan gerakan tersebut merupakan kelompok fundamentalis Islam.[5] Kelompok ini ingin menegakkan kembali Islam yang kaffah dan melakukan perlawanan terhadap dominasi Negara Barat. Misi perlawanan dimulai dengan menolak sistem Negara bangsa yang diciptakan oleh Negara Barat. Beberapa dari kelompok fundamentalis Islam melakukan perlawanan mereka terhadap Barat dengan cara-cara kekerasan, sehingga kadang kala masyarakat menyebut mereka gerakan radikal. Adapun makna dari radikalisme itu sendiri yaitu gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[6] Pandangan masyarakat internasional terhadap Islam Radikal juga turut dipengaruhi oleh gagasan cendekiawan Barat yang memberikan berbagai label terhadap Islam radikal, seperti kelompok garis keras, ekstrimis, militant, fundamental sampai terorisme. Oleh karena itu, stereotype yang melekat pada kelompok seperti ini yaitu “teroris”.
Sampai sekarang banyak kalangan teolog Muslim tidak hanya menolak modernitas tetapi juga menolak gagasan tentang pluralitas Islam.[7] Bagi mereka, Islam adalah fenomena tunggal dan siapa pun yang berbicara tentang pluralitas salah besar. Siapa pun yang menerima pluralitas bias dicap kafir. Para teolog tersebut menganggap masyarakat sebagai sesuatu yang tidak memiliki penyebab. Bagi mereka hanya teologilah yang pokok, dan hal lain hanyalah bersifat periferal.
Gerakan Fundamentalisme Islam
Fundamentalisme adalah penegakan aktivitas agama tertentu yang mendefinisikan agama secara mutlak dan harfiyah.[8] Fundamentalisme melibatkan usaha memurnikan atau mereformasi kepercayaan dan praktek para pemeluknya menurut dasar agama yang didefenisikan sendiri. Interpretasi fundamentalis menurut usaha sadar diri untuk menghindari kompromi adaptasi atau interpretasi kritis atas teks-teks dasar dari sumber-sumber kepercayaan.[9] Menurut Amien Rais, kata fundamentalisme awalnya muncul dalam konteks sejarah Barat –Kristen- dengan makna khusus, yaitu suatu gerakan yang memberikan interpretasi skripturalis atau literalis pada kitab injil.
Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menyebut gerakan dalam agama Kristen Protestan yang menganut ajaran ortodoksi Kristen yang berdasar atas keyakinan-keyakinan yang mendasar. Istilah fundamental dipakai oleh kaum Protestan Amerika untuk membedakan diri dari kaum protestan yang lebih liberal. Sejak saat itu, istilah “fundamentalisme” dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan pufifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia.
Fundamentalis adalah gerakan berbagai sekte Kristen, terutama Protestan, yang muncul di penghujung abad lalu dan permulaan abad ini di Amerika, dan berkembang setelah Perang Dunia I. Gerakan ini merupakan reaksi Kristen terhadap teori evolusi dan studi kritik Bible. Fundamentalisme bertujuan untuk melawan arus pemikiran keagamaan sebagaimana yang dikembangkan oleh kaum modernis daan liberalis yang bersikap sangat kritis terhadap bibel.[10]
Fundamentalisme juga dapat berarti oposisi gerejawan ortodoks terhadap sains modern, ketika yang terakhir ini bertentangan dengan cerita yang membawakan Bible. Fundamentalisme adalah istilah relatif baru dalam kamus peristilahan islam. Watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh.[11] Pada dasarnya, fundamentalisme Islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, fundamentalisme Islam diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternative trehadap krisis bangsa. Mereka hendak melaksanakan syari’at Islam secara kaffah dengan pendekatan tafsir literal al-Qur’an. Pokok pikiran kaum fundamentalis dalam menegakkan syari’at Islam adalah Hakimiyat Allah. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariatNya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya. Tiada otoritas dan syari’at kecuali syari’at dan otoritas Allah.
Istilah “fundamentalisme islam” di kalangan Barat mulai popular berbarengan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979, yang memunculkan kekuatan muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great satan, Amerika Serikat. Pandangan Qutb atau Khomaeni pada awal-awal revolusi Iran, yaitu ia memandang bahwa Iran merupakan fundamentalisme yang menolak seluruh seluruh warisan modernitas, atau yang disebut Ulil (koordinator Jaringan Islam Liberal Indonesia) fundamentalisme rejeksionais.[12] Martin E. Marty[13] mengatakan bahwa fenomena fundamentalisme agaknya cukup relevan diterapkan dalam Islam karena dalam Islam terdapat empat macam prinsip keberagamaan. Prinsip pertama fundamentalisme adalah oppotinalism (paham perlawanan).[14] Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika, yaitu menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya.[15] Nalar tidak dbenarkan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat tersebut. Prinsip ketiga ialah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme.
Gerbong kebangkitan Islam moderndimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mempunyai gerakan yang erat kaitannya dengan fundamentalis Islam seperti tokoh-tokoh fuqaha’ salaf; Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiyyah, dan Ibn al-Qayyim. Ibn Taymiyah juga memperoleh pendidikan di kalangan ulama reformis di Haramayn, Ibn ‘Abd. al-Wahhab menggoyang pendulum reformisme Islam ke titik ekstrim, fundamentalisme Islam radikal.[16]
Wahhab berjuang memurnikan ajaran Tauhid dari segala noda yang berbau syirik. Bekerjasama dengan kepala kabilah lokal di Nejd, Ibn Sa’ud, Ibn Muslimin yang telah dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang “murni”, yang menurutnya banyak mempraktekkan bid’ah, Khurafat, takhayul, dan semacamnya.
Walaupun gerakan fundamentalisme menolak produk modernitas atau produk Baart, tetapi sebatas pengertian secara sosial, bukan dalam aspek teknologi. Di bidang teknologi, mereka sama sekali tidak mempersoalkan. Padahal kita tahu, produk-produk teknologi Barat seperti mobil, televisi, ponsel, komputer telah membanjiri di hampir semua kawasan dunia Islam.[17]
Bersambung ke Pengikut Manhaj Salaf di Tengah Gempuran Modernitas (Bag-3)
Catatn Kaki
[1] Imam Munawiw, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), hlm. 447
[2] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 70
[3] Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 157
[4] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 52
[5] Abdul Rohman, “Fenomena Fundamentalisme Islam di Indonesia, Jurnal Akademika (Vol. 16, No. 2, 2005), hlm. 122
[6] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 12
[7] Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Hlm. 158-159
[8] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2004), hlm. 253
[9] John-L. Espasito, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. (Jakarta: Mizan. 2001), hlm. 31
[10] Biyanto, Fundamentalime dan Ideologi Islam Modern, Jurnal Paramedia, (Vol. 7, No.2, April 2006), hlm. 16
[11] William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 3-4
[12] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, (Yogyakarta: IRCiSOD. 2006), hlm. 105
[13] Martin E. Marty merupakan sosiolog agama. Dia adalah seorang sarjana agama AmerikaLutheran yang telah banyak menulis tentang agama Amerika. Dia menerima gelar Ph.D dari University of Chicagopada tahun 1956, dan menjabat sebagai seorang pendeta Lutheran 1952-1962 di pinggiran kota Chicago. Dia menulis lebih dari 50 buku diantaranya The One and the Many: America’s Struggle for the Common Good (Harvard University Press, 1998); Education, Religion and the Common Good (Jossey-Bass, 2000); and Politics, Religion and the Common Good (Jossey-Bass, 2000).
[14] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2004), hlm. 255
[15] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2004), hlm. 255-256
[16] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2004), hlm. 257
[17] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, (Yogyakarta: IRCiSOD. 2006), hlm. 108
DISCLAIMER
|