Interaksionisme simbolik adalah suatu pendekatan yang dibangun atas dasar formasi sosial dari simbol-simbol, makna-makna umum atau makna yang dipahami bersama, dan penggunaannya dalam komunikasi, baik di dalam diri maupun di dalam orientasi self terhadap orang lain dalam berbagai interaksi di antara pelaku-pelaku sosial (Turner 2012, 338).
Setiap tindakan, ucapan, dan sebagainya itu adalah simbol, jadi hampir seluruh kehidupan itu memiliki simbol. Pendapat antropolog mengenai teori simbol di antaranya Erwin Goodenough, bahwa barang dan pola itu sebagai simbol, bisa memiliki makna yang lebih dari makna sebenarnya. Misalnya bendera yang hanya berupa kain bisa memiliki makna yang lebih luas dari sekedar bendera. Dan antropolog lain yaitu John A. Saliba, bahwa simbol adalah sarana untuk menyampaikan pemikiran kita pada orang lain dengan bahasa, ucapan, dll.
Rumusan yang paling ekonomis dari asumsi-asumsi interaksionisme datang dari karya Helbert Blumer bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial masyarakat manusia, makna-makna dimodifikasi dan ditangani melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya(Crab 1992, 112).
Hal-hal ini secara tidak sengaja berhubungan dengan ketiga bagian dari Mind, Self, and Society dari Mead. Para penganut interkasionisme simbolik mengikuti tradisi Herbert Mead (1863-1931). Mead mengemukakan bahwa manusia mengembangkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain melalui simbol yang dimiliki bersama. Melalui simbol mereka memberikan makna pada aktivitas mereka. Mereka menjelaskan dan menafsirkan perilaku (Kamanto 2004, 58).
Bagi para teoritisi interaksionisme simbolik, teori struktural fungsional tidak mampu memecahkan persoalan klasik, yakni bagaimana memahami pikiran orang lain. Salah satu tokoh utama Teori ini adalah George Herbert Mead yang tertarik melakukan studi tentang kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman sosial. Mead ingin memahami bagaimana kapasitas komunikasi melalui simbol-simbol berkembang di antara orang, serta bagaimana hal itu mematangkan kepribadian. Tujuan lain dari Mead adalah mempertahankan dua poin filsafat Cartesian, yakni pikiran merupakan sesuatu yang natural, oleh karenanya secara esensial merupakan fenomena biologis sekaligus sosiologis (Haryanto 2012, 69).
Simbol pada umunya dan bahasa pada khususnya mempunyai fungsi khusus bagi actor. Simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial dengan memungkinkan mareka untuk mengatakan, menggolongkan dan mengingat objek yang mereka jumpai. Dengan cara ini manusia mampu menata kehidupan agar tak membingunkan. Bahasa memungkinkan orang mengatakan, menggolongkan, dan terutama mengingat secara lebih efisisen ketimbang yang dapat mereka lakukan dengan menggunakan jenis simbol lain seperti kesan bergambar.Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Simbol meningkatkan kemampuan untuk berfikir. Dalam artian dapat dibayangkan sebagai berinterasi secara simbolik dengan diri sendiri.Simbol meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Yakni mengurangi peluang berbuat kesalahan yang merugikan(Ritzer dan Goodman 2004, 292–93).
Jika ditelusuri secara lebih mendalam, teori interaksionisme simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yaitu perspektif fenomenologis dan masuk dalam kategori paradigma definisi sosial yang menganggap subject matter adalah sosial yang penuh arti (makna), yakni tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain.
Dalam proses memahami dan menafsirkan tersebut, aktor menggunakan simbol-simbol sebagai medium dalam konteks ini biasa disebut sebagai bahasa untuk memunculkan makna melalui interaksi sosial. proses memahami simbol tersebut merupakan bagian atau memang menafsirkan. Simbol merupakan sesuatu yang digunakan dalam berkomunikasi untuk menyampaikan pesan yang dimaksud seseorang. Dalam bahasa Max Weber berusaha untuk menafsirkan dan memahami simbol-simbol agar orang bisa saling menyesuaikan tindakan mereka. Namun simbol dalam bentuk bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam proses komunikasi (menyampaikan perasaan atau pikiran). Jika demikian, manusia sebagai actor utama dalam interaksionisme simbolik dalam hala memahami atau berinteraksi dalam relaitas sosial membutuhkan simbol sebagai mediumnya (Umiarso dan Elbadiansyah 2014, 60–63).
Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang bertindak menurut cara-cara yang khas dilakukan manusia. Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Pokok perhatian dari interaksionisme simbolik mengacu pada dampak makna dan simbol terhadap tindakan dan interaksi manusia. Mead memberikan gagasan mengenai perilaku tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup adalah proses berpikir yang melibatkan makna dan simbol. Sedangkan perilaku terbuka adalah perilaku aktual yang dilakukan aktor (Anwar dan Adang 2013, 385–86).
Dalam memahami hadis Nabi SAW. secara objektif, maka usaha untuk menghadirkan kembali konteks ketika sebuah hadis tersebut lahir adalah sangat penting. Hal tersebut terutama karena dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan, agar lebih mendekatkan kepada kebenaran gagasan yang disajikan dalam teks tersebut. Tanpa memahami motif di balik penulisan sebuah buku, atau karya, suasana politico-psikologis dan sasaran pembaca yang dibayangkan oleh pengarangnya, maka sangat mungkin terjadi salah paham ketika kita membaca sebuah karya tulis (Yuslem 2010, 3).
Antropolog klasik memahami gejala kehidupan beragama sebagai kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai (1) Ekspresi Simbolis dari kehidupan manusia dengannya manusia menafsirkan dirinya dan universe di sekelilingnya, (2) yang memberikan motif bagi perbuatan manusia, (3) sekumpulan tindakan yang berhubungan satu sama lain yang punya nilai-nilai yang melangsungkan kehidupan manusia (Bustanuddin 2005, 15).
Simbol itu cara khusus untuk mengenal hal-hal yang religious. Simbol itu membawa kepada pemahaman yang lebih mendalam, misalnya shalat atau pun upacara keagamaan lain yang dianggap sakral dan memiliki makna yang sangat luas padahal apabila kita perhatikan sebenarnya itu hanya sebuah gerakan biasa. Maka teori simbol ini memiliki peran besar dalam memahami suatu struktur dalam masyarakat.
Referensi
Anwar, Yesmil, dan Adang. 2013. Sosiologi Untuk Unversitas. Bandung: Refika Aditama.
Bustanuddin, Agus. 2005. Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pegantar Antropologi Agama. Jakarta: PT. Raja.
Crab, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta Utara: Rajawali.
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial : Dari Klasik Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kamanto, Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. 6 ed. Jakarta: Fajar Interpratama.
Turner, Bryan. 2012. Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Umiarso, dan Elbadiansyah. 2014. Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik Hingga Modern. Jakarta: Rajawali Pers.
Yuslem, Nawir. 2010. “Kontekstualisasi Pemahaman Hadis.” Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 1, XXXIV.
DISCLAIMER
|