Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri bahkan memiliki ketergantungan yang tinggi. Sikap ketergantungan tentunya dapat menimbulkan sikap yang berbeda. Begitu pun dengan agama di mana ajaran dari tiap agama pasti memiliki ajaran yang berbeda-beda pula. Secara umum, agama menjadi sumber pokok nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks hubungan antarumat beragama, agama dapat digunakan sebagai wadah pemersatu umat. Terlepas dari sumber pokok nilai dan norma dalam kehidupan, agama juga memiliki ajaran tersendiri yang diajarkan kepada setiap pemeluknya.
Secara umum, agama mengajarkan kebenaran kepada setiap pemeluknya. Selain menjadi sumber pokok nilai dan norma dalam bermasyarakat, agama juga dijadikan sebagai pedoman hidup manusia. Sehingga dalam konteks ini, agama digunakan sebagai institusi moral yang merupakan sesuatu eksternal, objektif dan berfungsi mengikat tatanan moral bagi kehidupan manusia. Agama memang berfungsi sebagai pengikat tatanan moral manusia, namun jika dilihat dari realitasnya, agama mengalami pergeseran fungsi. Nilai fungsi agama menjadi sebuah komoditas dan agama itu sendiri mengalami proses komodifikasi (Kamim: 2017).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komodifikasi merupakan perubahan fungsi suatu benda, jasa, atau entitas lain yang umumnya tidak dipandang sebagai suatu produk komersial menjadi komoditas. Sehingga dapat dikatakan bahwa komodifikasi itu merupakan proses perubahan fungsi yang sekiranya bisa dijual, bukan menjual apa yang seharusnya dijual. Berarti dalam hal ini, agama yang termasuk dalam entitas lain, maka agama yang mulanya bukan untuk komersial menjadi dikomersialkan. Sehingga nilai-nilai dalam agama ini dengan mudah diperjualbelikan dengan bebas.
Seiring berkembangnya zaman, kekuatan kapitalisme merebak dimana-mana bahkan agama tercampuri oleh kekuatan kapitalis. Dorongan dari arus globalisasi juga turut mendukung merebaknya kekuatan kapitalisme. Selain itu, perubahan sosial budaya masyarakat tentu mendukung hadirnya komodifikasi agama. Salah satu bentuk komodifikasi agama yang sedang marak yaitu penggunaan jilbab. Jilbab memang digunakan sebagai identitas agama Islam, namun pada kenyataannya jilbab sekarang menjadi komoditas muslimah di Indonesia dengan model yang beragam. Dalam al-Quran memang sudah dijelaskan perintah menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan. Namun dalam Islam, menutup aurat tidak selalu identik dengan jilbab. Menutup aurat bisa mengenakan kerudung, setelan baju panjang, blouse, celana, dsb. Setelah mengetahui nilai dari menutup aurat, kemudian direproduksi dan ditukar oleh industri jilbab.
Secara praktiknya, proses komodifikasi agama berdampak pada transformasi nilai guna agama. Agama yang digunakan sebagai pedoman hidup kini menjadi nilai tukar yang dijual di pasaran. Selain jilbab sebagai bentuk komodifikasi sosial, ada banyak bentuk komodifikasi yang ditemui di sekitar kita, bahkan kita menggunakan produk dari komodifikasi tersebut. Misalnya saja melaksanakan pengajian di mana pengajian itu turut mengundang ustadz atau kyai kondang yang dalam pelaksanaan ceramahnya harus memberikan biaya kepada ustadz tersebut. Tentu model dakwah yang seperti itu menyebabkan ajaran agama hanya bisa diperoleh oleh mereka yang bisa membayar pendakwah tersebut.
Fenomena komodifikasi agama selanjutnya yang pasti dialami oleh masyarakat yaitu ketika menonton program ceramah di televisi. Program ceramah tentunya akan menuai rating yang tinggi ketika menambah tayangan pada saat momen bulan Ramadan. Pada bulan Ramadan tentunya masyarakat Indonesia mencari tayangan-tayangan yang berbau religius. Dari tayangan televisi tersebut, muncul ustadz atau ustadzah popular yang banyak diragukan kualifikasi dan kelayakannya dalam menyampaikan ajaran agama. Pada fenomena ini, komodifikasi agama berlangsung, dimana tayangan religi tidak mempertimbangkan lagi kualitas dalam penyampaian dakwahnya namun berlomba-lomba menampilkan bintang tamu yang diklaim dapat menambah rating di stasiun televisi tersebut. Dari perolehan rating yang tinggi, maka dapat memudahkan pihak stasiun televisi untuk meraup keuntungan dari sponsor iklan yang tertarik dari stasiun televisi tersebut.
Tak kalah menariknya yaitu fenomena komodifikasi agama yang dibungkus dalam bentuk wisata religi. Wisata religi merupakan salah satu wisata yang erat kaitannya dengan hal-hal religious. Wisata religi biasanya berupa tempat ibadah, makam para leluhur atau situs bersejarah yang memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Bagi sebagian masyarakat yang hidup di daerah wisata religi, tentu dapat dijadikan sebagai ladang bisnis. Tempat yang biasanya dijadikan sebagai tempat wisata religi, pasti di sekitarnya terdapat orang yang berjualan aneka ragam makanan, souvenir bahkan menyediakan akomodasi penginapan bagi orang yang berkunjung ke wisata tersebut. Sembari pengunjung melakukan wisata religi, pengunjung juga dapat menikmati wisata belanja yang dapat membantu sektor perekonomian daerah wisata.
Selanjutnya fenomena komodifikasi yang dekat dengan kehidupan masyarakat yaitu pada pengobatan berbasis keislaman seperti penggunaan doa atau ruqyah yang diklaim dapat mengusir penyakit dari dalam tubuh. Sudah banyak diteliti bahwa pengobatan dengan doa benar-benar memberikan efek kesembuhan bagi pasien. Apalagi jika tempat pengobatan itu sudah kondang di masyarakat. Ketika pengobatan itu dapat menyembuhkan penyakit yang diyakini oleh umat beragama, maka komodifikasi agama dapat terjadi. Ketika pengobatan itu sudah kondang, maka yang dilakukan untuk menarik konsumen, dipajanglah iklan-iklan yang melibatkan testimony konsumen yang digambarkan seolah-olah telah sembuh total dari penyakit melalui pengobatan tersebut. Dari iklan yang menarik tersebut, otomatis dapat menarik perhatian konsumen yang kemudian dikenakan tarif yang tidak wajar demi menghidupi kebutuhan si terapis
Fenomena komodifikasi agama yang jarang disadari oleh masyarakat yaitu dalam hal ritual ibadah. Ibadah yang dimaksud yaitu ketika menjalankan ritual ibadah haji atau umroh yang memerlukan persiapan baik secara material maupun finansial. Dikarenakan ibadah ini dilaksanakan di Mekkah, tentu terdapat kesulitan bagi orang yang belum pernah berkunjung kesana. Mulai dari pengurusan tiket pesawat, visa dan hotel tentu bukan hal yang mudah jika diurus secara perseorangan. Kondisi inilah yang menyebabkan biro travel haji atau umroh mencari peluang untuk membuka bisnis. Alih-alih sebagai pembantu orang lain dalam menunaikan ibadah haji atau umroh, justru biro travel juga dapat meraup keuntungan yang besar. Tidak heran jika paket yang ditawarkan memiliki embel-embel wisata ke daerah yang dekat dengan Mekkah. Hal itulah yang dapat membuat pembayaran ongkos naik haji mahal.
Beberapa fenomena tersebut merupakan hanya segelintir contoh dari fenomena komodifikasi agama. Pada realitanya, semua sektor sudah tercampuri komodifikasi agama. Agama diperdagangkan secara bebas demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Benar adanya teori Max Weber mengenai tindakan sosial di mana agama sebagai motif tindakan sosial. Motif tindakan sosial ini tentu dicampuri dengan komodifikasi agama. Komodifikasi agama juga perlu diwaspadai pasalnya komodifikasi agama dapat merugikan pihak lain sehingga kesadaran kolektif akan bahaya dari komodifikasi agama perlu dimunculkan bahkan diedukasikan kepada masyarakat. Dengan demikian, memahami perihal komodifikasi agama sangat lah penting agar tidak tersesat pada jalan yang salah.
Daftar pustaka
Kamim, A. B. (2017, November 20). “Bertahan di Tengah Guncangan Komodifikasi Agama”. Diambil dari jmf.fisipol.ugm.ac.id: https://jmf.fisipol.ugm.ac.id/2017/11/bertahan-di-tengah-guncangan-komodifikasi-agama/ (Diakses pada 11 Januari 2021)
Rahma, A. K. (2020, Juni 16). “Merebaknya Komodifikasi Agama di tengah Masyarakat Perkotaan”. Diambil kembali dari mahasiswaindonesia.id: https://mahasiswaindonesia.id/merebaknya-komodifikasi-agama-di-tengah-masyarakat-perkotaan/ (Diakses pada 11 Januari 2021)
Rahman, A. (2016). “Komodifikasi Agama: Sebuah Kajian Tafsir Fenomenologis”. Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al Qur'an dan Tafsir 10(1), 101-115. doi:http://dx.doi.org/10.21043/hermeneutik.v10i1.3904 dalam https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Hermeneutik/article/view/3904/3 091 (Diakses pada 11 Januari 2021)
DISCLAIMER
|