“Perubahan dalam kehidupan adalah hal yang pasti”, begitu kiranya kita menyikapi kemajuan teknologi informasi yang menjadi salah satu aspek dari adanya globalisasi. Sama halnya jika dikaitkan dengan mewabahnya virus Corona, virus yang penyebarannya sangat cepat dan setiap orang memiliki potensi penularan yang sama, kiranya perlu ada perubahan di berbagai aspek.
Virus Corona bukan hanya merenggut nyawa, tetapi mengubah tata cara interaksi manusia dengan sesama, dan interaksi manusia dengan Tuhan. Realita agama dengan beberapa aspeknya yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa termasuk respon dari pengaruh pandemi global Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Agama-agama dalam menghadapi perubahan yang nyata, harus mengubah strategi dan metode yang lebih baru. Dalam hal ini, tenaga medis menyarankan untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan dalam beribadah, seperti memakai masker, tidak berjabat tangan, mencuci tangan setelah melakukan aktivitas di luar, juga menerapkan etika batuk dan bersin. Begitu pun dengan pemerintah, himbauan untuk tetap #dirumahaja, melaksanakan ibadah di rumah bagi daerah zona merah, ataupun tetap melakukan ritual keagamaan di tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan, dan pentingnya physical distancing guna memutus rantai penyebaran Covid-19.
Agama mengemas beragam bentuk keberagamaan baru yang memberikan ruang dan jawaban atas perubahan ritual keagamaan seperti yang digembar-gemborkan oleh pemerintah. Relasi agama dengan negara harus saling mendukung. Kelembagaan agama dapat memenuhi konsep keberagamaan yang dibutuhkan penganutnya apabila agama tersebut dapat mengikuti perkembangan. Negara sendiri membutuhkan agama untuk menjaga kesatuan nasionalnya. Oleh karena itu, elit agama harus melakukan reformasi “pemahaman” keagamaannya dan disesuaikan dengan realitas dunia.
Dalam hal ini dicontohkan, apabila lembaga keagamaan A tidak mendukung program pemerintah, maka yang terjadi adalah para pengikut lembaga tersebut juga merasa ogah-ogahan untuk mengikuti program pemerintah. Di sinilah peran agama sebagai penentu struktur sosial, kesadaran, dan loyalitas kelompok.
Tokoh Sosiolog berkebangsaan Perancis, Emile Durkheim mengatakan, “agama adalah pembentuk solidaritas masyarakat. Kesetiakawanan yang menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama” (Jones, 2009).
Selain itu, agama juga memiliki korelasi positif dengan tindakan sosial individu dalam masyarakat. Karena agama menjadi world view dan etos tindakan manusia tentang dunianya. Tindakan individu banyak dipengaruhi oleh agama (Weber, 1905). Demikian juga untuk melihat tindakan seseorang, bisa dilihat dari doktrin dan ide-ide keagamaan. Ini menjadi poin penting yang perlu diperhatikan oleh para elit agama, agar tidak hanya berkutik pada “teks”, tetapi juga harus dilibatkan dengan “konteks”.
Agama dijadikan sandaran untuk mengatasi kepanikan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sudah saatnya menggerakkan agama untuk mengarahkan masyarakat dengan cara menghimbau penganutnya masing-masing agar taat pada tenaga medis dan juga pemerintah.
Majelis Ulama Indonesia, mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 yang membahas tata cara beribadah dan anjuran moral seperti: menjaga jarak sosial, mengurus mayat korban Corona, menghindari sholat Jum’at di Masjid, larangan penimbunan barang saat darurat, dan ajakan tetap taat kepada seruan pemerintah.
Begitu pun dengan organisasi masyarakat muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga berupaya untuk memutus rantai penularan Covid-19. Hal serupa juga dilakukan oleh Paus Fransiskus, petinggi agama Katholik, yang menghimbau untuk beribadah di rumah masing-masing tanpa harus ke gereja. Seruan yang sama juga datang dari pemuka agama Kristen, Hindu dan Buddha.
Pusat penyebaran Virus Corona terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta. Tetapi tidak menutup kemungkinan menyebar ke wilayah desa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya mudik untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan juga Jawa Barat, termasuk Cirebon.
Cirebon sudah diklaim sebagai zona merah penyebaran Covid-19 dan beberapa upaya pencegahan dilakukan. Pada Grand Design Penerapan PSBB Wilayah Kabupaten Cirebon, dilakukan pembatasan pada kendaraan pribadi dan beberapa hal yang dilarang pada saat PSBB, tetapi tidak membatasi pasar untuk tetap beroperasi, salah satunya Pasar Induk Sandang Tegalgubug, yang merupakan pasar terbesar.
Di pasar ini, transaksi jual-beli tetap berlangsung. Penyemprotan desinfektan yang dilakukan oleh petugas kepada pedagang maupun pengunjung pasar yang datang, dilakukan di beberapa titik pasar. Tidak hanya itu, ada sejumlah masker yang disiapkan khusus untuk pedagang ataupun pengunjung yang tidak menggunakan masker. Para pedagang juga berinisiatif untuk menyediakan tempat cuci tangan di depan dagangannya.
Tidak hanya eksis di pasar, ribuan masyarakat Tegalgubug juga mengadakan doa bersama dan tolak bala dalam rangka mencegah Covid-19 pada saat virus tersebut baru naik ke permukaan. Tradisi Baritan merupakan tradisi doa bersama keliling desa dengan membawa obor dan melantunkan sholawat thoun. Menurut masyarakat Tegalgubug, baritan merupakan tradisi sejak zaman nenek moyang, dan diadakan ketika ada wabah atau penyakit mengerikan. Tradisi ini juga mendapat banyak dukungan dari ulama dan tokoh masyarakat setempat.
Momen itu terekam dan terunggah ke media sosial, salah satunya Facebook. Alhasil, tradisi tersebut menjadi perbincangan hangat warga dumay. Berbagai komentar dilayangkan, “Orang disuruh di rumah aja, ini malah ngadain doa bersama yang mengundang banyak masa”, begitu kiranya komentar pedas yang diterima. Memang himbauan untuk menghindari kerumunan sudah diumumkan pemerintah, tetapi mereka berdalih bahwa ini merupakan tradisi agama yang biasa dilakukan. Tradisi merupakan sebuah budaya, dan sebuah kebudayaan mempunyai sifat nisbi, tidak bisa diukur dengan cara pandang kebudayaan lain. Dari sini terlihat jelas agama memegang peranan penting terhadap tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
Saat ini di desa Tegalgubug sudah menerapkan physical distancing saat melakukan ibadah sholat Jumat. Para pemuka agama setempat sepakat untuk mengarahkan jemaahnya. Suara himbauan yang dilakukan biasanya terdengar dari toa masjid saat akan dilaksanakan sebuah peribadatan. Ibadah dengan menggunakan masker juga menjadi salah satu perhatian khusus. Penyemprotan desinfektan bagi pendatang kerap dilakukan di Masjid Besar Desa, juga pendataan pendatang oleh ketua RT masing-masing. Pemuka agama dan perangkat desa serta masyarakat saling bekerja-sama. Solidaritas masyarakat terbangun. Ritual agama dimodifikasi sedemikian rupa untuk memberikan keamanan bagi sesama.
DAFTAR PUSTAKA
Jati, Wasisto Rahatjo. Agama dan Spirit Ekonomi: Studi Etos Kerja dalam Komparasi Perbandingan Agama. Jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol. 35 No 02: 2018.
Jones, Pip. 2016. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Al-Makin. 2020. Adaptasi Agama di Era Corona. Kolom Tempo: https://kolom.tempo.co/read/1335894/adaptasi-agama-di-era-corona, diakses pada Jumat, 08 Mei 2020.
DISCLAIMER
|