Sikap Masyarakat dan Negara Menghadapi Pandemi

Covid-19 - Sumber: rawpixel.comCovid-19 - Sumber: rawpixel.comMasyarakat bisa apa?

Dalam tataran masyarakat, saya dan mungkin pembaca pasti telah mendengar, melihat, membaca atau bahkan terlibat dalam gotong royong untuk saling membantu kelompok-kelompok rentan dalam meringankan sedikit beban akibat pandemi saat ini. Para tenaga medis, homeless, dan kelompok rentan lainnya merupakan target yang dibantu.

Dalam masyarakat juga ada kelompok yang mempunyai kesadaran yang diselimuti oleh dogma dan mitos sehingga membentuk sikap non-ilmiah. Sikap non-ilmiah tersebut sangat membahayakan diri sendiri dan orang disekitarnya. Misalnya, masyarakat konservatif agama masyarakat tradisional yang dianggap lebih mengedepankan ritual sosial dan sikap gotong royong sebagai bentuk rasa empati.

Ketimbang menyalahkan masyarakat yang bersikap non-ilimah pada masa pandemic ini, lebih baik kita berusaha memahami hakikat pengetahuan dalam perspektif masyarakat, baik itu berbentuk pola pikir yang bersifat keseharian ataupun pengetahuan lokal yang prailmiah, dalam rangka mengembangkan sebuah system pengetahuan yang memadai bagi kepentingan kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ini adalah “Pekerjaan Rumah” yang harus dikerjakan dalam dunia Pendidikan kita.

Ada lagi jenis kesadaran masyarakat, menurut mahzab frankfrut tingkatan kesadaran ini tidak kritis dan juga bukan dogmatis. Masyarakat jenis ini sadar bahwa ada bahaya didepan mata, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ada kondisi-kondisi yang tidak bisa mereka lampaui. Kondisi ekonomi misalnya, mereka harus tetap bekerja di luar rumah. Mereka bukan tidak mau untuk mematuhi protokol kesehatan yang mengharuskan tetap tinggal dirumah agar rantai persebaran virus bisa terputus, mereka hanya tidak bisa melaksanakan hal protokol tersebut.

Bagaimana dengan negara?

Sebaiknya data-data mengenai pola pikir, pilihan tindakan dan perilaku tertentu telah dimiliki dan dikaji atau analisis oleh pihak-pihak pembuat kebijakan agar dijadikan sebagai sebuah pertimbangan dasar baik dalam formulasi maupun implementasi sebuah kebijakan, supaya tidak melulu menyalahkan masyarakat tertentu.

Mengapa pandemi ini tidak boleh dilepaskan dari peran negara dalam menangani dan memutus rantai persebaran COVID-19 serta hak warga negara yang harus dipenuhi? merujuk pada konsepsi Ferdinand Tonnies yang telah mengidentifikasi terbentuknya sebuah negara yang dimulai dari komunal-komunal moral (Gemeinschaft) hingga berproses menuju pada sebuah masyarakat yang lebih terstruktur dan sistematis (Gesellschaft), yang pada akhirnya membentuk sebuah negara. Maka, diperlukan sebuah kebijakan publik yang rasional dan ilmiah dalam menghadapi pandemi kini.

Dengan berpegangan pada ungkapan Thomas R. Dye bahwa, apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau bahkan tidak melakukan sesuatu adalah kebijakan publik. Apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, maka tentu memiliki tujuan, karena kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu apapun, merupakan kebijakan publik, yang memiliki tujuan tertentu.

Sebelum diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang pembentukan Gugus tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada tanggal 13 Maret 2020 dan ditetapkannya bencana nasional non-alam pada 14 Maret 2020 tanggapan pemerintah masih terkesan arogan. Pada faktanya, pertama, 31 Januari 2020, WHO telah menetapkan wabah virus corona sebagai darurat kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Penetapan tersebut dimaksudkan sebagai peristiwa luar biasa yang menjadi resiko kesehatan public bagi negara lain melalui penyebaran penyakit Internasional dan memerlukan respon internasional yang terkoordinasi. Kedua, 28 Februari 2020 Pemberian intensif guna menstimulus pariwisata dalam negeri yang terdampak akibat penyebaran virus corona.

Bahkan setelah ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam masih terkesan kedodoran di lapangan, serta komunikasi antara pusat dan daerah yang tidak selaras. 16 Maret 2020, pemerintah mengeluarkan seruan untuk social distancing dengan “belajar, bekerja, beribadah” dari rumah. Social distancing ini sifatnya hanya himbauan yang tidak berdasarkan hukum sebab, penetapan status bencana nasional itu merujuk pada uu 24/2007 tentang penanggulangan bencana. Imbasnya social distancing tidak dapat berjalan efektif.

Hingga pada 31 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mendandatangani Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Untuk aturan yang lebih rinci Presiden meminta Menteri Kesehatan membuat peraturan menteri tentang kriteria daerah yang dapat menerapkan PSBB. Rincian tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2020 tentang pedoman PSBB.

Hal menariknya, PSBB, ataupun lockdowon merupakan hal yang sama hanya saja gradasinya berbeda dalam menerapkan social distancing. Dalam skema PSBB, masyarakat tetap dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari, namun kegiatan tertentu dibatasi. Kegiatan pembatasan tersebut dengan meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan di tempat umum, pembatasan sosial budaya, pembatasan moda transportasi dan pembatasan khusus terkait aspek pertahanan keamanan. Sekjen Kemenkes menegaskan bahwa PSBB tersebut berbeda dengan karantina wilayah. Dalam karantina wilayah, masyarakat tidak boleh untuk aktivitas di luar rumah.[1]

Dalam penerapan social distancing secara otomatis ekonomi akan terkena dampaknya. Jika kita menyuruh masyarakat tetap tinggal dirumah, tetapi tidak bisa memberi makanan, maka orang akan keluar dari rumah dan aka nada kekacauan dalam penerapan PSBB, seperti dalam kasus lockdown India.[2] Pemerintah harus memberikan konpensasi ekonomi. Dalam membuat kebijakan publik harus ada sequence-nya. Pertama tentu saja dalam aspek kesehatan, kedua, yang mana akan berimplikasi pada aspek ekonomi, ketiga, baru berbicara mengenai recovery.

Namun istana menyatakan akan diberlakukan darurat sipil jika  ada kekacauan dalam penerapan PSBB. Pada prinsip Siracusa, yang diadopsi Dewan Ekonomi dan Sosial Budaya PBB tentang keadaan darurat dan kebebasan bergerak memberikan panduan otoritatif pada pemerintah yang membatasi hak asasi manusia karena alasan kesehatan masyarakat atau keadaan darurat nasional. Segala tindakan yang diambil untuk melindungi warga negara yang membatasi hak dan kebebasan orang harus sah, perlu, dan proporsional. Adapun kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara terkait hak-hak warga negara; hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, hak mendapatkan kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya, hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, dsb. (bisa dilihat di UU Kekarantinaan Kesehatan 2018 juncto UU Wabah Penyakit Menular 1984)

Alih-alih menetapkan Darurat Sipil sebagai akibat dari kekacauan atau pembangkangan sipil maka dengan itu melupakan bahwa keteraturan adalah efek atau dampak dari hadirnya institusi negara dalam kehidupan sosial. Kegagalan yang terjadi pada sebuah negara tidak dapat semata-mata dilemparkan pada sesuatu yang berada diluar dirinya. Kapasitas kelembagaan yang ada dalam memproduksi kebijakan publik yang baik juga harus diperhatikan.

Rujukan

[1] https://tirto.id/apa-itu-psbb-versi-pemerintah-dan-kemenkes-ri-eK7v
[2] https://www.democracynow.org/2020/4/2/rana_ayyub_india_coronavirus

Aldianda Risky
Penulis: Aldianda Risky
Tentang Saya
Bila warna putih itu lambang untuk menyerah maka warna hitam adalah simbol pembangkangan untuk menyerah
Tulisan Lainnya

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini