Kita tahu bahwa masyarakat kita sekarang ini hidup dalam kearifan mesin-mesin industrialisme, hingga kita tak pernah sadar bahwa kita sudah terlalu jauh menjalani kehidupan ini tanpa makna, kita butuh makna itu, dan apa yang sanggup memberi makna dalam kehidupan kita akan saya sebutkan pada penjelasan berikutnya, hanya saja saya akan memakai argumen Kuntowijoyo untuk menjelaskan hal itu.
Dan kenapa saya memberi judul tulisan ini dengan “pembangunan di dalam pembangunan” apa maksudnya, yang penting nikmati saja isinya, saya akan menjelaskan sedikit kisi-kisi mengenai hal ini, sebenarnya judul ini merujuk pada karya Jalaludin Rumi mengenai fihi ma fihi, saya pinjam saja katanya dan saya terjemahkan menjadi pembangunan di dalam pembangunan. Sebenarnya maksud judul ini adalah untuk menegaskan hilangnya makna pembangunan itu sendiri, di balik pembangunan terdapat sebuah kerangka acuan cara pandang dan berpikir, kita akan membangun makna dalam paradigma tersebut, agar kita tahu maksud dari apa yang kita usahakan selama ini mengenai pembangunanisme.
Langsung saja, sebelum kita melangkah pada penjelasan selanjutnya, lebih baiklah kita memetakkan kedua kiblat lahirnya kerangka paradigma dalam keilmuan, pertama, barat mewacanakan paradigma bagi ilmu sosial pada antroposentris yang lahir dari mitologi Yunani kuno, menurut Kunto sendiri mitologi Yunani kuno berusaha memisahkan manusia dari kesewenang-wenangan para dewa-dewa, maka manusia harus memisahkan diri dari kekuatan dewa-dewa tersebut, dan pada akhirnya manusia hidup terpusat pada dirinya sendiri. Kedua, Kunto berusaha mewujudkan ilmu teosentris yang mencoba untuk memberi makna pada kehidupan dengan memusatkan kehidupan ini pada keimanan.
Sebenarnya gagasan Kuntowijoyo itu bagus, namun tidak banyak dari kita yang benar-benar sanggup memahaminya, dalam artian mampu meimplementasikan hal itu dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana Marx mengimplementasikan komunismenya. Tentu gagasan Kunto tersebut berada pada utopia, karena manamungkin wilayah Trasendensi itu mampu dan sanggup kita bawah kedalam struktur masyarakat, dan jikalau mungkin hal itu dilakukan oleh siapa? Transformasi masyarakat yang mampu bersentuhan langsung dengan rahmat Tuhan itulah yang kita tujuh.
Maka selayaknya kita membangun sebelum membangun, menyusun sebelum menyusun, dan memberi makna yang tepat sebelum mewacanakan sesuatu. Tentu kita akan mengambil sedikit hal dari apa yang ada di permukaan, mengenai pembangunan dalam peradaban kita dewasa ini, kita akan masuk dan menelisik apa yang ada dibalik semua ini, apa yang salah dengan kehidupan kita, sehingga selama ini kita hidup dalam kebisingan kehidupan, sedang bangunan-bangunan semakin megah, gedung-gedung semakin tinggi, kita kaya raya, namun kita lemah menghadapi terkaman kehidupan ini akiban apa yang kita bangun sendiri mengenai kehidupan kita.
Industri dalam keberlangsungannya semakin arif dalam mengelola, membuai, dan mengendalikan. Tanpa sanggup memangku kehidupan sosial dan kebudayaan, semua yang berada di hadapan kapitalis tak ubahnya hanyalah mesin, berakal budi atau tidak yang pasti mesin tak pernah berpikir dua kali dan tak punya tujuan kecuali tujuan si pengendalinya.
Selanjutnya kita akan membicarakan realitas, pembangunan dan kegiatan industri semakin karikatif untuk menginjakkan kakinya pada tengkuk-tengkuk romantisme kemanusiaan yang begitu indah, sehingga kita merindukan kebahagiaan yang indah dalam kearifan lokal itu kembali lagi pada kehidupan kita, seperti taman bunga-bunga yang sengaja dihancurkan demi membangun gedung-gedung yang penuh dengan manusia-manusia dengan kerangka berpikir mesin.
Tentu pembangunan itu baik dalam beberapa hal, kita semua tahu laju pembangunan itu baik, malah terlampau baik untuk menjawab keterpurukan kehidupan, namun kita butuh makna bagi kehidupan kita yang terlanjur termekanisasi ini. kita tahu tidur di hotel dengan segala macam fasilitas itu lebih nikmat dari pada tidur diatas ranjang reot yang di anyam dari bambu, namun yang patut kita pertanyakan apakah mimpi dari tidur di hotel itu lebih indah dari mimpi sekujur tubuh yang tidur diatas untaian bambu.
Kita berlayar mengarungi samudra yang luas dan indah dalam kehidupan, namun kita tidak sadar kalau kita sedang menaiki kapal kebodohan dan terbuai dalam dinasti mimpi. Bagi sebagian orang yang mampu keluar dari kebodohan itu dan meloncat kelautan yang tak terbatas, dia akan bersusah paya mencari serpihan kapal Nuh untuk di jadikan pegangan, dan jikalau potongan dari kapal Nuh itu di dapatkannya, bahagialah ia dalam kebodohan yang ada.
Oke, aku tahu kalau aku membicarakan berjuta omong kosong mengenai kebahagiaan, tanpa sanggup berbicara realitas yang ada. pasalnya bukannya semua hal itu tak ada, namun kita saja yang dengan sengaja menafikkanya, siapa yang lebih omong kosong dengan good government, masyarakat madani (mana yang madani), demokrasi katanya (mana yang demokrasi), “Demokrasi Gundulmu”.
Jangan terbuai dengan kata-kataku, aku tak bermaksud apa-apa, kecuali aku suka saja dengan hal-hal yang bersifat kontroversial, karena menurutku di pertengahan dialektika kontradiktif, yang berwarna abu-abu bagi mata itulah letak keindahan kehidupan ini.
Aku akan bercerita mengenai beberapa hal dari laju pembangunan dan kearifan kapitalisme, di sebuah lahan pertanian dibangunlah pertokohan yang agaknya megah jika kita lihat dari pelupuk mata seorang petani, namun dibelakan pertokohan itu setiap malam terdengar bunyi merdu suara kemesraan petani dengan pemandu-pemandu lagu. Petani sudah berganti wajah, cangkul-cangkul kehilangan tuan, sudah tidak ada lagi ceritanya petani duduk di bawah pohon sambil merasakan semilir angin yang mendekap tubuhnya.
Betapa indah suasana yang ada dibalik suara nyanyian mesra itu, luka kehidupan yang dibasuh dengan nada-nada indah dan sajak-sajak syair lagu-lagu cinta, pembangunan telah sukses memberikan surga bagi para petani. Kapitalisme telah membangun tempat karaoke dengan pemandu-pemandu lagu bak bidadari, seketika itu ayat Tuhan berubah makna “nikmat Tuhan mana lagi yang mau kau dustakan” dan ayat itu telah diubah oleh keangkuhan kapitalisme, sehingga ayat-ayat Tuhan mengenai cinta termekanisasi sedemikian rupa, wacana kekukuhan janji dalam pernikahan pun seolah semakin memudar, kompleksitas maslah sexualitas semakin membuat bising kehidupan. Meskipun kita tahu realitas pembangunan itu dipaksakan, wacana keindahan cinta telah hilang, cinta telah mati dan kapitalisme telah mengukir nama cinta di atas nisannya, kehidupan wanita-wanita malam itupun tak seindah senyuman pahlawan yang terukir di lembaran uang yang mereka usahakan mati-matian.
Aku menaruh sukmaku pada ujung nadi kesabaran bagi sebagian mereka, yang tetap menjaga kebahagiaan keluarga dan anak-anaknya, yang dengan tekun merajut bambu dari derita dibalik fitah tuk membangun gubuk mereka di saat dunia menawarkan istana. Disaat itulah aku ingin menjadi kekasih Rabiah al-adawiyyah, di saat Rabiah membawah setimbah air untuk memadamkan Neraka dan setangkai obor untuk membakar surga, aku ingin di sisinya membawa pedang panjang yang menjulur-julur “aku ingin menumpas bidadari-bidari surga” agar para lelaki-lelaki itu tidak mengusahakan bidadari-bidari yang di janjikan Tuhan di kehidupan mendatang, dan agar para lelaki itu mengusahakan rahmat Tuhan bagi istri dan anak-anak mereka di dunia.
Aku suka sekali dengan sastra, jangankan tugas kuliah, kehidupanku sendiri kuharapkan seperti puisi tak berkata, yang membawa kalimat-kalimat indah di ujung sajaknya. aku teringat seorang dosen teori ilmu sosial yang hampir marah kepadaku, karena aku menulis tugas teori-teori postmodernisme dalam sajak-sajak. Sekalipun dia juga membenarkan dan tersipuh-sipuh membaca tulisanku, bahwa postmodernisme lahir sebagai sesuatu yang nyeleneh, realitas sosial tidak hanya bisa di jelaskan dari teori namun juga dari manuskrip-manuskrip sastra yang menggoreskan pena pada kertas lusut untuk membela kaum-kaum yang tedholimi.
Pembangunan, Kemiskinan dan Kearifan Lokal
Selama dua dekaden ini kita dapat melihat turunnya angka kemiskinan di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2018, kemiskinan mengalami penurunan dari 24,43 menjadi 9,86 yaitu turun sebesar 14,57%, atau bila dilihat dari angka postulat maka jumlah penduduk miskin dari 49,50 juta tahun 1998 menjadi 25,96 juta pada tahun 2018.
Angka kemiskinan di Indonesia bisa saja diukur melalui data statistik, termasuk menghitung penghasilan dan kebutuhan atas sandang dan pangan, namun dimensi kemiskinan tak berhenti hanya di situ, selantang apa pun statistik itu di wacanakan dalam pembukuan dan dipublikasikan, data-data tersebut tak kan mampu menyentuh guratan derita yang dialami oleh mereka-mereka yang dilemahkan oleh sistem.
Jika kita membuat perbandingan akan kemiskinan, tetap saja kita harus menyangkutkan dengan pertumbuhan kekayaan bagi sebagian golongan, tentu dalam hal ini berkaitan juga dengan psikis, perbandingan penghasilan juga patut kita pertanyakan, semenurun apa pun angka kemiskinan itu, jika masih tetap ada manusia-manusia yang menguasai kekayaan dan sumber daya secara berlebihan, maka psikologis mereka juga akan tetap miskin dan jangka mereka mengukur kekayaan juga bervariasi, bagaimana kalau kita mengukur kekayaan dari harta yang di timbun, dan bukan dari jumlah penghasilan dan mencukupi kebutuhan primer.
Contoh sederhananya kita membuat perumpamaan dalam sebuah negara ada 10% orang miskin yang hanya mampu mencukupi kebutuhan hidup primer itu saja memaksakan, 60% orang tidak miskin tapi mendekati miskin, 25% adalah golongan menengah ke atas dan 5%nya lagi adalah orang yang kaya raya bahkan kekayaannya setara dengan 70% dari masyarakat Negara itu yang miskin dan mendekati miskin yang telah disebutkan sebelumnya. Maka sebetulnya data statistik itu tidak benar jika kita menyikapinya dari wilayah kebudayaan, mana mungkin orang biasa di katakan miskin bila perbandingannya sedemikian rupa, yang bener. Kalau keadaan dan fenomenanya demikian, maka yang miskin bukan hanya 10% persen, tapi 70% dari masyarakat yang keadaannya juga ingin seperti 30% penduduk yang berada di atasnya.
Coba kita buka mata, berapa banyak orang yang bersengketa akibat uang, kalau memang benar-benar Negara kita ini sudah turun kemiskinannya. Pasalnya memang siasat jitu pemerintah untuk menggelontorkan dana desa itu, juga berkenaan dengan bagaimana menurunkan kemiskinan dan agar jumlah uang itu tidak hanya berpusat di kota-kota besar, meskipun nantinya uang itu akan kembali lagi ke kota-kota besar, karena kebutuhan desa untuk membeli segala hal yang berkenaan dengan pembangunan desa juga di produksi di kota-kota besar.
Logika sederhananya, coba bayangkan keadaan orang desa yang sebelumnya stabil, meskipun kebanyakan mereka miskin mereka sanggup memahaminya satu sama lain. Dan setelah itu mendapat informasi bahwa akan ada gelontoran dana sebesar 1M ke desa-desa, apalagi di tengah-tengah isu korupsi yang meraja rela, dan bagai mana kondisi psikis dan prasangkah masyarakat desa berkenaan dengan hal itu, terhadap perangkat-perangkat desa berkenaan dengan hal itu. Benar kalau kita mengatakan bahwa dana 1M yang kalau kita lihat dari kacamata mereka merupakan uang yang begitu banyak, mampu mensejahtrakan kehidupan masyarakat desa berkenaan dengan pembangunan. Namun seberapa banyak juga fitnah yang di timbulkan dalam kebudayaan mereka berkenaan dengan hal itu.
Tentu saja kita bukan hanya mengusahakan satu sisi dan melupakan sisi yang lain, meskipun kelihatannya pemimpin kita sekarang ini seolah memihak kalangan bawah dan tumbuh besar dari kalangan yang sederhana sebelum dia jadi pemimpin, namun tetap saja menurut saya dia belum begitu lihai tuk menerapkan kebijakan. Saya tak percaya sama sekali kalau pemimpin kita benar-benar memihak kalangan lemah (pro poor), tetap saja sosok yang sering tampil di media bak malaikan itu menimbun berbagai macam pertanyaan bagi kita, apa benar dia memihak kalangan miskin dan terlemahkan oleh sistem, saya khawatir pemimpin kita itu hanya mengudang-ngudang rakyat jelatah, agar bisa terssenyum dan dibalik realitasnya dia berjabaat tangan dengan kalangan pemilik modal.
Saya melihat ada beberapa hal yang janggal mengenai kepemimpinan sekarang ini, pasalnya keadan psikologis kita dewasa ini semakin terdilematisir, kegilaan-kegilaan akibat media semakin mewabah. isu-isu semakin terbolak-balik tidak ada kejelasan, masyarakat semakin lama semakin jauh berlayar dalam kapal kebodohan informasi, dan kegilaan itu juga kita rasakan dalam pertarungan pilkada 2019 ini.
Sudahlah, seperti apa yang saya jelaskan sebelumnya bahwa dalam tugas ini saya hanya sedikit memberi jabaran tersirat mengenai pembangunan yang nampak di permukaan. Kita akan membuat kerangka baru melalui paradigma ilmu sosial profetik Kuntowijoyo dan mengaitkannya dengan “revolusi mental” yang di gembor-kemborkan pemerintah baru-baru ini. Iya, pembangunan mental yang saya maksudkan. Hehehehe.
Saya akan melampirkan satu tulisan saya mengenai tugas Postmodernisme yang saya beri judul “Demokrasi Gundulmu”, sebetulnya tulisan ini juga saya arahkan pada kritik struktural yang ada di Indonesia dewasa ini, yang kalau menurut Gus Mus, masyarakat Indonesia ini dulu di jaman orde baru seperti burung di dalam sangkar dan ketika dia lepas dia terbang tak beraturan. meskipun tulisan ini tak membawa sedikitpun teori, namun setidaknya meleburnya teori Foucault patut kita pertanyakan dalam tulisan ini.
Demokrasi “Gundulmu”
Ketajaman Mata Post-strukturalisme
Kita tahu, bahwa postmodernisme mempunyai ketajaman dalam meruwat realitas dan fenomena sosial, khususnya yang berkenaan dalam relasi kuasa dan sebuah wacana yang ditawarkannya, bahwa apa yang ada bukan hanya realitas sebuah struktur yang tampak stabil dan tersusun rapi sedemikian halnya proyek-proyek modernitas, namun dibalik realitas tersebut terdapat sebuah sosok menakutkan yang mengendalikan dan menginjakkan kaki wacana kekuasaannya dengan paksa.
Letak ketajaman dalam post-strukturalisme tersebut tak bisa sedikit pun kita menafikannya, postmodernisme telah melukiskan sebuah argumen emas dalam kegelisahan keilmuan sosiologis, namun terdapat beberapa pertanyaan mendalam mengenai hal itu, bagaimana kita mewacanakan sebuah hal yang terlalu kontroversial untuk diamini akademisi tanpa menawarkan sebuah jalan bagi wacana-wacana yang menjadi narasi besar tersebut. Tentu paparan sosiologis itu merupakan wilayah keilmuan yang objektif tentang wacana yang mengonstruksi dan mengendalikan realitas dengan begitu kuatnya.
Namun menurut saya karena sosiologi lahir dari keheningan masyarakat, wacana keheningan itu merupakan wacana alamiah di mana masyarakat dapat menstabilkan dirinya sendiri dalam kelokalan dirinya, sebelum datang wacana-wacana yang memijaki keilmuan (ini yang benar dan ini yang salah) itu beredar dan mengatas namakan dirinya sebagai kebenaran universal modernitas.
Kita akan melangkah kepada bagaimana suatu wacana itu mengkontruksi berbagai macam ketidakadilan yang terselubung dalam apa yang kita sebut dengan demokrasi, maka dari itu sesungguhnya kita belum berdemokrasi, dan bagaimana kita sanggup mewacanakan demokrasi yang alamiah tanpa mengklaim kebenaran dan saling menghargai satu sama lain, bukan sebaliknya hanya celotehan-celotehan tanpa makna inti dari demokrasi itu sendiri yang memijaki kebenaran demi kepentingan kelompok.
Di sini kita akan memusatkan perhatian kita dengan ketajaman mata postmodernisme untuk melihat sisi arif demokrasi Indonesia dengan macam-macam celotehan-celotehan tak berisi itu, demokrasi tak bisa mengklaim kebenaran maka tak ada kebenaran universal yang memaksakan menginjakkan kaki pada ketentuan lain, masing-masing segmen berdiri pada fungsinya masing-masing, maka seharusnya wacana kebenaran itu mereka gunakan untuk segmentasinya, bukan untuk diklaim keutuhan kebenaran menjadi miliknya sendiri.
Maka wacana kebenaran tersebut sesungguhnya tak berbunyi hanya bermakna, tak berargumen hanya diyakini, dan tak dapat dimiliki kecuali dipinjam untuk dipertukarkan sebagai manusia yang di takdirkan terbatas. Maka dari hal itu kita akan meruntuhkan keilmuan sosiologi pula yang telah banyak melahirkan ketidakadilan dan mewacanakan pada realitas dengan tanpa memberi makna, karena ke mana arah sosiologi di situlah ke mana arah masyarakat. Maka selayaknya kita memberi makna pada sosiologi dengan membawanya untuk menyentuh kasih dan rahmat Tuhan.
Kita dapat melihat wacana-wacana yang telah bertebaran dewasa ini di Indonesia, wacana demokrasi itu tak bermakna, demokrasi turunan dari wacana-wacana mesin, siapa yang menang dan siapa yang kalah, bebas berargumen untuk saling menusuk dan menikam demi kebenaran absurd. Demokrasi itu seperti air yang mengalir pada lautan kemanusian, maka “ada apa dengan Demokrasi” demokrasi Indonesia sekarang ini adalah kontes adu merdu celoteh burung, semakin nyaring nada itu “mereka beranggapan itulah kebenaran mutlak”, maka butalah mata Demokrasi.
Di balik layar terdapat wacana gambar, dibalik wayang terdapat wacana pemikiran dalang, dibalik tarian politik yang indah terdapat pengendali dari energi yang tumbuh dari hasrat kepentingan ataukah tarian indah dari pusat trasendensi, sedemikian tangan Tuhan yang menggerakkan air selalu ke bawa untuk mencari tempat terendah demi memangku kehidupan di alam raya.
Kejantanan Trasendensi
Seorang pendekar kecil yang akan ditakdirkan untuk memperbaiki suatu Negeri telah melarikan diri dari realitas dia lebih suka mengikuti kebodohan yang ada, ketika orang-orang bersorak-sorak menanti dirinya, pendekar itu tak mau tahu dengan kondisi Negerinya sendiri dia pun ikut bersorak-sorak ria bersama orang-orang Negeri tersebut, “Sambut Kesatria, jayalah Negeriku. Sambutlah Kesatria, jayalah Negeriku” begitulah sorak mereka, hingga Negeri itu menjadi dinasti mimpi.
Namun tangan dari Trasendensi tak mau diam dan hanya berpangku tangan atas Negeri yang terlanjur dirahmati, seorang Malaikat menyeret pendekar itu “kenapa kamu disini, kamu yang ditugaskan” pendekar itu dengan lantang menjawab “lucu kamu ini, kau kira aku bisa apa” sambil kembali tertawa ria dan ikut bersorak dalam kerumunan itu. Maka Malaikat pun gundah gulana dan kembali ke hadapan Tuhannya, setelah itu dia kembali lagi dengan sebuah perintah “pukulkanlah tongkat itu, Tuhan akan membelah lautan untukmu dan kamu akan dengan mudah melewatinya”.
Kau kira sekarang kita di mana, kita dalam dinasti mimpi, terombang-ambing dalam kapal kebodohan, terhempas gelombang kegilaan, Hingga matilah mental kita. Di mana mental itu, mental seorang pejuang, dengan semangat berapi-api yang berani membawa luka bersimbah dara tuk menuntut keadilan di hadapan mata keabadian. Sadar tak sadar kita hidup tanpa makna, kita adalah mesin-mesin dengan perintah berupa skrip dan wacana yang terlanjur kita buat sendiri, hingga mata keabadian sendiri jijik melihat kehidupan kita yang congkak seraya kita berucap pada Trasendensi “bahwa kita tidak membutuhkanmu”. Ingatlah Trasendensi kau hanya wilayah kecil dari psikis kami, kau tak bisa berbuat apa-apa ketika kita melukiskan kepentingan dalam realitas sosial.
Robot tetaplah robot, karena mesin tak pernah salah, yang salah adalah wacana yang mengadu domba, kita tahu dari dulu hal itu “mengapa kau sebut kembali, sok bijak kau itu sebagai manusia, mana ada manusia yang kau maksud”. Sadar tidak sadar, alam bawah sadar kita semua berucap demikian, maka kita butuh Wacana baru Wacana yang mampu membawa Trasendensi itu tuk membelai keterpurukan kehidupan, dan melukis kata maaf kita di hadapan mata keabadian atas kesalahan dan kecongkakan yang kita perbuat sendiri, kalau Negeri tak mau merendahkan diri dihadapannya, maka tunggulah kehancurannya.
Apa yang kau lihat dari pendekar itu, kecuali baju kusut dan mata berapi-api dengan sejuta cengkeraman keputusasaan, dan kalian semua sengaja menginjakkan kaki wacana kekuasaanmu pada tengkuknya. Jika benar wacana-wacanamu selama ini adalah wacana “demokratis seorang pendekar” maka buktikanlah, sampai batas usahamu itu tapi kalau kalian yang mulia dan tinggi itu tak mau menghargai setiap guratan penderitaan, maka semua itu adalah “bohong”, maka aku tak mau kau paksakan mencium kakimu meski realitas berkata bahwa kau adalah Malaikat penolong, aku rela kau menodongkan senjata dan menembakkannya padaku, hingga kau menyaksikan penderitaan itu kau musnahkan dalam diriku dan tinggallah kejayaan dalam guratan keangkuhanmu “itu kan konsep Negara besar yang kau maksud”.
Tidak, pendekar tidak akan datang dengan sebilah pedang, dia akan datang dengan goresan seribu luka yang di bawahnya ke mana-mana, namun takdir tak membiarkannya mati dalam kegilaan struktural. Dia akan bangkit kembali atas jerit dan tangis yang mengisi pelosok Negeri ini, maka Negeri akan hidup dalam ujung tombak “sabda” yang dibawa pendekar itu, sekali dia berucap jadilah maka jadilah, dalam “rahmat atau kutukannya”.
Oke dalam analisis kacau ini, saya akan mengarahkan pada inti maksut dan tujuannya, sebetulnya saya ingin menghasut pembaca mengenai tulisan ini, cuman saya maunya corak hasutan itu berbeda dengan hasutan-hasutan yang ada, orang-orang terkadang menyebut motivasi untuk sebuah hasutan(khusunya di media-media massa), sebetulnya motivasi dan hasutan itu tak jauh beda. Motivasi tampa tujuan yang jelas, dan di dalamnya banyak kepentingan-kepentingan perut yang menginjakkan kaki pada manusia-manusia lemah, itu bukan motivasi, motivasi kog dalam ambisi yang gelap. wkwkwkwk
Dan tulisan berikutnya ini juga sisa-sisa tulisan saya, biar saja saya mengerjakan tugas Kuliah hanya sedikit, dan sisanya saya tambal saja dengan tulisan-tulisan saya, “saya juga tak mau munafik, saya juga aslinya malas mengerjakan tugas-tugas dan segalah macam tuntutannya, biarkan saja tangan saya berkerja dengan ikhlas untuk melaksanakannya”.
Perlunya Sosiologi Profetik
Kita akan memperbaiki masa depan pemikiran Kuntowijoyo dalam tulisan ini, meskipun kelihatannya Ilmu Sosial profetik itu seperti bangunan kumu, namun dengan keyakinan mendalam bahwa Ilmu Sosial Profetik itu akan menjadi bangunan megah nan bersih dimasa mendatang. Disini bukan kiranya mencoba untuk menawarkan suatu utopia yang menjanjikan kesejahtraan atau konsep masyarakat ideal, namun gagasan ini merupakan usaha kecil yang mungkin untuk dimunafikan, bahwa kehidupan sosial yang mendapatkan restu dari semesta adalah kehidupan sosial yang berpijak pada apa yang diturunkan Tuhan bagi kehidupan “wahyu”.
Usaha kecil itu, seperti yang dimaksudkan Kunto yang akan menjadi implementasi suatu pendekatan sosiologis berparadigma profetik. Kunto menyebutkan sumber ilmu pengetahuan ada tiga yaitu relitas empiris, rasio dan wahyu, sedangkan aliran positivisme menganggap wahyu sebagai mitos, mereka menempatkan manusia sebagai pusat, manusia menghendaki segala sesuatu dengan rasio, superstruktur (kesadaran) yang mengendalikan strukture (basis material), sumber ilmu pengetahuan mereka berhenti pada rasio dan menganggap sisanya “wahyu” sebagai mitos. Dari kesalah kaprahan itulah timbulah dialektis yang menjadikan posisi wahyu sangat penting, sebagai dasar kesadaran kolektif dalam diri masyarakat, karena manusia mewakili kehendak terbesar alam, mereka berperan sebagai pewaris kesadaran, disinilah peran wahyu sebagai poros trasendental yang mewariskan superstruktur(kesadaran) dan mengendalikan strukture(basis material) yang dengan amat jelas tergambar dalam rasio manusia agar realitas itu tertata rapi.
Kuntowijoyo sendiri memasrahkan ISP ini pada tiga hal pokok yang dia gagas dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an yaitu humanisasi, librasi, dan Trasendensi. Tentu gagasan kunto ini berlawanan dengan setudi-studi ilmu positivisme, karena positivisme sendiri menganggap bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, mempelajari lalu memaafkannya tanpa harus mewujudkan tranformasi masyarakat ke ranah yang lebih ideal.
"Segitiga ISP(Ilmu Sosial Profetik)"ISP terdiri dari tiga gagasan pokok, dua sebagai cabang dan satu gagasan sebagai pusat, humanisasi dan librasi adalah cabang profetik sendiri, dan trasendensi adalah pusat profetik.
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial, menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecendrungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan structural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin Bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri. Tujuan trasendensi adalah menambahkan dimensi trasendental dalam kebudayaan. Kita banyak menyerah pada arus hedonism, materialisme dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan yaitu membersikan diri dengan mengingatkan kembali dimensi trasendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.[1]
'Humanisasi', adalah memanusiakan manusia, menghargai manusia, menghilangkan “kebendaan”. Humanisasi ini berbeda dengan humanisasi barat yang cenderung antroposentris(berpusat pada manusia), Kunto menawarkan humanisasi teosentris yang menjadikan iman sebagai dasar menghilankan kebendaan dalam diri manusia. Maka humanisasi antroposentris adalah teori berdagang “kita menolong agar suatu saat kita juga ditolong” dan semua itu berhenti pada manusia, atau kita berdagang kebaikan dimuka publik dengan isu-isu kebaikan humanisasi itu untuk mendapat prestise dari masyarakat, karena ujung-ujungnya humanisasi itu berhenti pada manusia, tak ada kaitan sedikitpun dengan konsep iman.
Manusia itu mempunyai rasio, akal, fikiran dan perasaan, Bila ditawarkan kepadanya sesuatu yang tak memberi keuntungan pada mereka tentu merekapun menolak, dan kalaupun tanpa trasendensi kiranya semuanya itu hanya menjadi alat untuk pemuasan hasrat dan sebatas keuntungan antar sesama. Beralasan atau tidak, antroposentris itu membawa sistem dialektis yang membalik kebaikan kepada sebatas sistem dagang, dan pembebasan yang mereka gadang-gadang itu, hanya sebatas hubungan semu antar masyarakat, siapa yang mempunyai budi dan siapa yang berhutang budi.
Kita perlu mempertanyakan, kebebasan atas orang-orang yang dituntut mempunyai hutang budi, begitu juga kebebasan bagi sebagian orang yang dikasiani dari sebagian orang yang unggul dan dimuliakan. Toh semuanya berjalan berhenti pada manusia. sedangkan keikhlasan, ketulusan, juga tidak begitu penting dalam diri humanisasi antroposentris, karena iman merupakan mitos bagi kesejahtraan umat manusia. Dan sesungunya juga tidak ada humanisasi tanpa dasar keimanan, dan kalaupun ada itu polesan kemanusiaan yang menjadikan belas kasihan sebagai simbolisasinya. “tanpa mempertanyakan bagaimana orang yang dilemahkan dan terlemahkan mendapat kebebasan seperti penolong dan si dermawan tersebut” (Muslim Abdurahman: Islam Transformatif).
'Liberasi', Humanisasi dan Liberasi adalah sesuatu yang berdampingan, seolah dua sayap masyarakat, satu disebelah kanan dan yang satu disebelah kiri, yang menjadi penyetabil diri masyarakat sendiri, sedang trasendensi adalah penggerak sayap tersebut. Liberasi adalah isu emansipatoris yang membawa masyarakat dari keterkungkungan.
'Trasendensi', merupakan pusat kehidupan, poros dari keadilan, kemanusiaan, pembebasan dan segala macam pertukaran antara keburukan dan kebaikan dalam tradisi yang diwarisi masyarakat. dalam suatu masyarakat terdapat strukture dan superstruktur yang mengendalikan pertukaran dialektis kebaikan dan keburukan, maka tak ada humanisasi dan liberasi yang tak bersumber dari trasendensi, dan tak ada superstrukture(kesadaran) yang bisa keluar dari pertukaran dialektis kebaikan dan keburukan. Maka trasendensi adalah pusat pertukaran manusia dengan Tuhannya. menukarkan keburukan demi kebaikan ataupun sebaliknya, sedang humanisasi dan liberasi adalah proses dimana kita mengproyeksikannya, mewujudkan atau mengimplikasikan hasil pertukaran dan negosiasi kita dengan Tuhan.
Paradigma profetik ini bukan hanya sebagai pengantar analisis sosial keagamaan, akan ditunjukkan, apa yang disebut kunto sebagai paradigma profetik, secara tidak langsung meskipun dia terdiri dari tiga pilar profetik yang dimaksudkan kunto, namun meleburnya tiga pilar profetik itu tidak semerta-merta hanya ditawarkan pada masyarakat sebagai wacana kesejahteraan, tapi sesunggunya tiga pilar dan sprit profetik itu ada, dan butuh pemahaman kita untuk membuka diri dan menelisik tiga pilar tersebut di masyarakat. Keberadaan trasendensi sebagai penopang humanisasi dan librasi sengaja kita hilangkan sendiri dalam kajian kita mengenai fenomena-fenomena sosial, itulah yang menyebabkan unsur ketiga dari tiga pilar profetik itu seolah-olah tidak ada.
Yang sakral dan profan, berangkat dari Emile Durheim dalam pendekatan agamanya The Elementary Froms of Religious Life, kita akan menunjukkan keberadaan spirit profetik dalam tulisan Durheim tersebut. Karena Durheim sendiri menolak mempercayai semua agama hanyalah suatu ilusi, fenomena sosial yang bersifat meresapi itu pasti mempunyai suatu kebenaran[2]. Berawal dengan semangat profetik, kita akan menelisik lebih mendalam dari kacamata sosiologi profetik, apa yang sebenarnya yang sakral dan yang profan itu. Sebagai awal sebuah konsep yang akan dijelaskan dalam dialog kecil filsafat, meskipun kecendrungannya pada teologi tapi kita patut mempertanyakan antara yang sakral dan yang profan itu. “bila Tuhan maha kuasa setidaknya racun itu tidak mematikan (sakral berawal dari fenomena yang dianggap magis dan mempunyai kekuatan diluar diri masyarakat). Tapi karena Tuhan maha kuasa, racun itu menjadi sesuatu yang mematikan (yang profan, dan trasendensi ini mengalir begitu saja tanpa masyarakat sadari)”.
[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam “Interpretasi untuk Aksi” (Bandung: Mizan, 1991). 289
[2] George Rizert, Teori sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). 168
DISCLAIMER
|