Masyarakat merupakan salah satu komponen yang sangat urgent dalam berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Masyarakat, berdasarkan peradabannya, dibagi menjadi tiga yaitu masyarakat primitif, desa dan masyarakat kota. Hal ini juga dapat ditilik melalui berbagai aspek yang lain, karena jika ditinjau dari karakteristik awal, perbedaan antara masyarakat primitif (primitive society), masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community) saling bertolak belakang. Tapi bagaimana jika ditarik pada era kontemporer saat ini, apakah hal tersebut berlaku atau masih bias dalam pandangan?
Tulisan ini menfokuskan pada masyarakat perkotaan, di mana kota dianggap sebagai tempat mengundi nasib. Orang terdahulu bahkan sekarang berkata “saya ingin mencari pekerjaan ke kota dan mengundi nasib di sana”.
Perkotaan dengan segala keunikannya dan seluruh peristiwa yang dialami oleh penduduknya menggambarkan bagaimana bentuk karakteristik sebuah kota tersebut. Masyarakat kota dianggap sebagai masyarakat maju yang berbeda dengan masyarakat desa dengan segala kesederhanaan, apalagi masyarakat kota didukung dengan teknologi, informasi dan komunikasi yang memadai.
Dalam memahami konteks masyarakat perkotaan bisa dilihat bagaimana ciri atau karakteristik yang melekat pada masyarakat itu sendiri, begitupun dengan masyarakat pedesaan. Tokoh-tokoh besar sosiologi yang tentunya tidak asing lagi, apalagi bagi mahasiwa sosiologi, yaitu Durkheim, Marx, dan Weber, juga berbicara mengenai masyarakat perkotaan dengan pemikirannya masing-masing.
Pertama, Emile Durkheim
Menurut Durkheim, masyarakat perkotaan tertuju pada sebuah solidaritas, di mana solidaritas masyarakat perkotaan (gesellschaft), menurutnya, berbeda dengan masyarakat pedesaan (gemeinschaft) karena masyarakat kota dikategorikan masyarakat yang memiliki solidaritas organik. Pada masyarakat perkotaan, berlaku hukum restitutif yang menghendaki para pelanggar untuk memberikan ganti rugi atas kesejahteraan mereka.
Dari sinilah, masyarakat kota bisa dipahami sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas kolektif rendah, karena masyarakat kota yang notabene sebagai masyarakat pendatang, berbeda dengan masyarakat pedesaan yang relatif dominan sebagai masyarakat asli dan memiliki solidaritas yang kuat atau solidaritas mekanik, saling bahu membahu, gotong royong dengan menerapkan slogan “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Pekerjaan yang berat sekalipun apabila dilakukan bersama-sama akan terasa ringan. Itulah masyarakat kota dalam pandangan Durkheim.
Kedua: Karl Marx
Marx mendefinisikan masyarakat dalam kaitannya dengan struktur sosial dan lebih condong dengan sistem ekonomi. Masyarakat dipandang sebagai struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
Jika ditarik pada masyarakat perkotaan, ia membagi dua bagian masyarakat yaitu masyarakat borjuis dan proletariat. Keduanya merupakan hal yang berbeda dalam kedudukan. Borjuis termasuk kategori kaum kaya, sedangkan proletar kaum miskin yang mana keduanya merupakan dua kelas utama dalam kedudukan sistem kapitalisme.
Baginya, kota sebagai perserikatan yang dibentuk guna untuk melindungi hak milik dan memperbanyak alat produksi dalam mempertahankan diri dari penduduknya. Pernyataan ini ada keterkaitannya dengan dua aspek yang sebelumya telah dijelaskan.
Ketiga: Max Weber
Weber mengaitkan masyarakat perkotaan dengan konsep yang ia dicetuskan yaitu the protestant etics and the spirit of capitalism. Mmelihat realita yang terjadi pada era sekarang, masyarakat perkotaan memiliki semangat yang senada dengan konsep Weber. Dalam hal pekerjaan, masyarakat kota dibekali dengan semangat kapitalisme untuk terus memperoleh uang sebanyak banyaknya, berlomba-lomba dalam mencari finansial.
Menurut Max Weber, sebuah wilayah baru menjadi kota jika penghuninya sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhan lewat pasar. Keterkaitan hal tersebut juga terdapat dukungan dari konsep yang dibawa Weber mengenai etika protestan, karena menurutnya, masyarakat disebut urban society apabila penghuni setempat dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
Berbagai dimensi karakteristik masyarakat perkotaan di atas menunjukkan bahwa perkotaan dinilai kondisi peradabannya berbeda dengan pedesaan. Jika Durkheim mengartikan masyarakat kota melalui solidaritasnya, Marx dengan sistem kapitalisme yang ada antara kaum borjuis dan proletar, Max Weber memberi konsep pada masyarakat perkotaan dengan semangat kapitalisme, maka dari sinilah masyarakat, secara umum, kota bisa dilihat dan dipahami sebagai masyarakat pendatang (urban society).
Tapi apakah pemikiran ketiga tokoh d atas relevan dengan kondisi perkotaan saat ini?, lagi-lagi kembali pada sistem yang ada di dalamnya. Seperti gagasan Durkheim tentang solidaritas. Saat ini, solidaritas tidak ditentukan oleh wilayah, baik perkotaan ataupun pedesaan, karena sering juga kita temui masyarakat kota yang memiliki solidaritas tinggi. Begitu pun sebaliknya, bagi masyarakat pedesaan, tidak menafikan pula terhadap pemikiran Marx dan Weber mengenai konsep kapitalisme dan semangat kapitalisme yang juga tidak semua dapat dicocokkan dengan realita sekarang.
Jadi sebuah teori itu dapat dipatahkan apabila ditemukan kejanggalan yang ada di lapangan, karena perubahan sosial akan terus terjadi dan circle mempengaruhinya. Untuk saat ini, penilaian pada masyarakat perkotaan maupun pedesaan sudah tidak dapat ditafsirkan dengan cara tekstual saja, tetapi harus dengan cara kontekstual, melihat realitas yang benar-benar terjadi di wilayah yang diteliti.
Daftar Bacaan:
Jamaluddin, Adon Nasrullah. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya, Bandung: CV Pustaka Setia. 2017.
Yulianhar, Aang. Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan dalam aangyulianhar.blogspot.com. 2020.
Selena, Gryselda Sheryl, Puji Aenun dan Lulu Lathifah. Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan . Makalah Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Universitas Darussalam Gontor Mantingan 2017.
DISCLAIMER
|