Pada zaman modern ini, hampir tiap masalah yang terjadi selalu dikaitkan dengan agama. Memang benar, sebagian masalah terkait dengan agama. Tapi apabila masalah tersebut berkaitan dengan agama, apakah masyarakat akan mengerti apa akar masalahnya? Sebagian orang terkadang belum mengerti mengenai agama dan hanya berlandaskan keyakinan dan kebenaran tafsiran yang diyakini untuk menyelesaikan problematika. Nyatanya, dalam suatu penyelesaian masalah tidak hanya satu jalan keluar melainkan ada banyak.
Agama merupakan hal yang dapat memicu dan meredam konlik. Semua yang berkaitan dengan agama merupakan hal yang cukup sensitif yang sangat berpengaruh besar, baik dalam mewujudkan perdamaian maupun permusuhan. Perbedaan pemahaman terhadap sebuah teks akan menyebabkan pertikaian dan permusuhan apabila telah masuk ke ranah publik.
Pemahaman tidak akan menciptakan pertikaian dan permusuhan jikalau seseorang tidak terlalu fanatik terhadap apa yang diyakini. Ke-fanatikaan menyebabkan berbagai hal yang negatif. Contohnya adalah perilaku dan sikap intoleran bahkan kepada sesama golongan agama.
Agama berasal dari bahasa Sanskerta, dari kata “A” dan “gama”. “A” memiliki arti tidak sedangkan kata “gama” memiliki arti kacau. Jika digabungkan akan memiliki pengertian tidak kacau. Artinya adalah agama merupakan ajaran yang di dalamnya tidak menimbulkan adanya kekacauan. Agama merupakan peraturan hidup yang menuntun manusia agar tidak mudah terjerumus ke dalam jalan yang salah.
Emile Durkheim
Menurut Emile Durkheim, agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya. Dalam memahami agama, Emile Durkheim lebih melihat bagaimana fungsi agama itu sendiri bagi manusia yang semua itu berhubungan dengan hal yang suci dan keterikatan dengan masalah keimanan yang bisa diperkokoh melalui ritual beribadah ataupun semacamnya.
Durkheim meyakini bahwa agama dilihat dari hal yang “sakral” dan “profan.” Sakral lebih diutamakan di bandingkan dengan profan. Sakral lebih bersifat komunal, mementingkan nilai kebersamaan dibandingkan individu. Ranah sakral ialah ranah yang dijaga, disentralkan, hal yang suci, dan keramat. Berbeda dengan sakral, profan lebih bersifat individu, biasa, dan aktivitas keseharian seperti makan, minum, dan tidur.
Karl Marx
Karl Marx memahami agama sebagai intuisi yang sengaja diciptakan oleh kelas borjuis (pemuka agama) untuk mengeksploitasi orang miskin demi mendapatkan keuntungan material. Dengan mengatasnamakan tuhan, pahala, dosa, dan surga, pemuka agama mengambil kekayaan dari kaum ploretal untuk kepentingan mereka sendiri.
Karl Marx memandang dan memaknai agama itu sendiri melalui pemikirannya tentang kapitalisme. Agama datang dari kelas borjuis untuk memberdayakan kaum proletar hanya untuk mencapai keuntungan material saja. Agama dianggap sebagai candu oleh Marx, dikarenakan memberikan harapan dan khayalan semu. Agama meyakini bahwa orang miskin di dunia akan menjadi kaya di akhirat. Tetapi menurut Marx, itu hanya sebuah kebohongan semata yang bertujuan untuk mengeksploitasi dan memeras tenaga dan materi dari orang-orang miskin dan golongan proletar.
Max Weber
Sementara itu, jika Marx berpandangan negatif, Weber melihat agama sebagai sesuatu yang memberikan solusi untuk permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Weber berasumsi bahwa untuk mencapai kebahagian di akhirat maka saat di dunia haruslah bekerja sekeras mungkin. Artinya, ketaatan dalam beragama dilihat berdasarkan gairah dan etos kerja. Semakin banyak harta maka semakin tebal keimanan dan semakin sedikit maka keimanannya pada Tuhan rendah.
DAFTAR BACAAN
L. Pals, Daniel. 2011. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: IRCiSoD
Soehadha, Moh. 2014. Fakta dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi. Yogyakarta:n Diandra Pustaka Indonesia
Jati, Wasisto Rahatjo. 2018. Agama dan spirit ekonomi: studi etos kerja dalam komparasi perbandingan agama. ALQALAM, Vol 35, No 2.
DISCLAIMER
|