Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budayanya. Contohnya di daerah Sidoarjo, kabupaten yang terkenal dengan udang dan bandengnya ini memiliki tradisi tak kalah unik, yakni tradisi nyadran yang dilakukan pada bulan ruwat yakni bulan dalam perhitungan Jawa. Biasanya tradisi ini disebut dengan ruwah atau ruwatan yang bentuknya dapat berupa tradisi bersih desa atau hal lainnya. Namun di desa Balongdowo Sidoarjo, ruwatan ini dinamakan dengan tradisi nyadran yang mana nelayan Sidoarjo yang tergabung dalam nelayan “Sumber Rejeki” merupakan peserta di dalam tradisi nyadran ini.
Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur Nelayan Kupang terhadap Allah Yang Maha Esa karena telah banyak memberikan rejeki tangkapan di laut berupa kerang. Rasa syukur itu dilaksanakan dengan sedekah laut atau “nyadran” bersamaan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kegiatan nyadran sendiri biasanya diisi dengan peragaan yang dilakukan oleh Nelayan di dalam mengambil Kupang di wilayah selatan laut Madura. Pada siang hari nelayan di daerah tersebut akan berkumpul dan bersama-sama di dalam mempersiapkan tradisi tersebut., Mereka mempersiapkan pesta acara tersebut dengan raut senang gembira hingga malam hari dan melakukannya dengan gotong royong. Mereka benar-benar tak sabar menyambut hari keberkahan yang tinggal menunggu beberapa jam ini. Tradisi ini dilakukan pada pukul 01.00 WIB dini hari dan warga sekitar Sidoarjo pun tak kalah bersemangatnya. Mereka dengan senang hati datang untuk menyaksikan tradisi nyadran ini.
Di dalam Tradisi nyadran ini, nelayan di desa Balongdowo kecamatan Candi memulai acara dengan melakukan pelayaran yang menempuh jarak sekitar 12 km dengan melewati sungai di desa Balongdowo untuk menuju dusun Kepentingan desa Sawohan kecamatan Buduran. Mereka harus melewati beberapa desa yakni anak desa Balongdowo, desa Klurak kali Pecabean, desa Kedung Peluk dan desa Kepetingan Sowohan.
Di dalam tradisi nyadrannyadran, ada sedikitnya sekitar 40 perahu nelayan yang dikerahkan untuk membawa sesajen dan juga nasi tumpeng untuk dilarung di muara sungai. Selain di muara sungai, sesaji juga diletakkan di tempat yang dianggap memiliki kekuatan mistis.
ada prosesi di mana ketika perahu tersebut berlayar menuju desa Kepetingan Sawohan, Mereka memiliki suatu kepercayaan yang unik yang mana di perahu yang ditumpangi oleh anak balita di wajibkan untuk membuang ayam hidup di saat tiba desa Pecabean. Menapa seperti itu? Dikarenakan dahulu kala saat dilaksanakan tradisi nyadran ini, ada seorang balita yang kesurupan dan diyakini dengan membuang ayam yang masih hidup maka akan menjauhkan mereka dari musibah dan malapetaka saat acara berlangsung.
Pada pukul 04.30 peserta iring-iringan perahu tiba di desa Kepetingan Sawohan. Mereka langsung menuju makam Dewi Sekardadu untuk melakukan prosesi makan bersama, bersedekah, berziarah, dan juga berdoa hingga terbitlah fajar. Menurut cerita rakyat setempat, Dewi Sekardadu sendiri adalah anak dari Raja Blambangan yang bernama Minak Sembuyu, Pada waktu meninggalnya Dwi Sekardadu ini di kelilingi oleh Kepiting sehingga nama desa tersebut menjadi desa Kepetingan. Namun banyak warga yang menyebutnya desa ketingan Sawohan.
Pada pukul 07.00 WIB peserta iring-iringan bergegas menuju selat Madura yang berjarak sekitar 3 km dari desa tersebut.Dan pada pukul 10.00 WIB mereka sampai di selat Madura. Kemudian setelah itu mereka kembali ke Balongdowo, dan selama kembalinya mereka di pinggiran sungai banyak sekali warga yang bersorak gembira atas kehadiran mereka dan melambaikan tangan, ataupun ada warga yang meminta berkat atau makanan kepada mereka yang di anggap sebagai pembawa berkah.
Ada satu proses dari tradisi nyadran yang unik ini yaitu prosesi melarung tumpeng yakni sebuah proses yang dilakukan di muara yang menjadi pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo. Menurut salah satu penduduk Balongdowo, mereka mengatakan bahwa tradisi nyadran ini biasanya dilakukan di bulan Juni. Menurut mereka, tradisi nyadran ini dilakukan dengan melaksanakan pesta dengan iringan tertawa dan senyum bahagia melingkari wajahnya di sekitar jembatan Balongdowo.
Camat Sidoarjo Pujoseno menyambut baik kegiatan tersebut karena mampu menggerakkan perekonomian daerah setempat sebagai ajang wisata“Kegiatan ini mampu menggerakan perekonomian wilayah setempat mulai dari kegiatan itu sendiri sampai para penjual makanan yang ada di sekitar lokasi pelaksanaan sedekah laut,” katanya. Karena memang tradisi nyadran ini dilihat oleh warga sekitar Sidoarjo sehingga menyebabkan banyak sekali pedagang kaki lima ataupun pedagang asongan yang berjualan di sekitar sungai.
Kebudayaan dan tradisi seperti nyadran ini memang harus dilestarikan agar anak cucu kita dapat ikut merasakan dan mengalami pengalaman yang sama. Selain itu tradisi ini juga untuk mengajarkan kita tentang bagaimana perjuangan seorang nelayan Kupang yang harus berangkat melaut dini hari tetapi tetap masih bisa bersyukur kepada Tuhan YME atas segala kemudahan dan juga kelancaran di dalam melaut. Mereka sangat bersyukur atas hasil melaut yang mereka dapatkan tanpa memedulikan kuantitasnya.
Tak hanya sekedar tradisi semata, namun mereka juga mengajarkan berbagi kepada sesama. Hal ini terlihat ketika di akhir prosesi, mereka membagikan bekal makanan, atau yang dikenal dengan istilah Jawa berkatan, kepada warga di sekitar sungai, yang tentunya disambut dengan gembira warga.
DISCLAIMER
|