Teori thaba’i al-umran pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Khaldun. Siapa yang tak mengenal sosok Ibnu Khaldun? Ibnu Khaldun bukan hanya seorang filsuf, melainkan juga sosiolog, politikus dan ahli sejarah. Orang-orang beranggapan bahwa Ibnu Khaldun merupakan perintis ilmu sosial dan orang pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum kemasyarakatan. Menurutnya, sosiologi merupakan sarana untuk memahami sejarah dan kondisi sosial masyarakat pada suatu generasi, proses perubahan dalam suatu masyarakat, faktor dan pengaruhnya dalam peta peradaban bangsa.
Tak ada yang menyangkal bahwa manusia adalah makhluk sosial yang suka berkumpul, bagaimanapun itu merupakan tabiat manusia yang dimilikinya sejak ia lahir dan hidup di masyarakat. Ibnu Khaldun sendiri membuat sebuah teori tentang manusia dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun yang terkenal yaitu tentang konsep al-Umran. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu al-Umran merupakan ilmu tentang pergaulan manusia atau ilmu tentang peradaban yang membantu memberikan penjelasan-penjelasan sejarah dan filolosofis untuk mengetahui pengetahuan yang benar. Ilmu al-Umran dapat membantu dan mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mengundang manusia bertindak, disamping melacak pemahaman tentang akibat-akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukan tersebut.
Dalam buku Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (ijtima’ insani) umat manusia adalah satu keharusan. Para filosof (al-hukama’) telah melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka: “Manusia adalah bersifat politis menurut tabiatnya” (al-insanu madaniyyun bi ath-thab’i). Ini berarti, ia memerlukan satu organisasi kemasyarakatan, yang menurut para filosof dinamakan “kota” (al-madinah). Tanpa organisasi itu, eksistensi manusia manusia tidak akan sempurna. Keinginan Tuhan untuk hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di permukaan bumi ini tentulah tidak akan terbukti. Inilah arti yang sebenarnya dari peradaban (umran). (Ibnu Khaldun, 1982: 71-73).
Al-Umran sendiri mempunyai makna yang luas, meliputi seluruh aspek aktivitas kemanusiaan, diantaranya tentang perekonomian, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Al-Umran dianggap sebagai ilmu sejarah, juga disebut sebagai ilmu kultur. Namun sebagian besar ilmuwan menyebutnya sebagai ilmu sosial dan budaya. Ilmu al-Umran merupakan ilmu yang mencoba menjelaskan bangkit dan runtuhnya sebuah kota (hadharah). Kehidupan, termasuk negara, bahkan peradaban mengalami perputaran sejarah. Dimulai dengan fase lahir, tumbuh, dewasa, stagnan, menurun (tua), dan akhirnya mati. Singkatnya, al-Umran mencakup human association (asosiasi manusia) dan civilization (kebudayaan).
Al-Umran juga berkaitan dengan konsep ashobiyah. Istilah ini sudah digunakan sejak masa pra-Islam, tetapi dengan konotasi (pemaknaan) yang negatif, yakni fanatisme kekabilahan/kesukuan yang sempit yang menghalalkan segenap cara untuk mencapai tujuan sendiri. Ashobiyah dianggap sebagai suatu sifat egois yang dimiliki oleh suku tertentu untuk kemakmuran sukunya sendiri. Konsep Ibnu khaldun tentang ashobiyah merupakan konsep sosiologis yang diartikan sebagai solidaritas dan kesetiakawanan. Ibnu Khaldun menjelaskan konsep solidaritasnya dalam konteks kekuatan kelompok. Kalau berbicara ashobiyah dalam konteks sekarang agaknya dapat disamakan dengan rasa kebangsaan atau nasionalisme.
Asal-usul ashobiyah yaitu adanya sebuah ikatan darah yang mana ikatan itu menimbulkan cinta pada kaum kerabat dan keluarga serta membangkitkan perasaan saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Jika tali nasab (keturunan) yang saling membantu itu sangat dekat sehingga menghasilkan persatuan dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham), maka pertalian itu menjadi jelas dan terang menghendaki adanya suatu rasa kesetiaan tanpa desakan apapun dari luar. Akan tetapi, jika tali nasab agak berjauhan, maka ia sering kali dilupakan oleh yang lainnya. Tujuan ashabiyah (rasa golongan) ialah kekuasaan, kewibawaan dan kedaulatan. Karena ashabiyah dapat memberikan perlindungan yang menimbulkan pertahanan bersama, sanggup mendesakkan tuntutan-tuntutan dan berbagai macam kegiatan kemasyarakatan yang lainnya. Ashabiyah terbesar hanya terdapat pada rakyat yang memiliki ikatan keluarga yang kuat dan kepemimpinan diantara suku-sukunya.
Konsep ashobiyah ini dapat dipotret lebih jauh melalui klasifikasinya mengenai struktur masyarakat manusia yang dapat dipandang dari sudut kontrol sosial, yaitu struktur badawah (struktur primitif) dan struktur hadharah (struktur peradaban/perkotaan). Menurut Ibnu Khaldun, dalam struktur masyarakat primitif, hubungan darah lebih diutamakan, masyarakat dikontrol oleh motivasi mereka sendiri yang muncul secara spontan. Di kalangan masyarakat nomaden, semangat kesukuan mempertinggi nilai-nilai kelompok. Ashobiyah terjalin sangat kuat. Sementara dalam masyarakat peradaban perkotaan, kontrol sosial dari dalam sangat lemah, hubungan sosial antar individu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, untuk membantu masyarakat dalam kontrol sosial misalnya, diperlukan adanya lembaga pertahanan dan keamanan (polisi dan tentara), dalam soal kelangsungan kepentingan antar manusia dibentuklah berbagai lembaga dengan ragam motivasi dan kecenderungan dan sebagainya. Jelasnya, kelompok atau etnik dan suku yang cenderung primitif dan belum banyak mengalami kemajuan jauh lebih kuat tingkat solidaritasnya bila dibandingkann dengan komnitas dan masyarakat yang telah maju dan sudah berbentuk kota. Dengan demikian, seorang manusia tidak bisa hidup sendirian, dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. (Jurdi, 2008: 54-60)
Ibnu Khaldun berpendapat pula bahwa ashobiyah merupakan asa bedirinya suatu negara, dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Jika suatu negara telah berhasil berdiri, maka pemimpinnya tidak memerlukan ashabiyah lagi untuk mempertahankan kekuasaannya. Negara menurut Ibnu Khaldun adalah suatu makhluk yang lahir, mekar, menjadi tua dan akhirnya hancur. Jadi negara mempunyai umur yang sama dengan makhluk-makhluk yang lain. Umur suatu negara adalah tiga generasi , sekitar 120 tahun, dimana satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang, yaitu 40 tahun. Tiga generasi tersebut adalah:
- Generasi pertama: hidup dalam keadaan primitif yang keras, jauh dari kemewahan dan kehidupan kota. Masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
- Generasi kedua: berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, sehingga inipun beralih dari kehidupan primitif yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan.
- Generasi ketiga: negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian. (Al-Khudhairi: 1995, 168)
Runtuhnya hadharah dapat disebabkan karena semakin banyaknya penindasan dan kedzaliman untuk memperoleh kemenangan serta kemegahan dan kekuasaan diatas orang lain. Runtuhnya moral dan nilai dalam masyarakat yang hanya memikirkan dirinya sendiri juga menjadi faktor runtuhnya hadharah. Namun ada satu sebab lagi yang tidak bisa ditolak mengenai runtuhnya hadharah ini, yaitu terjadi bencana alam yang luar biasa yang mengakibatkan kerusakan secara besar-besaran. Dan karena faktor itulah, manusia harus memulai kembali al-umran dan hadharahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudhairi, Zainab, 1987, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Bandung, Pustaka.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, 1989, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus
Khaldun, Ibnu,1982, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Jakarta, CV. Fauzan
Syarifuddin, Jurdi, 2008, Sosiologi Islam (Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun), Yogyakarta, Bidang Akadamik Jl. Marsda Adisucipto UIN Sunan Kalijaga.
Raliby, Osman, 1965, Ibnu Chaldun tentang Masyarakat Dan Negara, Jakarta, Bulan Bintang.
DISCLAIMER
|