Berislam di Tengah Pandemi Covid-19

Masker - Sumber. PngwingMasker - Sumber. PngwingKeberagamaan sebagian masyarakat kita kerap menjadi problem tersendiri di tengah upaya terus-menerus untuk menghentikan atau mengurangi laju penyebaran pandemi covid-19. Sebagian pemeluk agama bahkan meyakini bahwa virus covid-19 ini memilih-milih korban berdasar agamanya. Sebagian lain bersikap pasrah sepenuhnya pada kehendak Tuhan tanpa mengindahkan protokol kesehatan sebagai upaya preventif agar tidak ikut tertular.

Sampai saat ini negara kita masih belum lepas dari kungkungan virus Corona atau yang lebih familier dengan sebutan pandemi Covid-19. Virus yang lahir di Wuhan Cina ini merupakan wabah mematikan dan telah memakan korban yang tidak sedikit. Jumlah korban yang terus bertambah membuktikan bahwa wabah ini merupakan malapetaka serius dan harus segera kita putus rantai penyebarannya. Dampak virus ini merambat terhadap beberapa aspek kehidupan masyarakat, menjadi penyebab terganggunya stabilitas kehidupan masyarakat kita.

Pemerintah yang berkewajiban untuk menjaga stabilitas suatu negara tentu saja tidak tinggal diam dalam kondisi seperti ini. Kita bisa melihat bagaimana pemerintah sampai saat ini masih terus berusaha untuk mencari jawaban paling tepat dari problem di atas. Presiden Joko Widodo selaku kepala negara melalui Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) setelah mengadakan rapat dan dengan pertimbangan yang matang, memutuskan kebijakan Physical distancing untuk penanganan dan pencegahan virus corona Covid-19. Physical distancing atau jaga  jarak ini bukan hanya dilakukan di Indonesia saja, tetapi di beberapa negara belahan dunia telah mengambil kebijakan yang sama. Jadi sudah maklum jika pemerintah kita menerapkan kebijakan physical distancing.

Physical distancing yang ditekankan oleh pemerintah berlaku bukan hanya pada tempat-tempat umum saja, bahkan sampai pada ranah rumah tangga di setiap keluarga, karena dalam beberapa kasus penyebaran virus corona tanpa disertai gejala-gejala dan belum tentu anggota keluarga dalam suatu rumah tangga negatif dari penyebaran virus ini. Kebijakan physical distancing yang diserukan oleh pemerintah tentu saja merupakan tawaran yang masuk akal mengingat penyebaran virus ini melalui kontak fisik, tetapi, dibalik semua itu tidak sedikit masyarakat yang salah paham menganggap kebijakan menjaga jarak fisik ini sebagai tindakan yang ngawur dan menjerumuskan masyarakat beragama menjadi tumpul dalam beribadah. Pasalnya, seluruh kegiatan masyarakat dibatasi termasuk kegiatan peribadatan yang dilakukan di tempat umum, semisal shalat jum’at, ibadah tahunan di bulan Ramadan seperti shalat taraweh dan shalat ied, majelis ta’lim, dsb.

Judul tulisan ini tentu saja menjadi hal yang sangat menarik untuk kita perbincangkan bersama, mengingat keadaan mayoritas masyarakat  kita beragama Islam. Penulis ingin  bercerita tentang bagaimana respon masyarakat desa tempat tinggal penulis melihat kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Penulis sebagai  bagian dari masyarakat sangat paham begaimana  respon masyarakat ‘awam’ di tingkat akar ruput mengenai kebijakan physical distancing. Setelah kira-kira dua bulan penulis mudik ke kampung halaman dan secara intensif berinteraksi setiap hari dengan masyarakat bawah, penulis menjadi paham bahwa keimanan dalam keberagaman masyarakat desa merupakan  barang yang sangat berharga. Dari hal ini, tidak sedikit masyarakat di sekitar penulis yang tidak setuju dengan pelarangan beribadah di masjid, apalagi itu terjadi pada bulan Ramadhan yang menjadi momentum bagi umat Islam untuk meningkatkan ibadah dan ketakwaan kepada sang pencipta. Ramadhan adalah bulan penuh dengan berkah dan rahmat, lebih baik dari bulan-bulan yang lain. Begitu kira-kira pesan guru ngaji saya waktu masih kecil.

Saya memiliki seorang tetangga yang sangat tidak setuju dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, bahkan orang ini menurut saya telah terjurumus pada kesalah pahaman yang teramat dalam. ‘Si fulan’ ini beberapa waktu lalu bertandang ke rumah saya, tentu saja obrolan receh-receh mengalir deras bak banjir bandang yang tak bisa dibendung. Akhirnya obrolan kami sampai pada pembahasan virus corona, lalu si fulan tetangga saya ini berujar, “korban virus corona itu kebanyakan non muslim, jadi kalau kita nurutin pemerintah untuk beribadah di rumah alias gak shalat di masjid, nanti yang ada kita malah kena virus corona. Kamu  kan tahu kalau di masjid itu banyak malaikatnya, tempatnya orang-orang yang suci, jadi gak usah takut shalat di masjid. Pokoknya kalau orang Islam yang sering ke masjid gak bakal ketularan virus corona, beda sama orang-orang non-muslim”.

Saya hanya bisa mengelus dada sambil bertanya-tanya dalam hati, dari mana si fulan ini dapat informasi seperti ini, masih saja membawa-bawa agama seolah-olah wabah ini memilih korban berdasarkan agamanya. Jika persepsi  masyarakat masih tak logis seperti itu, saya makin pesimis wabah ini akan segera berakhir. Benar sekali apa yang telah dikatakan Emile Durkheim, bahwa sikap dan tindakan seseorang tidak bisa lepas dari agama yang dia anut. Agama menjadi potensi yang menciptakan pergerakan dan dapat mengubah tatanan sosial masyarakat.

Salah satu tokoh agama di desa saya mengadakan do’a bersama dan ceramah keagamaan dengan harapan diangkatnya covid-19, katanya. Beliau berucap: “semua yang hidup akan  kembali  kepada sang pencipta, virus corona datang dari sang pencipta dan  kunci untuk menghilangkan virus corona di negara ini adalah berada pada sang pencipta”. Para tetangga saya beramai-ramai mengikuti majelis itu, jamak kita ketahui bahwa apapun saja yang berbau agama di situlah animo masyarakat akan membanjir. Tujuan tokoh agama tadi memang sangat mulia, namun, kegiatan ini sangat disayangkan sebab mereka yang hadir di majelis tidak ada satupun yang memakai masker bahkan apatis pada protokol kesehatan arahan tenaga medis. Padahal, desa saya ini termasuk dalam zona merah persebaran covid-19. Ah, saya jadi pusing melihat keadaan ini.

Dari dua peristiwa tadi muncul pertanyaan di otak saya, bagaimanakah cara kita berislam di tengah pandemi covid-19? Sebagai kaum akademisi, layak sekali kita untuk menjawab pertanyaan ini. Saya memiliki hitung-hitungan seperti ini. Salah satu tujuan dari syari’at itu adalah menjaga keselamatan jiwa, dan keselamatan jiwa ini termasuk dalam Maqashid Syari’ah yang menjujung tinggi kemaslahatan umat. Maka, keselamatan jiwa ini merupakan suatu hal yang harus kita perhatikan dalam beragama. Ketika seorang beragama melakukan ritual atau ekspresi keberagamaan mereka, seperti agama Islam, hal yang ingin dicapai sebenarnya adalah semata-mata untuk menjalankan syari’at yang diyakini. Sedangkan mematuhi aturan pemerintah terkait physical distancing untuk mengkebiri penyebaran virus corona merupakan tindakan untuk menjaga kemaslahatan umat. Jadi, mematuhi aturan physical distancing, menurut hemat, saya merupakan  kewajiban yang tak bisa ditawar. Apalagi kebijakan ini hanya bersifat sementara, nanti setelah pandemi covid-19 ini berakhir, kita semua bisa beribadah seperti biasanya.

Sebagai penutup tulisan ini, saya berseru dan berharap sebagai warga  negara  yang baik dan umat beragama yang taat, sudah selayaknya bagi kita semua mematuhi kebijakan yang diambil pemerintah terkait penanganan pandemi covid-19. Islam  adalah agama yang menjunjung tinggi keselamatan dan kemaslahatan umat. Hilangkanlah egoisme, Apalagi ego yang bersembunyi di bawah payung agama. Jika bukan pada kaum muda yang terpelajar, lalu pada siapa masa depan negara dan agama akan dititipkan.

Moh. Rofiqi
Penulis: Moh. Rofiqi
Tentang Saya
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Prodi Sosiologi Agama
Tulisan Lainnya

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini