Komodifikasi Islam: Tantangan Terhadap Egalitarianisme Masyarakat Muslim

Komodifikasi AgamaKomodifikasi AgamaAgama hingga saat ini tetap menjadi topik menarik yang tak pernah usang untuk dibahas, terutama dalam melihat realitas masyarakat. Salah satu fungsi agama adalah sebagai pedoman hidup bagi pemeluknya dalam menjalani kehidupan, begitu juga dengan Islam. Islam secara jelas telah memberikan sebuah kerangka konsep mengenai sistem sosial, sistem politik,  ekonomi, dan hukum yang bersifat menyeluruh.

Namun, seiring bergeraknya modernisasi, Islam tidak hanya menjadi sebuah ‘agama’. Islam bertransformasi, mengalami komodifikasi, salah satu bentuknya dapat kita lihat dalam aspek ekonomi pasar, di mana Islam dalam beragam tingkat dan aspek, berinteraksi, bersaing, dan bernegosiasi dengan penetrasi ekonomi pasar yang tak dapat dihindarkan. Pada akhirnya, Islam dibuat menjadi komoditas dan bagaimana pemeluknya membuatnya menjadi masuk akal.

Apa yang dimaksud dengan komodifikasi? Pertanyaan tersebut tentu sangat penting untuk dijawab agar lebih mudah memahami pemaknaan  komodifikasi Islam. The Oxford English Dictionary (1989) mendefinisikan komodifikasi  (commodification) sebagai tindakan mengubah sesuatu menjadi atau memperlakukan sesuatu, sebagai komoditas; komersialisasi sebuah aktivitas dan lain sebagainya yang tidak alami secara komersial.

Pada mulanya konsep komodifikasi diawali oleh ide dasar Karl Marx, ia  membuat sebuah analisa komoditi dan menemukan bahwa komodifikasi bertalian erat dengan kapitalisme.  Segala sesuatu yang diproduksi dari sebuah komoditas semata-mata bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Suatu produk dinilai tidak berdasarkan kemampuannya  memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi lebih kepada apa yang laku di pasaran.

Komodifikasi juga merambat pada agama, hal itu merupakan imbas dari hubungan interaktif  dan berulang antara agama dan pasar. Pattana Kitiarsa (2013) menyatakan bahwa komodifikasi agama melibatkan proses bagaimana sebuah agama menyandang bentuk komoditas dan menandai “pergeseran kesalehan di tingkat individu maupun kolektif dari kewajiban ke konsumsi ”.

Artinya, komodifikasi agama  membicarakan keterlibatan agama  dalam memberi pengaruh pada  tumbuh dan berkembangnya budaya komersial, konsumsi dan proses pasar. Ia merupakan proses  perubahan-perubahan keyakinan agama menjadi barang layak konsumsi. Agama akan menjadi komoditas setelah dikomersialkan.

Komodifikasi agama berdampak pada  transformasi nilai guna agama, agama sebagai pedoman hidup dan sumber nilai-nilai normatif dengan berlandaskan pada keyakinan ketuhanan bergeser menjadi nilai tukar. Ia membuat barang-barang yang tidak bernuansa agama menjadi bernilai agama. Setelah terjadi pemberian nilai agama, barang-barang tadi memiliki nilai jual lebih tinggi dan lebih laku di pasaran. Kita tidak dapat menafikan bahwa salah satu alasan manusia melakukan tindakan sosial adalah faktor agama, begitu juga dalam hal konsumsi atau pasar.

Fenomena komodifikasi agama ini menjadi hal yang tak bisa dihindari, begitu juga dengan komodifikasi terhadap Islam. Komodifikasi Islam adalah proses di mana  norma-norma dan nilai-nilai sakral keagamaan dikembangkan menjadi komoditas yang diproduksi, didistribuskan dan dikonsumsi melalui mekanisme ekonomi pasar. Barang yang memiliki nilai spiritual akan membuat pemakainya merasa lebih berpenampilan religius. Komodifikasi Islam menjadi keniscayaan karena perkembangan teknologi, informasi, urbanisasi serta pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat.

Kenyataan perkembangan teknologi, informasi, urbanisasi serta pertumbuhan ekonomi yang pesat memengaruhi ekspresi keimanan seorang muslim. Jika pada awalnya ekspresi keimanan umat Islam terkesan formal dan kaku, maka komodifikasi Islam menyebabkan ekspresi keimanan lebih fleksibel. Biasanya, proses spiritualisasi mengacu pada media-media dengan memperhatikan tren yang menjadi gandrung masyarakat. Apalagi era industri 4.0 benar-benar membawa masyarakat dalam dunia serba kemudahan.

Salah satu contoh dari komodifikasi Islam adalah  tren hijab. Komodifikasi Islam membuat hijab tidak hanya sebagai penutup kepala saja, lebih dari itu hijab mengalami perkembangan menjadi simbol kesalehan seorang penganut Islam yang taat. Bahkan, hijab menjadi tren fashion muslimah kekinian dengan beragam corak dan bentuk. Malcolm Barnard dalam bukunya Fashion Sebagai Komunikasi menyatakan bahwa fashion menjadi salah satu bentuk komunikasi non verbal, maksudnya pakaian dapat merepresentasikan apa yang ingin disampaikan oleh penggunanya.

Imbas dari hal itu adalah kemunculan  komunitas hijabers.  Komunitas hijabers berisikan orang-orang dengan gaya hijab tertentu. Artinya seseorang yang memiliki gaya hijab berbeda  atau  kualitas  jilbab berbeda dari komunitas tersebut tidak bisa menjadi bagian dari mereka. Komunitas ini memunculkan kelas sosial baru di mana sangat berpengaruh pada pola atau gaya interaksi sosial anggota komunitas hijabers dengan orang-orang di luar komunitasnya. Bahkan orang-orang ini terkadang tidak mau bergabung dengan kelas di bawah mereka, atau  jika mereka bergaul dengan kelas yang berbeda mereka tetap membedakan dan membatasi diri.

Munculnya kelas baru seperti komunitas hijabers tentu tidak mengherankan. Komodifikasi agama memang memiliki beberapa konsekuensi, salah satunya  komersialisasi simbol-simbol agama yang diperjualbelikan untuk mendapatkan untung  nantinya akan menjadi simbol kelas, atau tren baru. Yusron Razak (2010) menjelaskan bahwa kelas sosial sangat memengaruhi pola interaksi masyarakat. Kelas sosial menjadi acuan dalam berperilaku dan bertindak sesuai dengan kerangka yang terbentuk. Pun, kelas sosial cenderung memaksa atau  membatasi perasaan individu pada orang lain.

Perlu kita sadari bahwa munculnya kelas-kelas baru dalam beragama merupakan tantangan yang tak boleh dianggap sepele. Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tidak hanya mengajarkan tentang kepatuhan terhadap Allah SWT. Selebihnya, Muhammad hadir untuk menghapus kelas-kelas sosial di tengah  masyarakat. Islam mengajarkan bahwa tolok ukur derajat manusia di hadapan Tuhan bukan dari kekayaan, kualitas pakaian dan sejenisnya, melainkan dari ketakwaan  dan pola sikap sebagai muslim yang taat.

Islam sangat menjunjung tinggi nilai egalitarianisme, bukan sebaliknya. Fenomena kemunculan kelas-kelas sosial dalam beragama akibat komodifikasi  Islam tentu sangat jauh dari nilai-nilai keislaman itu sendiri. Sebagai seorang muslim yang cerdas, merekonstruksi pemahaman keimanan di tengah perkembangan zaman tentu sangat penting dilakukan agar pemahaman tentang keimanan tidak tergerus dan mengalami pergeseran seperti komersialisasi terhadap agama.

Agama seharusnya menjadi kompas kehidupan dan pembentuk solidaritas sosial masyarakat, bukan menjadi pembentuk klasifikasi sosial di mana antara individu dengan lainnya merasa lebih unggul satu sama lain. Komodifikasi agama dengan kemunculan kelas sosial baru merupakan tantangan bagi umat Islam. Bagaimana seharusnya nilai-nilai egalitarianisme ajaran Islam tetap termanifestasikan dalam kehidupan umat Islam. 

Moh. Rofiqi
Penulis: Moh. Rofiqi
Tentang Saya
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Prodi Sosiologi Agama
Tulisan Lainnya

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini