1. Konsep Pengalaman agama
Pernahkah kalian mendengar kata pengalaman? Berbicara tentang pengalaman berarti berbicara tentang manusia sebagai pelaku sebuah pengalaman keagamaan tersebut. Menurut Joachim Wach “pengalaman keagamaan adalah aspek batiniah dari saling hubungan antara manusia dan fikirannya dengan Tuhan” (Pujiastuti,2017:65). Sama juga halnya dengan pendapat Wilfred Cantwell yang mengatakan bahwa “kemajuan mempelajari agama akan diperoleh jika kita dapat mengesampingkan hakikat agama dan lebih fokus pada proses perkembangannya yang kontemporer” (Wach,1989:39). Pengalaman keagamaan adalah bentuk dari aktivitas manusia untuk menghadap Tuhannya.
Pengalaman keagamaan juga merupakan suatu susunan bertingkat yang terdiri dari tiga unsur yaitu akal, perasaan, dan kehendak hati. Karena ia berhubungan dengan manusia utuh dan keseluruhan hidupnya. Ini yang membedakan dengan pengalaman parsial. Bagaimana memahami pengalaman agama? Pertama yaitu ia merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak (yang sakral). Kedua, yang kedalaman (intensity) kuat, menyeluruh, mengesan, dan mendalam. Ketiga, dari yang murni itu dinyatakan dalam perbuatan. Maksudnya adalah pengalaman merupakan suatu bentuk implementasi dari satu yang sakral tadi.
Dalam Islam, esensi pengalaman keagamaan adalah realisasi bahwa kehidupan tidaklah sesuatu yang sia-sia, harus mengabdi pada suatu tujuan dan natur suatu fitrah yang tidak dapat diidentikkan dengan aliran alam yang penuh selera hawa nafsu, untuk memuaskan hawa nafsu yang baru, dan kepuasan yang baru (Faruqi,1985:30).
Segala aktivitas, baik aktivitas batiniah ataupun aktivitas lahiriah, itu semua merupakan bentuk dari sebuah pengalaman keagamaan. Dari situ manusia akan mengembangkan hubungannya dengan Tuhan (hablum minallah) dan membentuk suatu pola dengan berbagai macam bentuk perasaan, sistem-sistem pemikiran (ajaran agama) dan sistem kelakuan sosial (upacara sembahyang) dan organisasi-organisasi dengan orang lain karena pastinya setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda.
Pada hakikatnya pengalaman keagamaan merupakan pengalaman yang sifatnya individu dan hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya saja (subyektif). Maka dari itu pastilah pengalaman keagamaan setiap orang akan berbeda karena perbedaan tingkat pengalaman keagamaan ajaran agama yang dilakukan oleh orang tersebut. Oleh karena itu tidak ada orang yang bertukar pikiran tentang pengalaman agamanya dapat membicarakan satu soal yang sama (Manaf,1994:1-2).
Ada dua macam cara meneliti hakikat pengalaman keagamaan menurut Joachim Wach, yaitu :
- Dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte, atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri.
- Dengan berangkat dari sebuah pertanyaan “di mana aku”. Aku yang dimaksud bisa jadi “aku” yang bersifat individu dan bisa jadi juga “aku” yang bersifat kelompok. Jika menggunakan “aku” yang bersifat individu maka akan memunculkan dua keberatan yaitu : Pertama, kata “pengalaman” mengacu pada perbuatan manusia, bukan Tuhan. Namun kata tersebut juga menunjukkan bahwa adanya eksistensi yang berdiri sendiri terpisah dari obyek yang dialami sehingga menolak subyektivisme. Pemakaian istilah pengalaman “saya” atau “kita” sama sekali tidak menolak adanya wahyu Tuhan dalam pengalaman ini. Kedua, memulai dari perorangan akan dapat menimbulkan kesulitan, atau bahkan tidak mungkin dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap sifat agama. Agama bersama ataupun individu tidaklah bersifat ekslusif satu sama lain. meskipun pengalaman individu bisa saja memperbaiki pengalaman kelompok, namun sejarah agama memperlihatkan kepada kita perkecualian dan tidak merupakan ketentutan kapan pengalaman individu memerlukan dan mencerminkan pengalaman kelompok. (Wach,1989:42).
Menurut Wach, untuk menjadi pengalaman yang terstruktur, pengalaman keagamaan dibagi menjadi 4 macam kriteria
- Pengalaman tersebut merupakan respon terhadap suatu yang dipandang sebagai realitas mutlak.
- Pengalaman tersebut melibatkan pribadi secara utuh, baik pikiran, emosi maupun kehendaknya.
- Pengalaman tersebut memiliki intensitas yang mengatasi pengalaman-pengalaman manusia yang lain,
- Pengalaman tersebut dinyatakan dalam perbuatan karena memiliki sifat imperatif dan merupakan sumber utama motivasi dan perbuatan.
2. Ekspresi Keagamaan
Ekspresi keagamaan adalah cara bagaimana kita menyikapi sebuah pengalaman keagamaan. Setiap orang pasti berbeda-beda dalam menyikapi pengalaman keagamaan. Sikap yang berbeda itulah yang dimaksud dengan ekspresi keagamaan. Pengalaman yang tadi sifatnya subyektif pastilah akan menghasilkan ekspresi keagamaan yang subyektif juga. Pengalaman keagamaan yang benar pasti akan menghasilkan ekspresi keagamaan yang benar juga. Contohnya jika seorang benar dalam memahami doktrin sebuah agama pasti ekspresi yang akan dikeluarkannya merupakan ekspresi yang sesuai dan tepat dengan pengalaman keagamaannya tersebut khusunya dengan doktrin agama tersebut. Menurut Wach bentuk ekspresi pengalaman keagamaan ada tiga yaitu :
- Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran (doktrin)
- Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan (cara beribadah, sholat)
- Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan (kelompok, Ummat)
Biasanya orang beragama membentuk kelompok, mengapa? Karena dengan adanya kelompok merupakan sarana pembenaran dan perkembangan eksperimental yang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya ataupun mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan.
3. Relevansinya Bagi Studi Hadis
Relevansinya dengan studi hadis ialah sebagaimana yang sama-sama kita ketahui bahwa hadis itu merupakan perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) Nabi SAW. Hadis ditempatkan sebagai bagian dari pengalaman dan ekspresi Nabi SAW dalam keberagamaannya. Hadis berfungsi sebagai doktrin yang digunakan sebagai penjelas, pengaturan kehidupan dan aturan normatif pemujaan dan pelayanan. Berfungsi juga sebagai pertahanan iman dan penegasan serta peneguh keyakinan.
Secara tidak langsung hadis tersebut merupakan sebuah bentuk pengalaman keagamaan yang dilakukan oleh individu Nabi SAW. Di dalam hadis banyak mengisahkan bagaimana cara Nabi dalam berekspresi mengenai sebuah kejadian ataupun peristiwa-peristiwa yang langkah. Di sini berarti hadis tersebut merupakan sebuah pengalaman keagamaan yang berfungsi sebagai obyek yang nantinya akan menghasilkan ekspresi yang berbeda-beda.
Hadis juga berfungsi sebagai tuntutan ketaatan dan peribadatan sebagai tingkah laku tertinggi dalam kehidupan keberagamaan seorang manusia. Melegitimasi ekspresi peribadatan umat dengan sangat mutlak. Selain karena hadisnya sendiri juga karena penghayatan dan pengalaman orang dalam berislam yang berbeda-beda maka hadis mampu melahirkan pola-pola pemujaan kepada Tuhan yang beragam.
Imajinasi tentang Tuhan dan Muhammad yang suci yang dibawa dalam deskripsi hadis mampu menjadi pusat penghayatan, pengalaman dan ekspresi yang menyatukan umat. Perlu ada tafsir-tafsir baru atas hadis yang mampu membawa pada “kesadaran baru” pembangunan ikatan riil muslim, tidak hanya teks dan tafsir teks namun konsepsi riil ikatan manusia yang bersumber dari hadis.
Kesimpulannya adalah bahwa pengalaman keagamaan merupakan sebuah aspek batin yang mana menghubungkan antara manusia dengan sang Pencipta yang itu bersifat subyektif dan individualis karena sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Pengalaman keagamaan merupakan sebuah realitas yang tidak bisa dielakkan. Sedang ekspresi keagamaan menunjuk pada bagaimana seseorang menyikapi pengalaman keagamaannya tersebut. Konsep pengalaman dan ekspresi keagamaan ini sangat relevan dengan studi hadis, karena hadis sendiri merupakan sebuah “pengalaman keagamaan” yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Hadis berfungsi sebagai doktrin yang digunakan sebagai penjelas, pengaturan kehidupan dan aturan normatif pemujaan dan pelayanan. Selain itu, perlu ada tafsir-tafsir baru terhadap hadis yang mampu membawa pada pembangunan ikatan riil muslim.
Daftar Pustaka
Wach, Joachim, Ilmu Perbandingan Agama, CV. Rajawali, Jakarta, 1989.
Manaf, Abdul Mudjahid, Ilmu Perbandingan Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Pujiastuti, Triyani, Konsep Pengalaman Keagamaan, Dalam Jurnal Syi’ar Vol 17, No 2 Agustus 2017.
Faruqi, (al) Isma’il, Pengalaman Keagamaan dalam Islam, PLP2M, Yogyakarta, 1985.
DISCLAIMER
|