Masa ini diinterpretasikan sebagai masanya digitalisasi dan internet. Bukan hanya internet dengan sistem yang sederhana, akan tetapi sistem rumit yang menciptakan sebuah kecerdasan buatan yang disebut sebagai Artificial Intelligence. Dampaknya, beragam otomatisasi berjalan di segala lini kehidupan, termasuk kehidupan bersosial.
Social media, suatu platform komunikasi dan informasi yang kini sudah menjadi dunia kedua manusia. Segala jenis kegiatan sosial sudah banyak terlaksana di platform daring tersebut, termasuk interaksi yang bersifat diskusi, debat, dan dialektika. Kritik adalah salah satu konten yang bisa kita temui di media sosial.
Kritik di media sosial dapat kita temui dalam beberapa bentuk, paling umum ialah bentuk tulisan opini. Setiap orang bebas membaca dan mengomentarinya, dari sana terciptalah dialektika, meski terkadang hanya berakhir pada debat kusir.
Instagram adalah salah satu media sosial yang membuat penulis tertarik. Nama instagram sendiri berasal dari dua kata, yaitu "insta" dan "gram". Insta merujuk pada kata instan. Ibarat sebuah kamera polaroid yang juga dikenal dengan “foto instan”.
Di samping itu, kata "gram" mengambil referensi dari kata telegram dimana cara kerja telegram sendiri berarti mengirimkan informasi kepada orang lain dengan cepat. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa Instagram berartiberarti platform yang dapat menampilkan foto-foto dan juga informasi secara instan, seperti polaroid dan telegram yang disatukan[1].
Jika kita mundur ke dua paragraf sebelumnya, kritik, hal tersebut lumayan tidak identik dengan media sosial yang penulis bahas yaitu instagram. Instagram lebih identik dengan komunikasi yang bersifat visual, bukan opini. Akan tetapi, justru itulah celah yang diambil oleh akun @abujahaloffisialan untuk mengemukakan kritik dan satire melalui seni visual sederhana mereka.
Hal itu pula yang membuat hal tersebut unik untuk dibahas. Selain itu, jika kita melihat konten dan target pasar mereka, kita bisa menganalisis pengaruhnya pada masyarakat muslim internet, sehingga sangat berhubungan dengan mata kuliah bahkan jurusan penulis saat ini.
Akun @abujahaloffisialan dapat penulis deskripsikan sebagai akun yang memposisikan dirinya sebagai antagonis, dalam kasus ini Abu Jahal. Abu Jahal sendiri terkenal di kalangan muslim sebagai tokoh yang sangat memusuhi Nabi Muhammad SAW.
Kritik yang dilontarkan akun @abujahaloffisialan memang banyak menyasar masyarakat muslim. Namun terkadang akun tersebut hanya mengomentari keadaan, atau bahkan hanya memposting kata-kata random. Beberapa contoh postingan akun tersebut antara lain:
Jika dilihat dari beberapa contoh konten yang mereka unggah di Instagram, akun tersebut belum memiliki massa yang terlalu banyak. Akun tersebut baru memiliki 5.457 pengikut, dengan jumlah konten sudah mencapai 606 unggahan.
Jika penulis analisis dari beberapa komentar, dapat disimpulkan bahwa pengaruh konten akun @abujahaloffisialan masih berputar di kalangan anak muda. Komentar kebanyakan menyetujui pendapat atau candaan mereka. Sehingga penulis beranggapan, bahwa konten tersebut belum mencapai target kritik. Soalnya, tidak ada kontra atau bahkan diskusi sama sekali di komentar.
Meski begitu, pengaruhnya pada anak muda cukup signifikan, banyak yang mendukung akun tersebut untuk terus mengungkapkan kritiknya. Dari segi kritik, selain beberapa contoh di atas, akun @abujahaloffisialan sering kali mengunggah kritik yang mengandung bahasa vulgar, bisa jadi sebagai penambah kesan antagonis yang diperankan.
Ciri lain dari kritik yang disampaikan adalah sederhana dan to the point. Bahkan kita bisa anggap bahwa kritik yang mereka sampaikan hanyalah respon spontan seorang manusia, yang tanpa pikir panjang langsung nyeletuk. Tidak ada analisis yang mendukung opini akun itu.
Ciri-ciri tersebut dijadikan persona utama akun tersebut. Mengikuti nama yang sengaja mereka pilih. Sehingga, jika ada objek kritik yang membaca kritik tentang mereka, kesan yang didapat adalah musuh. Sebagaimana tujuan akun tersebut untuk membuat persona seperti Abu Jahal yang memusuhi Nabi Muhammad SAW.
Jika kita fokus menjelaskan persona, jelas bahwa persona bukanlah "realita", akan tetapi "topeng" yang sengaja dibuat untuk memberi kesan. Kasus tersebut juga berlaku pada akun @abujahaloffisialan.
Akun tersebut tidak semerta-merta memusuhi Islam. Tapi ia mengambil persona Abu Jahal sebagai antagonis di antara umat yang merasa paling protagonis. Hal tersebut dimaksudkan untuk melawan status quo, dan menciptakan dialektika yang terus berputar.
Kesimpulan yang dapat diambil dari esai sederhana ini ialah, kritik perlu mendapat media yang luas, dan jangan dibungkam. Kritik di media sosial sudah sangat terbuka meski kini diterpa ketegangan atas polisi-polisi digital bernama UU ITE yang seringkali salah target.
Media instagram sebagai medsos yang sangat visual dimanfaatkan @abujahaloffisialan sebagai tempat mereka menyampaikan kritik dan seninya dengan persona antagonis. Abu Jahal terkenal karena kebodohannya. Jadi kata kunci yang dapat kita petik adalah "benci" dan "bodoh". Dua kata kunci itu pula yang menjadi ciri khas kritik dan satire akun tersebut.
Catatan
[1] Neng Dewi Kurnia, dkk., "Hubungan Pemanfaatan Media Sosial Instagram dengan Kemampuan Literasi Media di UPT Perpustakaan ITENAS", dalam Edulib: Journal of Library and Information Science Vol. 8, No. 1, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia), 2018.
DISCLAIMER
|