Salah satu tujuan dari suatu pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan masing-masing pasangan. Danmendapatkan keturunan atau Anak merupakan suatu hadiah kebahagiaan yang dikatakan sebagai pelengkap dari hasil pernikahan.
Orang tua yang memiliki anak pasti sudah sejak dini membayangkan atau bahkan merancang masa depan sang anak. Ibu yang mengandung selama 9 bulan 10 hari pasti sudah membayangkan betapa bahagianya jika sang anak lahir ke dunia.
Beranjak hari sang ibu mulai semakin melihat tumbuh kembang sang anak, dari yang mulai bisa tengkurap, merangkak, berjalan, atau bahkan mulai masuk sekolah sang ibu pasti akan membayangkan atau sedikit sedikit akan mengarahkan masa depan sang anak.
Tak hanya ibu saja yang sangat exciteddengan tumbuh kembang anaknya, saat sang anak semakin bertumbuh kembang kian harinya, Sang ayah akan membayangkan apa saja yang akan di hadapi anaknya jika ia telah tumbuh kembang dan mulai menghadapi dunia.
Di saat anak mulai tumbuh dan berkembang, orang tua pastinya akan menerapkan suatu pola asuh yang tentunya setiap orang tua memiliki caranya sendiri untuk mengasuhdan menjadikan anak seperti apa yang ia bayangkan.
Ada sebagian orang tua yang sudah menentukan masa depan sang anak sejak dini, atau ada juga sebagian orang tua yang akan memberikan kebebasan kepada anak mereka untuk menentukan sendiri masa depannya. Para orang tua akan mulai memikirkan masa depan sang anak, mulai memikirkan menjadi apa anaknya di masa depan, Dan orang tua pasti akan menjaga anaknya dari hal-hal yang berusaha menyakiti sang anak di kemudian hari.
Anak yang beranjak dewasa pastinya akan berbaur kepada lingkungan mereka untuk menjadi individu yang merupakan bagian dari suatu masyarakat.
Namun pernahkan kita menemui anak-anak yang memiliki kekurangan tingkat kepercayaan diri ? Dan pernahkan kita memikirkan penyebab dari kurangnya kepercayaan diri ini.
Kadang kala kepercayaan diri ini sering dikaitkan dengan istilah introvert atau ekstrovert. Namun istilah tersebut tidak dapat dikaitkan begitu saja dengan tingkat kepercayaan diri dari seorang anak. Salah satu yang menyebabkan tinggi rendahnya tingkat kepercayaan diri dari seseorang adalah dari suatu pola asuh orang tua. Dalam kaca mata sosiologi, salah satu faktor terbesar pembentuk kepribadian seorang individu adalah sosialisasi primer yang ia dapatkan sejak kecil di lingkungan keluarga.
Cara orang tua mengasuh sang anak mulai dari kecil hingga ia tumbuh berkembang cenderung akan mempengaruhi watak, kepribadian dan cara mereka membawa dirinya terhadap dunia luar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya semua orang tua pasti tidak ingin anaknya terluka atau tersakiti, Namun keinginan orang tua yang sama pasti akan mendapatkan cara pengaplikasian yang berbeda.
Ada orang tua yang membebaskan anaknya tapi tetap memberikan batasan-batasan toleransi yang tidak boleh dilanggar sang anak, Namun ada juga orang tua yang cenderung memprotect anaknya dibawah lindungannya dengan harapan agar sang anak tetap berada di garis yang lurus yang mana masih dalam jangkauan orang tua.
Semua orang tua akan meengasuh anaknya dengan baik, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan sang anak. Namun sadarkah, kadang kala pola asuh yang cenderung overprotektif akan menjadikan sang anak menjadi kurang percaya diri.
Mengapa pola asuh overprotektif dapat menyebabkan anak menjadi kurang percaya diri?. Hal ini disebabkan dengan selalu adanya bayang-bayang orang tua dibelakang sang anak, Maka sang anak cenderung tidak dapat mengeksplor dirinya sendiri, Mereka cenderung akan selalu berlari kearah orang tua.
Sikap dan tindakan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh proses belajar sosialnya di waktu kecil. Proses ini oleh Peter L. Berger disebut sebagai internalisasi. Sejak kecil anak yang terbiasa dengan bantuan tangan dari orang tua, terbiasa mendapatkan penjagaan yang begitu ketat dari orang tuanya atau yang dapat kita sebut dengan adanya pola asuh overprtectif, Maka disaat ada suatu masalah sang anak akan merasa tidak percaya diri dalam menghadapi masalah sendiri, ia cenderung akan melibatkan dan meminta tolong kepada orang tuanya.
Atau dalam hal bersosialisasi, sang anak yang diprotectdengan sangat erat oleh orang tua nya cenderung akan merasa tidak percaya diri dalam bersosialisasi atau berbaur dengan lingkungan barunya, bersuara di depan umum, atau bahkan mengacungkan tangan untuk berpendapat.
Anak yang dibatasi dalam hal pengeksplorasian diri dan lebih sedikit untuk bertemu dengan orang lain ini cenderung akan menimbulkan pribadi yang kurang percaya diri dalam menghadapi dunia luar. Ia ingin bersuara namun cenderung takut salah langkah.
Hal ini juga dikaitkan dengan pola asuh yang terlalu menjaga.Orang tua yang cenderung memprotect anaknya di dalam lingkup pribadi ataupun universal sang anak akan membuat sang anak tanpa sadar bergantung kepada orang tua. Hal ini nantinya yang akan menyulitkan sang anak di dalam kehidupan sosialnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya, pola asuh yang terlalu over protektif akan membuat sang anak cenderung menjadi pribadi yang kurang percaya diri, ia akan tumbuh menjadi anak yang takut akan langkah yang diambil, ragu-ragu dalam hal mengambil sebuah keputusan.
Orang tua yang melakukan pola asuh over protektif ini sebenarnya memiliki niat yang sangat baik. Ia tidak ingin anaknya terjerumus ke hal yang salah.Ia ingin anaknya tetap berada di bawah kendalinya.
Namun tanpa sadar orang tua ikut ambil bagian untuk menjalankan kehidupan sang anak, orang tua ikut menyelesaikan masalah sang anak, melarang dan membolehkan anak melakukan suatu hal yang menurut orang tua baik. Hal ini nantinya akan menumbuhkan sang anak menjad pribadi yang ragu-ragu dalam mengambil langkah, ataupun menjadi pribadi yang kurang percaya diri saat bersosialisasi dengan lingkungan luarnya.
Jika pola asuh over protektif orang tua diterapkan dari sejak kecil kepada anak maka akan ditakutkan bahwasaanya jika sang anak tumbuh kembang dia akan kesusahan dalam hal bergaul dengan lingkungan barunya
DISCLAIMER
|