Sebelum membahas Hyperrealitas, tentunya kita harus berkenalan terlebih dahulu kepada sang pencetus konsep ini. Yaitu Jean Baudrilliard, beliau merupakan filsuf kontemporer pada abad 20 yang pada 27 Juli 1929 di Reims, Perancis dan meninggal pada Usia 77 tahun tepatnya pada tanggal 06 Maret 2007. Dasar pikiran Baudrilliard ketika mencetuskan konsep Hyperrealitas karena ia merupakan seorang filosof yang menganut paham kritisisme sehingga ia beranggapan yang terjadi di era modern saat ini adalah lunturnya realitas atau kebenaran yang asli dan menghasilkan suatu kebenaran semu, ilusi kebenaran atau yang dalam hal ini disebut sebagai hiperreailtas oleh baudrilliard.
Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation memberikan gambaran bahwa Hiperrealitas merupakan gamabaran konsep dimana Realitas tidak bisa lepas dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampui realitas aslinya (hyper-sign). Sehingga dapat dikatakan bahwa Hyperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, dan fakta bersimpang siur dengan suatu hal yang fiktif. Konsep tersebut sudah menyatu dalam alam bawah sadar yang dimiliki oleh manusia, dan alam bawah sadar sudah menerimanya sebagai suatu kebenaran sehingga sulit membedakan suatu kebenaran yang asli Realitas suatu hal yang dusta, atau kebenaran semu Hyperrealitas. Dan inilah yang dikatakan Baudrillad sebagai Simulasi Realitas.
Di zaman modern seperti saat ini, terlebih dengan sangat mudahnya mengakses informasi melalui berbagai macam aplikasi, nampaknya cukup mudah kita menemukan contoh dari kasus Hyperrealitas. Seperti contoh beberapa minggu lalu, Kita dapat mudah menemukan di Timeline tentang Makanan Klepon tidak Islami, yang Islami adalah Kurma. Tentunya banyak yang merespon tentang perihal tersebut, meskipun memang pada dasarnya makanan dalam Islam tidak dihukumi Islami maupun tidak Islami. Tetapi halal dan tidak halal. Nampaknya banyak sekali yang merasa terganggu karena kalimat yang dirasa tidak etis tersebut. Di sini penulis melihat dengan sisi yang berbeda yaitu adanya unsur kesengajaan oleh pembuat meme, untuk menarik simpati akan dagangannya yang berupa kurma tersebut atau dalam hal ini juga dapat dikatakan sebagai komodifikasi agama.
Namun yang kali ini kita bahas adalah persoalan respon akan meme tersebut, reaksi netizen yang mudah terpancing untuk mengomentari sesuatu yang secara nalar tidak pas yakni penggunaan kata Islami pada makanan. Hal ini menunjukkan cukup banyak netizen yang terkena hoax atau terkena suatu Hyperralitas, keadaan di mana kebenarannya sukar dipisahkan karena adanya label Islami. Hal ini dikarenakan rendahnya daya baca ataupun literasi netizen sebelum melakukan komentar terhadap suatu hal, sehingga mudah sekali terpancing akan adanya isu hoax. Terlebih dalam dunia maya yang masih dianggap bebas dalam berpendapat meskipun sudah ada peraturan tentang UU ITE.
Kasus Klepon yang tidak Islami ini dapat kita jadikan suatu pelajaran untuk lebih melek akan dunia literasi, sehingga kita lebih berhati-hati dalam menerima informasi dan dapat membedakan mana yang Realitas dan mana yang Hyperrealitas.[1]
Catatan kaki
[1] Agung SS Widodo. MA. “Memahami Hiper-realitas Medsos,” dalam “Kedaulatan Rakyat,” 08 Agustus 2020.
DISCLAIMER
|