Manusia memiliki ide, kepercayaan, fikiran, perasaan, kesadaran nilai-nilai, orientasi yang tidak semua itu bisa diungkapkan secara langsung, tidak bisa langsung ditransfer karena itu manusia butuh yang namanya “sarana” referensi. “Sarana” referensi tersebut biasa disebut dengan simbol. Begitupun halnya dalam beragama, ketika manusia beragama pasti dia mengakui adanya sesuatu yang supernatural (sakral) yang itu hanya dapat ia rasakan ketika adanya sesuatu yang menginterpretasikannya sebagai jembatan. Maka di situlah peran simbol dalam agama.
Simbol dan Fungsinya
Secara etimologi, kata “simbol” berasal dari kata Yunani “sumballeo, sumballein, atau sumballesthai ” yang berarti berunding, berdebat, merenungkan, bertemu, membantu, melemparkan menjadi satu, menyusun atau menetapkan, menjelaskan, menafsir. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Sedangkan secara umum, dalam buku ‘Homo Religiousus’ in Mercia Eliade karya John A. Saliba dijelaskan bahwa simbol adalah sarana atau pembawa buah pikiran atau makna. Simbol mengandung suatu pengertian yang tidak mengandung informasi langsung. John A. Saliba menambahkan pula bahwa simbol tidak memberi arti langsung kepada benda, objek, atau referensi tetapi terhadap ideal-ideal, nilai-nilai dan paham-paham abstrak. Simbolisme adalah suatu bentuk komunikasi yang ekspresif, mengandung suatu pesan atau informasi yang tidak dapat dikatakan secara langsung (Weismann, 2004: 55).
Adapun fungsi simbol yaitu memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan sosial dengan memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang mereka temukan di mana saja, dalam hal ini bahasa sangat berperan penting, simbol juga menyempurnakan kemampuan manusia untuk berpikir, serta membayangkan kenyataan-kenyataan metafisis seperti surga dan neraka (Raho, 2007: 110). Fungsi simbol menurut J.A Hostetler adalah sebagai bahasa, saluran (channel) untuk segala kepercayaan dan sikap, saluran bagi emosi manusia, dan untuk mendapatkan pengaruh yang diinginkan. Sebagai contoh: pakaian jilbab, adalah mekanisme yang efektif untuk mempertahankan kesadaran kelompok dan mengintegrasikan nilai-nilai kelompok masyarakat atau khususnya kaum wanita Muslim. Fungsi simbol dalam hal ini cenderung memperkuat budaya dan memelihara identitas. Sedangkan menurut Victor W. Turner fungsi simbol tidak dalam alam sadar melainkan di bawah alam sadar, namun tidak berarti simbol tidak masuk akal atau tanpa logika. (Weismann, 2004: 55-56).
Konsep Teori Simbol
Mircea Eliade adalah seorang filsuf sekaligus pakar sejarah agama-agama dan fenomenologi agama dari Bucharest, Rumania. Pengetahuannya tentang manifestasi-manifestasi keagamaan di mana pun di dunia ini dan kapan pun dalam masa sejarah memang mengagumkan. Ia mampu menghasilkan contoh-contoh terperinci tentang cara manusia menunjukkan, dengan pola-pola kegiatan mereka, kesadaran akan yang kudus sebagaimana dinyatakan dewa langit, matahari dan bulan, air dan karang, lewat waktu-waktu khusus serta lewat orang-orang yang dikuduskan. Kegiatan-kegiatan ini telah diberi bentuk tersusun dalam pola-pola ritual dan diiringi dengan mite-mite yang diungkapkan dalam bentuk cerita atau nyanyian (Dillistone, 2002: 142).
Eliade mengakui bahwa semua kegiatan manusia melibatkan simbolisme, bahkan simbol adalah cara khusus untuk mengenal hal-hal religius. Oleh karena manusia adalah makhluk fana dan penuh keterbatasan oleh hal duniawi, maka manusia tidak dapat memiliki akses ke hal yang sakral, dan yang transenden. Pengetahuan manusia atas yang sakral bukan sepenuhnya hasil dari usaha manusia itu sendiri, atau produk dari akal rasionalitasnya. Manusia mengetahui hal yang sakral oleh karena yang sakral itu menyatakan dirinya kepada manusia melalui wahyu hierophany (pernyataan diri yang kudus), atau kratophany (pernyataan diri yang maha kuasa). Cara inilah yang disebut dengan simbol agar yang sakral itu dapat menyatakan dirinya kepada manusia, dan dengan simbol itu manusia dapat mencapai pengetahuan yang sakral dan transenden (Weissmann, 2004: 57).
Bahan utama untuk simbol-simbol dan mitos-mitos adalah alam fisik ini (Kusumawati, 2013: 151) yang beragam macamnya, seperti sebuah benda, seekor sapi, nyala api, batu, binatang, pohon, laut, hujan, gua, sungai, dan manusia. Sebab dalam segala keindahan dan keganasan alam, misteri dan kompleksitas yang ada di dalamnya selalu membuka kehadiran yang supernatural menjadi dekat dengan kehidupan alamiah manusia, hal inilah yang disebut oleh Eliade dengan “modalitas yang sakral” (Pals, 1996: 170).
Eliade juga menyatakan bahwa simbol adalah cara ekspresi yang lebih berkualitas dibandingkan perkataan manusia. Simbol mampu menampung informasi yang sulit bahkan yang tidak mungkin diekspresikan. Simbol adalah tanda-tanda realitas transenden, memberikan pandangan yang jelas mengenai keberadaan yang sakral itu. Simbol memiliki keunikan karena memberikan pemahaman yang jelas mengenai yang sakral dan realitas kosmologis yang tidak ada manifestasi lain mampu menyatakannya (Weissmann, 2004: 58).
Dalam bukunya Pattern in Comparative Religion, Eliade menyebut contoh ka’bah. Walaupun di satu sisi ka’bah hanyalah seonggok batu, namun umat muslim tak akan beranggapan sesederhana itu. Ka’bah disucikan dan di agungkan dalam Islam. Semua bermula dari hierophany. Ka’bah ketika disentuh oleh yang sakral maka objek yang profan ini akan berubah. Ka’bah bukan hanya sekedar batu biasa, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, dan di dalamnya terkandung yang sakral (Kusumawati, 2013: 151). Eliade menyebut pemasukan yang supernatural (sakral) ke objek-objek yang natural (profan) ini dengan “dialektika yang sakral” (Pals, 1996: 170).
Eliade berpendapat bahwa di mana pun lokasi yang kita pilih atau di mana pun sejarah yang kita lihat, beberapa simbol, mitos, dan ritual yang umum akan terus muncul (Pals, 1996: 169) karena menurutnya, manusia sepanjang waktu secara continue selalu berusaha menyatakan persepsi mereka tentang yang sakral dalam bentuknya yang paling orisinil, membuat mitos-mitos baru, menemukan simbol-simbol yang lebih segar dan kemudian memasuki mereka ke dalam sistem yang lebih luas dan beraneka ragam (Pals, 1996: 178).
Relevansi Terhadap Studi Hadis
Lalu apa relevansi konsep teori simbol ini bagi studi hadis? Ada beberapa poin yang dapat penulis kaitkan tentang Teori Simbol ini terhadap relevansi studi hadis. Yaitu, bahwa hadis itu kedudukannya bukanlah hanya sekedar teks, tapi ia memiliki makna religius supranatural yang langsung terkait dengan pribadi agung Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Nabi. Di samping itu, jika kita melihat dan mencermati bahasa dalam hadis, itu adalah ide, gagasan, kesadaran, kesepakatan pada waktu itu sehingga ia merupakan simbol ekspresi masyarakat dan menyimpan makna dalam ruang kebudayaannya.
Selanjutnya jika kita cermati hadis, maka pilihan kata dalam hadis adalah pembawa buah pikiran atau makna dari kesadaran Nabi sehingga nantinya akan ditemukan makna terdalamnya dan maksud konkret dari kesadaran Nabi dan masyarakatnya kala itu yang berada dalam ruang hadis saat hadis itu muncul, maka di sinilah peran selanjutnya dari asbab al-wurud.
Lalu jika dipandang dari segi fungsi hadis terhadap al-Qur’an (bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, dsb.), merupakan bukti bahwa hadis merupakan teks yang menjadi simbol berupa penjelas terhadap al-Qur’an yang di dalamnya bermuatan perkara-perkara transenden berupa kalam sang Ilahi.
Dan tak kalah menariknya jika kemudian kita kaitkan dengan studi hadis di era dewasa ini, simbolisme tertentu dalam masyarakat yang hidup sekarang sebagaimana yang kita lihat, ekspresi dan bentuknya berbeda-beda, dalam ruang makna dan kesadarannya yang melampaui tindakan mereka, ternyata bisa saja mengandung makna hadis dan nilai-nilai yang ada dalam hadis.
Referensi
Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol. Edisi ke 5. Diterjemahkan oleh: A. Widyamartaya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Kusumawati, Aning Ayu. 2013. Nyadran Sebagai Realitas yang Sakral: Perspektif Mircea Eliade. Jurnal Thaqafiyyat. 14. (1). 145-160.
Pals, Daniel L. 1996. Seven Theories of Religion. Oxford University Press. New York.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Prestasi Pusaka. Jakarta.
Weismann, Ivan Th. 2004. Simbolisme menurut Mircea Eliade. Jurnal Jaffray. 2. (1). 55-60.
DISCLAIMER
|