Agama adalah perbuatan manusia yang paling mulia dalam kaitannya dengan Tuhan Maha Pencipta, kepada-Nya lah manusia memberikan kepercayaan dan keterikatan yang sesungguhnya (Joachim Wach, 1955). Keagamaan sudah menjadi bagian integral dari kebudayaan manusia sejak beribu ribu tahun yang lalu.
Namun, baru pada dua abad terakhir ini para pemikir mulai percaya bahwa agama bisa dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah(Djamannuri, 2015). Salah satunya adalah Joachim Wach seorang ahli filsafata perenilaisme (fenomenologis). Joachim wach mengemukakan konsep mengenai pengalaman keagamaan dalam ruang sosial.
Asumsi dasar Joachim Wach yaitu bahwa keagamaan yang bersifat subjektif dapat diobjektifikasikan dalam berbagai ungkapan. Setiap manusia memiliki agama dan memiliki pengalaman atas keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna; di tengah masyarakatnya atau di mata dunia.
Pengalaman keagamaan berada di dalam pengalaman umum. Ia dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan(Joachim Wach, 1996). Dalam memahami hakikat pengalaman keagamaan, para ilmuwan terbagi dalam empat kelompok; Pertama, menyangkal adanya pengalaman keagamaan. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ilmuwan sosiologi, psikologi, dan filsafat. Menurut mereka pengalaman keagamaan hanyalah ilusi belaka. Kedua, pengalaman keagamaan sama dengan pengalaman umum. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan pemikir Amerika dan Eropa. Ketiga, pengalaman keagamaan sama dengan sejarah agama. Hakikat yang keempat yaitu bahwa pengalaman keagamaan adalah ilmu murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan kriteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang manapun.
Joachim Wach membagi pengalaman keagamaan menjadi beberapa kriteria. Kriteria pertama yaitu bahwa pengalaman keagamaan merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak. Realitas mutlak adalah realitas yang menentukan dan mengikat segala galanya, yang dalam istilah Dorothi Emment disebut dengan “yang memberi kesan dan menantang kita”.
Kriteria kedua pengalaman keagamaan sebagai tanggapan yang menyeluruh dari makhluk utuh terhadap realitas mutlak. Hal tersebut berarti bahwa pribadi yang utuhlah yang terlibat, bukan sekedar fikiran, perasaan atau kehendaknya saja. Menurut Mouroux, pengalaman keagamaan merupakan suatu susunan bertingkat yang terdiri dari tiga unsur, yaitu akal, perasaan, dan kehendak hati. Oleh karena itu, pengalaman keagamaan berbeda dengan pengalaman-pengalaman lain yang hanya menggunakan salah satu unsur dari kewujudan manusia.
Kriteria ketiga adalah kedalaman (intensity). Secara potensial, pengalaman keagamaan tersebut merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesan, dan mendalam yang sanggup dimiliki manusia. Dalam Islam, keinginan yang menyala-nyala untuk memperoleh petunjuk Allah yang telah membakar semangat Nabi, dikumandangkan kembali oleh kaum tradisionalis seperti Ibnu Hanbal dan para pemikir seperti Al Hallaj.
Pengalaman keagamaan dapat diungkapkan dalam tiga bentuk, yaitu dalam bentuk pemikiran, dalam bentuk perbuatan dan dalam bentuk persekutuan (Joachim Wach, 1996). Mite dan doktrin merupakan penegasan dalam bentuk pemikiran mengenai apa yang telah dihayati dalam menghadap realitas mutlak. Kultus adalah perbuatan ibadat dan pelayanan yang timbul dari keberhadapan ini.
Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan yaitu bagaimana pengalaman keagamaan dalam lingkungan sosial. Perbuatan agama senantiasa merupakan perbuatan keagamaan dari seseorang. Tetapi, penelitian terhadap agama-agama primitif memperlihatkan bahwa agama pada umumnya merupakan suatu usaha bersama, sekalipun terdiri dari pengalaman-pengalaman perorangan.
Relevansi pengalaman dan ekspresi keagamaan dalam studi hadis yaitu adanya hadis, baik tekstual maupun kontekstual, berada pada ruang agama itu sendiri. Sehingga, hadis berfungsi sebagai objek bagi manusia dalam proses pengalaman keagamaannya yang nantinya akan menghasilkan suatu ekspresi terhadap pengalamannya.
Dalam contoh sederhana, saling tolong-menolong adalah hal yang baik dan sudah banyak dijelaskan dalam berbagai hadis. Selain itu, tolong-menolong adalah hal yang baik pula dalam beretika, sehingga bagi orang yang paham hadisnya maupun tidak tetap akan melaksanakan sikap tolong-menolong. Namun, berbeda kedalamannya pada kedua sikap tersebut.
Orang yang memahami hadis tentang tolong-menolong akan lebih berusaha menata niat dan mengetahui tujuan atas setiap perilakunya. Sedangkan tolong-menolong bagi orang yang tidak paham agama, khususnya hadis, maka dia akan menganggap hal yang dilakukannya bukanlah suatu yang berharga ataupun penting baginya di masa depan. Begitu pula ketika seseorang mempunyai pengalaman keagamaan yang tidak baik. Contohnya, seseorang mempelajari hadis dari seorang guru yang pembohong, maka bisa jadi orang itu akan memunculkan sikap yang menyimpang dalam beragama.
Kesimpulan dari pemaparan di atas, bahwa pengalaman keagamaan adalah tanggapan terhadap apa yang disebut dengan realitas mutlak, sedangakan ekspresi keagamaan adalah sikap seseorang beragama sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya.
Dan ruang sosial, tidak dapat dipisahkan dari keduanya, karena agama muncul dari suatu kebudayaan dan persekutuan. Studi hadis menjadi hal yang sangat penting dalam hal ini. Karena hadis adalah bagian dari agama yang paling pokok dan pemahaman terhadap hadis menjadi faktor berkembangnya suatu masyarakat sebagai kelompok keagamaan.
Daftar Referensi
Wach, Joachim. 1996. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djamannuri, dkk. 2015. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia.
DISCLAIMER
|