Sepak bola dalam satu dekade terakhir telah perlahan berubah wajah dari yang dulu begitu humanis dengan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh manusia biasa (wasit), sekarang menjadi sebuah industri yang menuntut sebuah presisi dengan sedikit kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia dengan sokongan teknologinya. Sepak bola seakan menjadi manifestasi maskulinitas dalam revolusi industri 4.0 saat ini.
Revolusi industri 4.0 menuntut sepak bola merubah wajahnya dengan berbagai perlengkapan “make-up” untuk membuat mereka tetap menarik dan terus digandrungi oleh masyarakat dibandingkan olah raga lainnya. Sebagai gambaran, berikut ini adalah ilustrasi revolusi industri dari masa ke masa:
Dalam pemaparannya, akademisi ITB Richard Mengko yang mengutip A.T. Kearney menjelaskan runtutan sejarah revolusi industri dalam 4 babak zaman.
Revolusi industri 1.0 berawal ketika abad ke-18 ditandai dengan penemuan mesin tenun berbasis tenaga air dan uap, di mana tenaga yang sebelumnya bergantung kepada manusia dan hewan digantikan secara langsung oleh keberadaan mesin tersebut. Ini yang kemudian menyebabkan pengangguran besar-besaran terjadi ketika itu.
Berikutnya revolusi industri 2.0 melanjutkan apa yang sudah menjadi pijakan dalam revolusi industri 1.0 dengan mulai memproduksi secara massal dengan pembagian sistem kerja. Rumah potong hewan di Cincinnati, Amerika Serikat menjadi batch pertama dalam produksi era ini pada 1870.
Kemudian terus berlanjut, hingga tiba pada awal 1970-an, dimulai dengan penggunakan elektronik dan teknologi informasi untuk memproduksi massal di tahap yang lalu secara otomatis. Di samping itu, ditemukannya pengontrol logika terpogram (PLC) membuat mesin-mesin yang dulu dikendalikan oleh manusia sekarang sudah terotomatisasi dalam sistem produksinya. Dampaknya buruh secara besar-besaran dipulangkan ke rumah masing-masing dengan pesangon yang tidak sesuai dari harapan.
Berlanjut ke era milenial, ditandai dengan dirilisnya film Dilan 1990 di tahun 2018, yang dibintangi oleh aktor imut Iqbal Ramadhan yang bagi penulis sangat klise bila memerankan sosok Minke dalam Bumi Manusia yang sebentar lagi sudah bisa kita tonton dan kritik. Revolusi industri menemukan wajah barunya kembali yang semakin humanis dalam sisi luarnya, namun sangat bengis dalam sistem kontrolnya. Ya, revolusi industri 4.0 ditandai dengan sistem cyber-physical, yang menyentuh semua konektivitas manusa, mesin dan data sehingga kita bisa berada di dua atau empat tempat sekaligus dalam waktu yang bersamaan, tanpa perlu bertapa bertahun-tahun seperti orang-orang jaman Majapahit dulu untuk berpindah tempat. Dalam istilah kerennya adalah Internet of Things (IoT).
Penulis kembali mengingat, bagaimana Prof. Hendro Sangkoyo menjelaskan bagaimana metabolisme dalam kehidupan ini saling menemui kontradiktif berdasarkan analisis Marx ketika awal revolusi industri terjadi. Menurut Marx ada dua metabolisme dalam kehidupan ini, metabolisme biologis dan metabolisme teknologis. Metabolisme biologis secara sederhana menjadi metabolisme alamiah manusia, hewan dan tumbuhan bahkan dunia ini yang berjalan teratur tidak adanya alasan untuk akumulasi seperti kita makan sehari paling sedikit sekali atau dua kali. Tidak bisa kita hanya makan seminggu, sebulan atau bahkan setahun sekali, karena ini akan merusak metabolisme yang ada di dalam tubuh kita. Sebaliknya kita juga tidak bisa makan sehari sampai sepuluh kali hanya untuk menyimpan energi agar seminggu ke depan tidak perlu makan lagi, metabolisme alamiah tidak berjalan berdasarkan akumulasi.
Di seberang itu, metabolisme teknologis berdiri dengan begitu kuat untuk terus mengakumulasi seperti yang penulis jelaskan di atas tentang perkembangan revolusi industri. Bisa jadi nanti akan terus berkembang hingga revolusi industri 100.0 atau bahkan tak terhingga, hingga dunia ini mengalami kerusakan parah atas konsekuensi dari berbagai eksploitasi yang dijalankan sebelumnya. Karena itu, metabolisme teknologi tidak mengenal batas dan begitu rakus mengikuti hasrat manusia yang tidak pernah selesai dengan manipulasi-manipulasi baru jika hanya dimanfaatkan oleh segelintir manusia.
Revolusi Teknologi dalam Sepak Bola
Video Assistant Referees adalah sebuah video replay yang “membantu” wasit bila terjadi keputusan-keputusan yang bagi wasit ada yang perlu ditinjau ulang dalam mengambil sebuah keputusan.
Ruang kontrol Video Assistand Referee (VAR) atau Video Operation Room (VOR)
Dalam prakteknya setidaknya melibatkan 13 orang yang tergabung dalam sebuah tim yang berisi wasit dan operator video untuk menganalisis sebuah kejadian dalam pertandingan. Namun, tetap saja keputusan akhir berada di tangan wasit yang memimpin pertandingan di lapangan.
Wasit sedang meninjau VAR di Referee Review Area (RRA) dalam laga Prancis vs Australia di Piala Dunia 2018
VAR menjadi salah satu make-up untuk mempercantik sepak bola agar selalu seksi dalam sebuah industri. Dalam perkembangannya, bukan tidak mungkin akan hanya ada satu wasit di lapangan yang tidak perlu didampingi oleh pacar atau mantan asisten wasit di kedua sisi lapangan. Ini akan menjadikan semakin sedikitnya wasit yang digunakan dalam sebuah pertandingan dan profesi wasit akan mengalami penurunan karena bila memakai ilmu ekonomi bila permintaannya sangat sedikit maka ketersediaan akan pekerjaan dan tenaga kerja akan turut berkurang. Bisa dibayangkan untuk apa lagi asisten wasit di ke dua sisi lapangan, bila wasit utama sudah ditemani 8 kamera di berbagai sisi dengan kualitas 4K untuk mengambil sebuah keputusan?
Belum lagi teknologi garis gawang atau Goal Line Technology yang memungkin wasit mendapatkan pemberitahuan gol melalui jam tangan canggih di tanggannya bila bola telah melewati garis gawang. Apakah nantinya perlu wasit tambahan yang biasanya ada di garis samping gawang di turnamen Liga Champions Eropa bila semua sudah teratasi dengan sebuah jam di tangan wasit utama?
Sekali lagi, dalam sepak bola pun, dunia belahan Utara akan selalu tampak modern dan begitu cepat berlari dibandingkan dunia belahan Selatan seperti kita yang jangankan berbicara VAR atau Goal Line Technology. Menggaji pemain sepak bola saja tim-tim di Indonesia masih keteteran dengan terbukti minggu lalu Sriwijaya FC harus melego beberapa pemain dan staff pelatihnya untuk mendapatkan dana segar dan merampingkan skuad demi menghemat. Apalagi harus dibebankan biaya teknologi sepak bola seperti VAR dan Goal Line Technology kepada setiap klub yang berlaga seperti di Serie A, MLS dan Bundesliga. Apakah tidak semakin banyak klub yang akan menunggak gaji? sekali lagi kita "tertinggal".
Dari rentetan ini lah yang menurut penulis, sepak bola sedang menampakkan wajah humanisnya untuk mempermudah kinerja wasit sebagai manusia yang tidak luput dari dosa dan sedang mencengkram dengan kontrolnya melalui teknologi memaksa sepakbola tidak bola ketinggalan jaman dan dianggap primitif karena anti dengan teknologi. Bukan tidak mungkin, di hari esok, kita akan menonton sepak bola dari rumah menggunakan Virtual Reality tanpa perlu capek dan berdesakan pergi ke stadion dengan membayar biaya member seperti tiket terusan yang dimiliki oleh klub eropa dan PERSEBAYA saat ini.
Lalu di manakah atmosfer dan rasa merinding dalam menyanyikan anthem tim kebanggaan kita bersama-sama, karena realitas kita sudah terwakili dengan begitu cerdas oleh sebuah teknologi yang membuat kita terpenjara dalam semu dan merasa malas untuk memeriksa karena tidak bisa lepas dari determinisme teknologi?
Source:
https://inet.detik.com/business/d-4041437/mengenal-konsep-revolusi-industri-40
https://finance.detik.com/industri/d-3952668/apa-itu-revolusi-industri-40
https://id.wikipedia.org/wiki/Industri_4.0
http://membacaruang.com/hendro-sangkoyo-tentang-sde-dan-gerilya-pemulihan-krisis/
https://www.panditfootball.com/berita/211566/RPU/180613/cara-var-bekerja-di-piala-dunia
https://www.idntimes.com/tech/gadget/viktor-yudha/prediksi-teknologi-virtual-reality/full
DISCLAIMER
|