Telaah Konflik Sawit di Indonesia dalam Buku “Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia”

Pengantar

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia ingin memfokuskan hilirisasi industri kelapa sawit[1]. Hal itu dilakukan oleh pemerintah karena sawit memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Industri ini juga dilihat sebagai ujung tombak dari pembangunan daerah-daerah 3T serta mampu menjadi solusi atas tingginya angka pengangguran. Pernyataan Kemenperin ini hanyalah gambaran dari keberpihakan negara terhadap industri kelapa sawit. Jika kita mencari di Google dengan kata kunci “industri kelapa sawit di Indonesia” dalam sekejap kita akan menemukan artikel-artikel yang didominasi oleh kanal resmi pemerintah dengan judul yang membangun kesan bahwa industri ini adalah harapan bagi kemajuan kehidupan bangsa. Penulis belum menemukan artikel-artikel dari pemerintah yang berupaya mengangkat bagaimana kondisi yang sebenarnya, yang tidak tergambarkan dalam angka-angka statistik GNP atau keterserapan angkatan kerja di Indonesia. Berbagai perilaku perusahaan kepada masyarakat setempat tidak pernah dilukiskan dalam kemajuan GNP. Dengan kata lain, seolah-olah, hal-hal itu tidak penting jika dibandingan dengan pertumbuhan perekonomian negara yang juga tidak dirasakan oleh masyarakat setempat.

Kehadiran industri kelapa sawit di Indonesia membawa dinamika baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu kiranya yang ingin disampaikan oleh buku “Kehampaan Hak Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia”. Buku terbitan terbaru dari Yayasan Pustaka Obor Indonesia ini, hadir sebagai wacana tandingan atas pemerintah tentang janji kemajuan kehidupan bersama kelapa sawit. Buku ini fokus menyoroti tentang konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Konflik-konflik itu selalu terjadi dalam jangka waktu lama (tahunan) dan sering kali tidak memiliki akhir yang jelas. 

Isi Buku

Sebagaimana yang sedikit disinggung di bagian pendahuluan makalah ini, buku ini menyoroti lebih jeli tentang “penyebab, karakter, dan akibat dari konflik antara perusahaan kelapa sawit dengan warga perdesaan di Indonesia” (Barenschot et al., 2023:4). Warga perdesaan yang tanahnya dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit sering kali menghadapi sengketa akibat dari penyelewengan perusahaan atas batas tanah yang sudah ditetapkan. Buku ini “mengkaji tentang bagaimana warga memprotes perusahaan, mengapa mereka melakukannya, dan sejauh mana mereka berhasil menemukan solusi atas keluhan tersebut” (Barenschot et al., 2023:4). Masyarakat perdesaan dengan ciri lokalitas dan solidaritasnya membentuk strateginya sendiri untuk berhadapan dengan perusahaan kelapa sawit dengan berbagai kekuatannya. Harus diakui bahwa berhadapan dengan perusahaan kelapa sawit bukanlah perkara yang mudah bagi masyarakat desa. Penyebab utama dari permasalahan ini adalah adanya ketimpangan pengetahuan dan keberpihakan dari negara. Masyarakat perdesaan ini mengalami sebuah kondisi yang menjadi ide utama dalam buku ini yaitu kehampaan hak. Konsep itu akan dielaborasi lebih lanjut nanti. 

Pertanyaan utama atas buku ini dijawab oleh para peneliti berkat kerja sama yang luar biasa dengan berbagai pihak: universitas, pemerintah, perusahaan kelapa sawit, LSM, masyarakat perdesaan, dan berbagai media cetak. Basis data utama penelitian ini adalah himpunan 150 kasus konflik masyarakat perdesaan melawan perusahaan kelapa sawit. Konflik-konflik tersebut didapatkan melalui pengumpulan berita-berita atau dokumentasi konflik sawit baik dari media surat kabar lokal maupun dari arsip. Setelah melalui seleksi yang dijelaskan secara rinci di buku, akhirnya didapatkan 150 kasus sebagai data utama untuk kemudian digali menggunakan metode interview kepada masyarakat yang berkonflik, perusahaan, dan pemerintah desa. Seratus lima puluh kasus tersebut tersebar di 4 wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan industri kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu: Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Barat. 

Argumen peneliti berpusat pada adanya “kehampaan hak” yang dialami oleh masyarakat perdesaan saat berkonflik dengan perusahaan sawit. Kondisi itu dipicu oleh pertumbuhan industri kelapa sawit yang sangat cepat di Indonesia. Hal ini tidak menjadi kejutan, mengingat bagaimana pemerintah Indonesia menggambarkan industri ini sebagai ujung tombak pembangunan di Indonesia. Penulis buku ini melihat bahwa konflik sawit adalah konflik yang tidak sederhana, memiliki rentang waktu yang panjang, penuh manipulasi, dan adanya halangan secara sistemik yang dihadapi oleh masyarakat perdesaan. 

Industri kelapa sawit akhir-akhir ini merambah ke Pulau Sulawesi dan Pulau Papua. Seluruh provinsi di Pulau Sulawesi sudah dirambah oleh kebun kelapa sawit berserta beberapa pabrik untuk mengolahnya. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Papua. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia yang masif di tengah konflik agraria tentang industri ini merupakan kejanggalan yang luar biasa. Kejanggalan itu berkaitan dengan bagaimana perusahaan dapat dengan mudah mengakses tanah-tanah milik masyarakat perdesaan?

Padahal, persoalan tanah menjadi inti dari berbagai konflik kelapa sawit yang terjadi?

Pertanyaan tersebut akan memandu kita untuk membuka tabir di dalam buku ini. Persoalan akses terhadap tanah merupakan masalah yang sangat mengakar dan kompleks saat membicarakan konflik sawit, minimal konflik-konflik yang dijelaskan di dalam buku ini. Secara sederhana, perusahaan kelapa sawit dapat digambarkan sebagai raksasa yang serakah terhadap tanah. Mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan tanah-tanah yang mereka inginkan demi membuka perkebunan kelapa sawit. Berbagai strategi tersebut termasuk dalam melakukan transaksi-transaksi gelap kepada para elit politik, seperti: DPRD, kepala desa, kepala daerah, bahkan pemimpin komunitas adat masyarakat yang mau bekerja sama dengan perusahaan. Di sinilah letak halangan sistemik itu terjadi, yaitu ketika para pemangku kebijakan justru menerima berbagai “hadiah” dari perusahaan kelapa sawit sehingga mereka tidak mampu lagi hadir sebagai pihak netral yang akan membela hak-hak masyarakat perdesaan. Mereka akan memutuskan hal-hal kecil yang mematikan akses masyarakat perdesaan terhadap tanah mereka sendiri.

Saat warga suatu negara tidak memiliki akses terhadap tanah negara mereka sendiri, hal ini merepresentasikan sebuah masalah yang mengakar namun laten. Masalah itu adalah tentang status kewarganegaraan mereka. Mereka adalah warga negara namun tidak mendapatkan hak sebagaimana mereka adalah warga negara. Negara, justru melalui kebijakannya, tidak hadir dalam upaya pemenuhan hak tersebut. Kondisi ini kurang lebih yang menjadi gambaran tentang apa itu kehampaan hak. Kehampaan hak (rightlessness) merupakan sebuah kondisi tentang

“ketiadaan atau hampir tiadanya perlindungan hukum efektif atas kepentingan seseorang” (Barenschot et al., 2023:31). Kondisi ini disebabkan oleh 3 hal utama, yaitu: 1) hubungan bisnis-politik di Indonesia, lembaga negara yang terinformalisasi, dan hak atas tanah yang dibatasi. Dapat dilihat dari 3 faktor utama ini, sumbernya cenderung berasal dari pemangku kebijakan dan perusahaan. 

Pembahasan

Buku setebal 331 halaman ini sangat terlihat sebagai hasil penelitian skala besar dan dikerjakan dengan sangat rapi dan sistematis. Dari membaca daftar isinya saja, pembaca sudah dapat menerka-nerka bagaimana persoalan kehampaan hak akan dipaparkan di dalam buku ini. Hal ini bisa menjadi pisau bermata dua karena, di satu sisi, pembaca akan dengan mudah mengenali struktur berpikir penulis namun di sisi lain pembaca tidak bisa membaca bagian yang diminati lebih dulu. Pembaca harus mengikuti alur dari bab awal untuk memahami bab 10, misalnya. Sehingga, bagi pembaca yang bukan berasal dari penggemar topik agraria akan menemui sedikit tantangan kebosanan. Namun, kebosanan itu dapat tertutupi dengan pemilihan perspektif yang menarik. Penggunaan perspektif kewarganegaraan untuk membingkai konflik-konflik sawit yang berkepanjangan antara penduduk desa dengan perusahaan. Meski permasalahan kewarganegaraan bisa jadi sangat luas namun bagaimana negara menanggapi konflik sawit di buku ini dapat menjadi teropong tentang makna kewarganegaraan masyarakat desa bagi negara. 

Kondisi kehampaan hak yang digambarkan di dalam buku ini merupakan representasi dari peliknya konflik agraria khususnya tentang industri kelapa sawit di Indonesia. Kondisi ini merupakan akumulasi peristiwa-peristiwa tentang alih fungsi lahan dan lingkungan di Pulau Kalimantan di masa lalu. Sebagian besar wilayah Pulau Kalimantan merupakan hutan yang memiliki fungsi yang signifikan terhadap kehidupan dan iklim di Asia Tenggara (Wadley, 2005). Kesadaran tentang potensi hutan yang melimpah dan dapat menjadi komoditas telah muncul sejak jaman sebelum kedatangan kolonialis dari Eropa. Sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut oleh Wadley bahwa hubungan perdagangan yang paling awal dapat dideteksi adalah hubungan dagang antara suku pedalaman Kalimantan dengan orang-orang Cina (Wadley, 2005:27). Aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan dagang ini adalah suku pedalaman Kalimantan yang tinggal di dalam hutan sebagai produsen dan orang-orang yang bermukim di dekat sungat dan laut sebagai perantara dengan pedagang di Cina. Ketika kebutuhan akan komoditas hutan yang berkualitas bagus semakin meningkat, “para makelar dagang yang mampu menjamin pasokan komoditas dengan kualitas bagus akan mendapatkan imbalan tambahan yaitu garam, baja, tembakau, pakaian, dan lain-lain” (Sellato, 2005:67). Di sinilah, dimulainya perubahan cara pandang masyarakat adat terhadap hutan sebagai penghasil komoditas hutan daripada hidup subsiten. Pada jaman itu, imbalan tambahan yang diberikan oleh pedagang-pedagang Cina itu sangatlah berharga. Oleh sebab itu, para makelar mulai melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pasokan komoditas hutan terus-menerus. Hal itu termasuk dengan cara melakukan kerja sama dengan kepala suku suatu komunitas adat. 

Strategi kerjasama secara politik tradisional telah dilakukan sejak jaman dulu dan semakin menguat ketika era kolonialisme. Dalam studi yang dilakukan oleh Lesley Potter (2005) bahwa komodifikasi lahan-lahan di Pulau Kalimantan oleh pemerintah kolonial diantara tahun 1870-1940 bukan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan komunitas lokal. Melalui kebijakan ini, masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah (hutan) mereka yang menjadi sumber penghidupan. Alhasil, mereka mengalami kelaparan dan kemunduran kualitas hidup baik secara individual maupun kolektif. Lebih jauh, Saunders (2005:273) menjelaskan bahwa “kontak pertama yang dilakukan pemerintah kolonial dengan kepala komunitas adat setempat adalah dengan menempatkan mereka sebagai kawan atau lawan dalam perdagangan dan politik”. Kondisi ini merupakan cikal-bakal dari terjadinya fenomena kehampaan hak yang digambarkan oleh buku ini. Kehampaan hak dan perlawanan hampa hak menjadi semakin masuk akal saat dihadapkan dengan gagasan negara dan kewarganegaraan. 

Perspektif kewarganeraan yang digunakan peneliti kurang memadai untuk melihat karakteristik kewarganegaraan Indonesia. Peneliti cenderung menggeneralisasi masyarakat perdesaan di setiap wilayah yang dimaksud di dalam penjelasan buku ini. Peneliti lupa bahwa konflik agraria di wilayah-wilayah itu juga terjadi antara penduduk asli dengan masyarakat pendatang[2]. Penduduk asli, misalnya komunitas suku Dayak Iban, akan melihat hutan adat sebagai bagian dari eksistensi diri mereka[3]. Cara pandang itu tentu berbeda dengan masyarakat pendatang yang masuk ke wilayah Kalimantan melalui program transmigrasi. Program ini memberikan masyarakat pendatang tanah dalam luasan tertentu untuk diolah dengan tujuan produktif[4]. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, peneliti buku ini perlu memberikan perhatian kepada konflik-konflik yang menjadi data utama mereka. Masyarakat perdesaan yang mana yang sedang mengajukan tuntutan kepada perusahaan itu? Apakah masyarakat adat atau masyarakat pendatang? Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat bahwa lagi-lagi keberpihakan negara kepada masyarakat adat sangat minim. Sehingga, masyarakat adat sangat rentan mengalami double-marginalized

Penutup

Konflik antara masyarakat perdesaan dengan perusahaan kelapa sawit masih terus mewarnai lika-liku pertumbuhan industri ini di Indonesia. Hal itu disebabkan karena masyarakat perdesaan mengalami kondisi kehampaan hak yang membuat mereka secara sistemik lemah akses terhadap tanah mereka sendiri. Sebagai seseorang yang tidak dekat dengan isu-isu agraria, buku ini membuka mata penulis bahwa kesenjangan wacana pembangunan dengan aktor perusahaan kelapa sawit sangat menghancurkan kedaulatan masyarakat perdesaan atas tanah dan sumber daya mereka sendiri. Buku ini sangat berharga untuk dibaca terutama, menurut hemat penulis, untuk menakar ulang kerja-kerja kesejahteraan melalui program-program corporate social responsibility. Sejauh mana program-program csr memihak kepada kesejahteraan masyarakat terutama yang mengalami sengketa dengan perusahaan. Atau justru mereka hanyalah strategi yang digunakan perusahaan untuk menutup konflik-konflik agraria seperti yang dikupas di dalam buku ini.  

Daftar Pustaka

Budianto, A. (2020). Ketegangan sosial di Lampung Akibat program transmigrasi di era 1950an. Jurnal Candi, 20(1), 18-31.

Kemenperin. Berdampak luas bagi ekonomi, Kemenperin fokus hilirisasi industri kelapa sawit. Online accessed from https://kemenperin.go.id/artikel/23412/Berdampak-Luas-bagi-Ekonomi,Kemenperin-Fokus-Hilirisasi-Industri-Kelapa-Sawit. On October 10th 02:52.

Potter, Lesley. (2005). Commodity and environment in colonial Borneo: Economic value, forest conversion and concern for conservation, 1870-1940 in Histories of the Borneo Environment. Reed L. Wadley (Editor). Leiden: KITLV Press.

Saunders, Graham. (2005). Epilogue: In the eye of the beholder – development or exploitation? Changing perceptions of the Borneo environment in Histories of the Borneo Environment. Reed L. Wadley (Editor). Leiden: KITLV Press.

 Sellato, Bernard. (2005). Forest for food, forest for trade – between sustainability and extractivism: The economics pragmatism of traditional peoples and the trade history of northern East Kalimantan in Histories of the Borneo Environment. Reed L. Wadley (Editor). Leiden: KITLV Press.

Syamsudin, S. (2008). Beban masyarakat adat menghadapi hukum negara. Jurnal hukum ius quia iustum, 15(3), 338-351.

Wadley, Reed L. (2005). Introduction: Environment histories of Borneo in Histories of the Borneo Environment. Reed L. Wadley (Editor). Leiden: KITLV Press.

Ward, Berenschot., Dhiaulhaq, A., Afrizal, Afrizal., & Hospes, O. (2023). Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia. Hanafi, T. (Penerjemah). Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C., & Wollenberg, E. (2004). Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003. Jakarta: Center for International Forestry Research (CIFOR).

 

[1] Kemenperin. Berdampak luas bagi ekonomi, Kemenperin fokus hilirisasi industri kelapa sawit. Online accessed from https://kemenperin.go.id/artikel/23412/Berdampak-Luas-bagi-Ekonomi,-Kemenperin-FokusHilirisasi-Industri-Kelapa-Sawit. On October 10th 02:52.

[2] Lihat misalnya Syamsudin,2008; Wulan et al., 2004.

[3] Dikutip dari film Maarif, S., Sridipo, M., & Putra, R.P. (Director). (2023). Indigenous. Watchdoc Documentary.

[4] Budianto, 2020

Yola Ninda Dwi Woro Dyah Sehnur
Penulis: Yola Ninda Dwi Woro Dyah Sehnur
Tentang Saya
mahasiswa Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat yang kuat terhadap isu-isu pembangunan sosial khususnya mengenai inklusivitas, marginalitas, dan gender. Ia dapat dihubungi lebih lanjut melalui surel Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini