Apakah Pandemi Mengubah Solidaritas Sosial Menjadi Solidaritas Digital?

Downloading Solidarity - Original Image by Gerd AltmannDownloading Solidarity - Original Image by Gerd AltmannSaya adalah mahasiswa yang baru mengenal teori Emile Durkheim, dan cukup menyukai pemikirannya. Salah satunya di buku The Division of Labour in Society (1893), Durkheim menjelaskan bahwa unsur baku dalam masyarakat adalah faktor solidaritas. Lantas, ia membaginya menjadi solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas organik digambarkan dengan pembagian kerja yang lebih variatif dibanding solidaritas mekanik.

Sayangnya, relevansi mengenai solidaritas sosial harus dilabrak oleh realitas baru pandemi COVID-19. Solidaritas mekanik, organik, atau apalah itu, sama saja saat ini. Selama orang-orang memiliki smartphone, internet, dan media sosial, solidaritas pun akan terbentuk di dunia digital.

Sebelumnya, Durkheim menggambarkan bahwa dalam solidaritas organik, pembagian kerja makin banyak, interaksi sosial pun terbagi dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga, masyarakatnya dianggap individualis.

Sekarang, interaksi sosial dilakukan secara online. Bahkan, sejak ada medsos pun, sudah begitu. Bedanya, sekarang lebih leluasa karena waktu luang semakin banyak. Interaksi di luar rumah pun berkurang. Semuanya terdigitalisasi oleh aturan physical distancing. Ibu-ibu gosip berkurang, tapi ghibah online marak.

Lalu, solidaritas mekanik pun, yang katanya berdasarkan kesadaran kolektif, tujuan bersama, dan pada masyarakat yang lingkungannya sama, nyatanya meluas di dunia maya. Media sosial, pada akhirnya, menjadi pemeran utama dalam mengotak-kotakkan "kesamaan" masyarakat. Solidaritas pun muncul di sana, contohnya pada grup atau fanspage ormas tertentu.

Jika pola hidup semasa pandemi ini terus berlanjut, maka kesadaran akan sekitar akan berkurang. Orang-orang mungkin akan sangat loyal di media sosial, tapi individualis di mata tetangga. Kesadaran kolektif mungkin hanya muncul dalam grup WA keluarga dan grup organisasi di medsos.

Tidak dapat dipungkiri, dunia online banyak diwarnai manipulasi. Ini pula masalah yang akan muncul ketika solidaritas lebih terfokus di media sosial saja. Belakangan kita mengenal istilah buzzer, bot, dan akun anonim. Mereka dapat memanipulasi identitas mereka, menggiring opini, dan memframing suatu kejadian, bahkan menyebar hoax.

Tanpa kebijakan dalam menyaring informasi, maka solidaritas sosial di media digital dapat diwarnai oleh berita tidak benar dan fakta yang dilebih-lebihkan. Informasi tersebut akan terus menyebar, atas nama solidaritas mereka. Akhirnya, kesamaan tujuan, pemahaman yang sejalan, bahkan kesadaran kolektif, hanyalah sesuatu yang semu.

Sekiranya telah banyak konflik yang berawal dari sebuah cuitan atau opini di medsos. Tulisan atau postingan tersebut sangat mudah untuk dihakimi. Tak ada lagi kata "jangan main hakim sendiri" di media sosial. Ketika kesalahan muncul, maka kolom komentar pasti penuh cacian. Lagi, anonimitas sangat menguntungkan bagi si penghujat untuk lebih leluasa.

Perseteruan antar "solidaritas" secara online akan banyak terjadi. Akun-akun anonim, bot, dan buzzer bermunculan. Saling berseteru, dengan pemahaman mereka (yang sudah terframing). Itu pun hanya menciptakan perseteruan yang tidak menarik. Hampir tanpa poin. Ada poin pun, hanya ikut-ikutan kelompoknya. Ujungnya? Logical fallacy.

Ya, penulis mengira, semuanya menjadi semu. Durkheim akan kecewa karena ternyata teknologi dan takdir pandemi merombak teorinya. Mungkin sementara, tapi siapa tahu. Banyak kok, orang egois di luar sana. Seakan tak peduli, terus menyambung rantai pandemi. Lagi, di media sosial mungkin mereka sangat loyal, pada kelompoknya sendiri. Sepertinya kelompok konspirasi.

Apakah dengan semua ini, Solidaritas Sosial telah berganti menjadi Solidaritas Digital?

Gustiana Sandika
Penulis: Gustiana Sandika
Tentang Saya
Gustiana Sandika (21 tahun), mahasiswa Sosiologi Agama semester 8, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Anggota aktif LPM Arena yang malas menulis, hanya gemar melihat data dan masyarakat, sedang menjadi Koordinator Bidang Pusat Data dan Analisis (PUSDA).
Follow ig penulis: @sandika.21
Tulisan Lainnya

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini