Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang padat, di mana mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Dengan adanya wilayah yang cukup luas, agama dan organisasi baik itu organisasi pemerintahan maupun organisasi keagamaan yang ada pun sangat beragam. Namun, jika difokuskan pada agama yang menjadi mayoritas yaitu agama Islam, maka didapatkan bahwa di Indonesia sendiri terbentuk dua organisasi Islam terbesar yang berkembang dan sangat berperan aktif dalam masyarakat, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang hingga saat ini masih eksis dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Kedua organisasi tersebut didirikan oleh tokoh yang berbeda dan masa yang berbeda pula. Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 31 Januari 1926. Sedangkan Muhammadiyah didirikan oleh tokoh bernama KH. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Meskipun keduanya berdiri di masa yang berbeda, namun sampai saat ini kedua organisasi tersebut tetap menjadi “tempat bernaung” bagi orang-orang yang ingin terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan juga bagi mereka yang ingin memperdalam Islam (Shodiq Raharjo,2007). Kedua organisasi tersebut merupakan organisasi tertua dan terbesar yang ada di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, kiprah kedua organisasi Islam tersebut dalam pengembangan pendidikan juga dalam bidang lainnya seperti sosial dan dakwah Islam makin besar. Keberadaan organisasi tersebut sangat berpengaruh dalam memberikan kontribusi positif pada kemajuan bangsa Indonesia. Kedua organisasi sama-sama berkembang dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Memiliki posisi sendiri dalam lingkungan sosial. Namun, selama perjalanan perjuangan NU dan Muhammadiyah dalam menyongsong Islam, tidak hanya manis yang didapatkan, tetapi juga banyak diwarnai dengan kooperasi, kompetisi, bahkan konfrontasi.
Keberadaan dari organisasi NU dan Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat menjadi organisasi yang sangat penting yang berperan dalam hal membangun sosial masyarakat. Kedua organisasi tersebut memiliki arah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan prinsip dan pendekatan yang berbeda atau distingsi, perbedaan tersebut terjadi karena adanya doktrin-doktrin mengenai paham atas masing-masing ajaran. Namun, adanya perbedaan dalam pendekatan tidak menghapus tujuan utama dari kedua organisasi yaitu menciptakan manusia yang berpedoman pada Islam yang sesuai syariat dalam berkehidupan.
Tetapi disadari atau tidak, belakangan ini muncul kasus-kasus antara kedua organisasi tersebut, di mana kasus itu muncul akibat perbedaan prinsip, ajaran, budaya dan pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing organisasi. Sehingga menjadikan adanya jarak antara NU dan Muhammadiyah yang mencolok dalam pendekatan terhadap masyarakat. Adanya disparasi doctrinal antara kedua organisasi tersebut akan sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu individu.
Karena adanya perbedaan sudut pandang dan metode ijtihad yang dikembangkan oleh masing-masing organisasi, maka dampak yang ditimbulkan juga sangat terlihat, seperti pada adat dan kebiasaan beribadah, penentuan bulan Ramadhan dan lain sebagainya. Beberapa analisa menyebutkan bahwa kedua organisasi tersebut memandang satu sama lain bukan sebagai komplementari, yang masing-masing terbentuk untuk saling melengkapi, tetapi sebagai suatu persaingan yang kuat untuk mendapatkan lapangan dalam masyarakat sosial yang lebih luas penyebarannya (Najib Burhani 2016, Carnegie 2013).
Manusia semasa hidupnya di dunia tidak akan terlepas dengan adanya suatu konflik kehidupan. Baik konflik antar individu atau juga antar kelompok. Konflik sosial dapat muncul jika ada ketidakserasian antara satu orang dengan orang lain, baik dalam pemikiran, pemahaman maupun tindakan. Apalagi jika membicarakan mengenai satu organisasi dengan organisasi lainnya. Tentu akan terdapat konflik juga di dalamnya. Masing-masing organisasi bersaing untuk mendapatkan tempat dalam suatu masyarakat. Tidak jarang antar organisasi saling menjatuhkan dalam perdebatannya. Dan lebih parahnya jika ada salah seorang individu yang menjadi provokator antar ormas dan menjadikan perpecahan yang semakin besar.
Begitu pun halnya dengan ormas NU dan Muhammadiyah. Keduanya saling berusaha supaya dapat menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Tidak jarang pula perdebatan terjadi akibat adanya perbedaan sudut pandang dan tradisi dari kedua organisasi Islam tersebut. Tidak hanya itu, keduanya saling sikut di beberapa kementerian (terutama institusi-institusi di bawah kementerian agama) saling kritik dan kecam. Yang tidak disangka bahwa kedua organisasi tersebut kini banyak dimasuki oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang suka memperkeruh suasana ketika keduanya sedang mengalami perdebatan. Adanya orang-orang seperti itu yang pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak berujung.
Hal yang diperdebatkan dari kedua organisasi Muslim tersebut sebenarnya bukanlah mengenai ajaran-ajaran Islam yang asasi (fundamental), dasar-dasar dalam agama seperti aqidah, akhlak, dan syari’a. Melainkan permasalahan furu’iyah (cabang-cabang) dan terkadang pula masalah budaya dan kebiasaan (Zainal Abidin:2015). Perdebatan yang sangat menonjol dari kedua ormas tersebut adalah mengenai khilafiyah, yaitu perbedaan sudut pandang, kebudayaan, berpikir mengenai faham yang berkaitan dengan masalah bid’ah.
Perdebatan tersebut diperkuat dengan adanya sikap fanatisme terhadap suatu kelompok, provokasi dari suatu pihak, dan adanya prasangka terhadap kelompok lain yang mendukung timbulnya suatu konflik keorganisasian. Seperti contoh kasus dari analisa lapangan yang penulis lakukan dan biasa terjadi di masyarakat adalah, ketika dalam suatu keluarga di mana anggotanya terdiri atas orang NU dan Muhammadiyah ada salah seorang anggota keluarga NU yang meninggal dunia dan akan melakukan pengajian orang meninggal (tahlil), terjadi perdebatan dengan orang Muhammadiyah, karena dalam prinsip ajaran Muhammadiyah tidak ada istilah pengajian yang dilakukan untuk orang meninggal dan Muhammadiyah tidak meyakini adanya tahlil dan beranggapan bahwa tahlil adalah bid’ah karena tidak ada dalam ajaran Rosulullah.
Adapun perdebatan lain yaitu ketika penentuan Hari Raya ‘Idul Fitri. Muhammadiyah membuat ketetapan bahwa pada saat bulan Ramadhan mereka melaksanakan puasa lebih awal dan lebaran lebih awal daripada NU. Hal tersebut dikarenakan kedua ormas tersebut memiliki perbedaan pendekatan dalam penentuan tanggal. NU menggunakan metode rukyatul hilal (aktivitas pengamatan visibilitas bulan sabit yang dilakukan oleh manusia saat matahari terbenam menjelang awal bulan kalender Hijriah guna penentuan awal puasa dan Hari Raya), sedangkan Muhammadiyah menggunakan pendekatan hisab rukyah (perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak atau konjungsi) (Izzuddin:2012). Seperti itu contoh kecil dari permasalahan di antara dua organisasi tersebut yang biasa terjadi di masyarakat bahkan lingkungan keluarga.
Selain permasalahan yang sudah disebutkan, tidak jarang juga terjadi permasalahan mengenai perbedaan cara beribadah, yang juga sering diperdebatkan oleh masyarakat dari kedua ormas. Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi karena adanya kefanatikan dari masing-masing anggota ormas. Jika dari kedua ormas tersebut bisa netral dan tidak memiliki sifat fanatik terhadap ormasnya masing-masing, problematika tersebut bisa dinimalisir.
Masyarakat yang sudah terjerumus ke dalam sikap fanatik terkadang menjadi tidak bisa realistis dalam menerima ajaran dan berkehidupan, di mana disadari kehidupan di dunia berlangsung secara berdampingan dengan apapun dan siapapun. Anggota atau masyarakat yang fanatik terhadap organisasinya, akan beranggapan bahwa orang lain yang tidak sealiran dan sepemikiran dengannya adalah orang yang harus di debat dan beranggapan bahwa ajaran dalam organisasinya merupakan ajaran yang paling benar dalam agama yang dianut.
Hal tersebut merupakan inti dari segala konflik sosial yang terjadi. Konflik atau persaingan yang terjadi merupakan persaingan kelompok, di mana jika ada individu yang terlibat, maka keterlibaan tersebut merupakan representasi dari solidaritas terhadap kelompok sosialnya.
Namun dari berbagai konflik yang terjadi di masyarakat dari kedua ormas tersebut, tidak selamanya konflik akan berlangsung. Ada saatnya di mana keduanya dapat berkembang secara beriringan. Dengan menerapkan sikap toleransi untuk perbedaan cara pandang dan kebiasaan dalam berkehidupan. Karena sikap toleransi merupakan satu kesatuan penting yang tidak boleh dihilangkan dalam berkehidupan. Saling menghormati, menghargai dan juga menjaga sebagai sesama umat Islam.
Menghilangkan sifat fanatik yang terlalu berlebihan terhadap organisasinya juga bisa menjadi cara untuk menciptakan kehidupan yang damai antar organisasi kemasyarakatan. Juga mengingat kembali bahwa yang menjadi dasar dari keduanya adalah satu, yaitu Agama Islam. Dengan demikian, segala hal yang berhubungan dengan NU dan Muhammadiyah dalam sosial masyarakat tidak akan ada perdebatan yang menimbulkan perpecahan dalam lingkungan masyarakat.
Daftar Rujukan
Burhani, Najib Ahmad. Benturan Antara NU Dan Muhammadiyah. Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Kemanusiaan. 2016.
Raharjo, Shodiq. Konflik Antara Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah (1960-2002). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 2007.
Azhari, Susiknan. Karakter Hubungan Muhammadiyah Dan NU Dalam Menggunakan Hisab Dan Rukyat. Fakultas Syari’an. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 2006.
DISCLAIMER
|