Ada yang unik dari tradisi nyadran di dusun Krecek. Di dusun ini, upacara nyadran dilakukan secara bersama-sama oleh tiga agama sekaligus: Islam, Kristen dan Buddha. Nyadran sendiri adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kata Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Sraddha yang berarti keyakinan. Rangkaian tradisi Nyadran biasanya berupa bersih-bersih makam, tabur bunga, dan puncaknya adalah kenduri atau selamatan di makam leluhur.
Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata Sadran yang berarti Ruwah Syakban. Jadi acara Nyadran ini biasanya dilaksanakan setiap hari ke-10 bulan Ruwah atau Syakban. Tradisi Nyadran ini sudah ada sejak zaman dahulu khususnya di Jawa.
Kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman Nyadran di dusun Krecek, Getas, Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Acara ini di ikuti oleh 15 pemuda dari berbagai daerah di Indonesia seperti, Temanggung, Wonososbo, Semarang, Yogyakarta, Jember, Kediri, Bondowoso, dan Kalimantan.
Acara ini diselenggarakan oleh Pace Leader Indonesia dan BuddhaZine yang bekerjasama dengan The Asian Muslim Action Network atau singkatnya AMAN Indonesia. Di dusun Krecek sendiri hidup tiga agama yang berbeda yaitu Islam, Buddha, dan juga Kristen, ketiga agama ini hidup rukun dan damai.
Bagi masyarakat dusun Krecek sudah menjadi hal yang biasa apabila ada tetangga memiliki hajat, pasti tetangga lainnya juga ikut membantu tanpa memandang latar belakang agamanya. Jadi yang diutamakan adalah soal kemanusiaan dan juga solidaritas. Nilai-nilai toleransi tumbuh sangat subur.
Apabila kita kaji dari segi geografi maka letak dusun Krecek berada di daerah pegunungan dan masih tergolong pelosok bahkan sinyalpun sulit didapatkan, mungkin kondisi seperti inilah yang mengharuskan mereka saling tolong menolong dan gotong royong.
Saya melakukan wawancara langsung kepada salah seorang Pendeta Buddha. Yang menjadi pertanyaan saya yaitu bagaimana keharmonisan antar agama di dusun Krecek, Bapak Pendeta kemudian menjelaskan menjelaskan bahwa ada hubungan yang sangat harmonis antar umat beragama, bahkan dapat dikatakan tidak pernah ada konflik. Hubungan yang harmonis ini sudah terjalin sejak zaman dahulu kemudian dirawat dan dijaga dengan baik oleh generasi berikutnya. Perdamaian yang disepakati para leluhur itu kemudian disimbolkan dengan tradisi Nyadranan.
Upacara Nyadran di dusun Krecek sendiri terbilang unik karena diikuti oleh semua agama yang ada di sana, mungkin bagi saya ini merupakan fenomena yang tidak biasa karena selama ini saya berasumsi bahwa acara Nyadran itu hanya dilakukan oleh orang Muslim saja, tapi ternyata asumsi saya salah.
Acara Nyadran ini selain dimaknai sebagai bentuk rasa bakti kepada leluhur juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi, kumpul keluarga dan juga srawung. Jadi tidak hanya saat Lebaran, Paskah atau Waisak saja, namun saat nyadran biasanya anak atau saudara yang merantau akan pulang kampung untuk berziarah ke makam dan berkumpul dengan sanak saudara.
Dari sekian banyak acara yang diselenggarakan panitia rupanya ada satu acara yang menarik perhatian saya yaitu saat upacara Nyadran. Upacara Nyadran di dusun Krecek ini sangat berbeda dengan Nyadran di daerah lainya. Keunikannya seperti yang sudah saya jelaskan di atas yaitu, acara Nyadran ini diikuti oleh semua warga dusun Krecek dan sekitarnya baik yang beragama Islam, Kristen, maupun Buddha. Semua membaur menjadi satu di makam untuk mendoakan arwah para leluhur, dan setiap orang yang hadir dengan suka rela membawa makanan yang beraneka macam.
Prosesi upacara Nyadran pun biasanya diawali dengan membaca tahlil yang di pimpin oleh seorang ustadz atau kiai, lalu yang kedua dilanjutkan pembacaan doa oleh pendeta Kristen dan yang ketiga oleh pendeta Buddha. Selepas acara tahlil dan doa selesai, semua peserta zairah yang hadir makan bersama dengan bekal yang dibawa tadi.
Acara ini hampir mirip dengan hari raya Islam karena banyak sekali makanan dan jajanan pasar yang dihidangkan. Para peserta zairah pun dengan ramahnya mempersilahkan siapa saja untuk mengambil makanan atau jajanan yang dibawanya. Setelah acara makan-makan selesai, semua orang pulang ke rumah masing-masing.
Melihat fenomena di atas saya jadi teringat teori fungsionalisme agama dari salah seorang sosiolog agama, yaitu Emile Durkheim. Menurutnya, agama merupakan alat perekat sosial. Agama memiliki potensi sebagai kekuatan integratif bagi masyarakat yang memiliki emosi keagamaan yang sama. Solidaritas sosial menjadi hal yang diutamakan dan menjadi dasar struktur kehidupan yang menggerakkan suatu komunitas atau kelompok. Dalam teori fungsionalisme agama yang digagas Durkheim dapat kita simpulkan bahwa agama dipandang sebagai sumber utama solidaritas social.
Dalam bukunya yang popular yaitu The Elementary Form of The Religious Life, Durkheim mengatakan bahwa agama merupakan kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang berkaitan dengan hal-hal suci dan tidak suci. Durkheim meneliti toteisme suku-suku yang ada di Australia yaitu salah satunya suku Arunta. Durkheim mengemukakan agama pada suku primitif merupakan suatu kekuatan integrasi yang sangat kuat.
Saya akan mencoba mengintegrasikan antara teorinya Emile Durkheim dengan pengalaman saya di atas. Saya melihat ada tiga agama di dusun Krecek yang saling hidup berdampingan satu sama lain dan saling membantu tanpa pamrih. Rasa solidaritas yang kuat kemudian diikat dengan tradisi Nyadran bersama, jadi semua masyarakat dusun Krecek berkumpul menjadi satu di makam dengan tujuan yang sama yaitu untuk mendoakan arwah para leluhur baik yang beragama Islam, Kristen, maupun Buddha.
Daftar Bacaan
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Haryanto, Sindung, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, Yogyakarta: AR-RUZZ-MEDIA, 2016.
DISCLAIMER
|