Belakangan ini, publik dunia maya digegerkan oleh tayangan video di saluran media sosial milik seorang musisi yang memiliki banyak pengikut. Video tersebut memperlihatkan wawancara antara si musisi dengan seorang yang mengklaim telah menemukan obat COVID-19. Buntutnya, si musisi beserta narasumber yang mengklaim dirinya dokter dan profesor itu di-upload … eh … dilaporkan ke pihak berwajib dengan tuduhan penyebaran hoax.
Dalam jangka waktu yang tidak terlalu jauh, juga ada seorang musisi lain yang begitu aktif menyuarakan opini bahwa wabah COVID-19 adalah rekayasa. Belakangan, musisi tersebut juga dilaporkan ke pihak berwajib.
Kasus ketika seseorang mencuit dan kemudian cuitannya diikuti dan diamini, atau sebaliknya justru ditentang bukan kali ini saja terjadi. Masih segar dalam ingatan ketika jagat media sosial begitu riuh menjelang pemilihan presiden, yang bekasnya pun masih terasa hingga sekarang. Saat itu, beberapa akun populer begitu rajin mencuitkan opininya. Meski dengan alur logika yang tidak lebih canggih dari presentasi diskusi makalah mahasiswa di ruang-ruang kelas atau bahkan obrolan pengunjung warung rica-rica di lereng Merapi, opini-opini tersebut nyatanya mampu memantik perhatian publik. Pro dan kontra di kalangan warganet tidak terhindarkan, meski dengan argumen yang tidak lebih maknyus juga.
Banyak yang mengkritik secara sinis bahwa ini adalah era matinya para pakar, the death of expertises. Namun, menurut hemat penulis, akar permasalahan yang sebenarnya tidak asing dalam kajian-kajian sosial. Yaitu budaya “patron-klien”. Bedanya, “patron-klien” kini ikut bertransformasi seiring dengan perkembangan zaman, yang mana para patron itu telah menjelma menjadi apa yang sekarang disebut sebagai “influencer”.
Konsep Patron-Klien
Patron, merujuk definisi pada Merriam-Webster, yaitu seseorang yang terpilih, terpanggil, atau mendapat kehormatan untuk menjadi penjaga istimewa, pelindung, pendukung, memiliki modal dan pengaruh, dapat menjadi sponsor baik secara sosial maupun finansial, dan dengan pengaruhnya yang besar itu ia bisa membantu individu lainnya. Adapun patronase (patronage), juga merujuk definisi pada Merriam-Webster, adalah dukungan yang diberikan kepada seseorang yang ditunjuk sebagai patron. Patron ini kemudian menyediakan sesuatu bagi pihak lain, yang merupakan klien. Dengan kata lain, patron ada karena klien juga ada. Klien (client) sendiri adalah, merujuk pada Merriam-Webster, seseorang yang berada dalam perlindungan atau terikat dengan pihak lain (dependent).
Konsep patron klien, dikemukakan oleh Scott (1972), kurang lebih didefinisikan sebagai hubungan dua orang (atau lebih) dengan keterikatan di mana salah satu individu memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi (patron), yang menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan keuntungan atau keduanya, untuk orang yang lain dengan status sosial ekonomi lebih rendah (klien), yang kemudian membalas dengan dukungan dan bantuan, termasuk layanan pribadi, kepada sang patron.
Kata kunci dari konsep patron-klien adalah ketidaksetaraan. Patron, yang memiliki kelebihan baik berupa status secara sosial maupun ekonomi, menawarkan, atau dianggap mampu menawarkan perlindungan, pengayoman, kepemimpinan, dan lainnya yang membuat klien merasa aman dan terwakili. Sebagai timbal balik, klien memberikan balasan berupa dukungan kesetiaan.
Patron-klien bukan barang baru dalam interaksi sosial. Eisenstadt dan Ronigen dalam Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and The Structure of Trust in Society (1984) mengemukakan beberapa praktik patron-klien pada pola interaksi di beberapa masyarakat dari masa ke masa. Patron-klien memposisikan pihak tertentu dengan status sosial tinggi sebagai pelindung bagi yang lain dengan strata sosial rendah, dan pihak lain yang memiliki status sosial rendah kemudian membalasnya dengan kepatuhan, keterundukan, dan dukungan bagi patron apabila diminta.
Pola patron-klien antara lain dapat dilihat jejaknya pada masyarakat feodal dengan adanya landlord sebagai para pemilik lahan, yang kemudian memberikan pekerjaan kepada rakyat yang tidak memiliki lahan. Menggunakan pola patron-klien dilakukan juga dalam berbagai pergerakan. Perlawanan-perlawanan yang terjadi pada masa Hindia Belanda, sering terjadi karena dipicu oleh “provokasi” para tokoh yang dianggap sebagai patron sehingga massa rakyat kemudian ikut bergerak.
Patron dibutuhkan karena mereka memiliki akses baik secara status sosial maupun kepemilikan sumber daya sehingga dianggap dapat menjadi pelindung dan penyambung lidah bagi para klien yang tidak memiliki akses tersebut.
Tidak semua orang mampu menjadi patron. Ada “modal” yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia menjadi patron. Para patron adalah orang-orang pilihan. Ia berujud seorang anak raja, pemuka agama, cerdik cendekia yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, atau orang kaya raya yang kekuatan hartanya mampu mempengaruhi para pengambil kebijakan.
Revolusi Teknologi Informasi dan Kemunculan Patron (Gaya) Baru
Perkembangan teknologi dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemajuan begitu pesat. Termasuk dalam bidang informasi yang mana perkembangannya terasa begitu pesat dalam dasawarsa terakhir. Internet yang sebelumnya merupakan kemewahan kini bisa dinikmati di ruang-ruang privat melalui layar telepon selular. Telepon selular pun bukan lagi barang mewah karena kini sudah muncul berbagai varian dengan harga yang lebih ramah untuk kalangan menengah ke bawah.
Penetrasi internet sebagai bagian dari revolusi teknologi informasi pada akhirnya mampu membuka berbagai akses bagi berbagai lapisan masyarakat. Termasuk dalam untuk menyuarakan aspirasi kepada pihak-pihak pengambil kebijakan. Akses tersebut semakin terbuka lebar dengan hadirnya berbagai media sosial sebagai alat untuk menyuarakan aspirasi.
Media sosial tampaknya memang merupakan revolusi besar. Hampir semua terlibat dan menggunakan media sosial sebagai corong. Beberapa lembaga resmi pemerintahan pun memiliki akun di media-media sosial yang ada sebagai upaya untuk mempublikasikan program-programnya, bentuk akuntabilitas publik, sekaligus juga mendekatkan diri pada aspirasi masyarakat.
Prinsip utama yang diusung oleh media sosial adalah kesetaraan. Dalam arti, semua bisa membuat akun. Mulai dari presiden negara adidaya hingga pedagang kaki lima di Jalan Malioboro. Mulai dari peraih nobel bergelar Ph.D hingga anak belum lulus sekolah menengah. Di media sosial, semua adalah sama.
Siapapun boleh bersuara, siapapun boleh mencuit. Apapun sah-sah saja dipublikasikan. Ada yang mengunggah materi serius, lengkap dengan berbagai macam teori sebagai dasar argumen, ada juga yang hanya mem-posting kegiatan sehari-hari dengan teman dan pacar, lengkap dengan gaya tulisan “4LaY” yang cukup membuat mata pusing. Namun, semua memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi populer—menjadi viral. Dan kemudian menjadi tokoh—seorang patron.
Para patron gaya baru ini muncul dengan “agendanya” masing-masing. Misalnya, beberapa tahun yang lalu, seorang remaja muncul membuat kontroversi ketika mengunggah konten video dengan durasi hampir satu jam hanya untuk curhat perihal putusnya dia dengan sang pacar. Dan remaja tersebut ternyata memiliki banyak pengikut—para followers—yang terpesona dengan tagline yang sering digaungkannya: “relationship goals”.
Ada lagi yang lebih serius, masih seorang remaja juga, yang merasa gelisah dengan gejala politik sektarian pada sebuah hajatan pilkada di suatu daerah. Kegelisahannya itu ia tuangkan dalam unggahan di sebuah media sosial dan menjadi heboh lantaran ada yang tidak terima dan kemudian melaporkan akun remaja tersebut. Simpati kemudian datang bertubi-tubi kepada si remaja. Remaja itu pun menjadi patron baru. Ada yang mengidolakannya, ada juga yang mencelanya. Namun, cuitannya di media sosial selalu dinanti, entah untuk diamini ataupun dihujat.
Dan tentu saja, jangan lupakan perhelatan pemilu tahun 2019 yang begitu banyak menguras energi dan emosi. Ada banyak akun yang muncul untuk menyuarakan aspirasinya. Beberapa akun mendapatkan dukungan. Diamini—di-like dan dikomentari. Beberapa lainnya diserbu dengan cacian karena berbeda aspirasi.
Patron, tentu saja tidak akan ada tanpa adanya klien. Maka, klien-klien pun bermunculan. Jejaknya bisa dilihat mulai dari jumlah pengikut, komentar, like, dan yang paling utama adalah share. Fitur share, ada juga yang berbentuk retweet, merupakan indikator yang paling nyata dari hubungan patron-klien di era 4.0 ini. Share atau retweet dilakukan oleh follower—klien—yang merasa aspirasinya terwakili oleh unggahan si patron. Bisa karena si patron memang tokoh terkemuka yang memiliki banyak akses, bisa juga karena kepandaiannya mengolah kata dan argumen meski hanya orang biasa.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, hubungan patron-klien membutuhkan timbal balik sebagai dampak dari ketidaksetaraan yang ditimbulkan. Dalam patronase era digital, dukungan dari para klien untuk para patron yang dianggap telah mewakili mereka adalah berupa “kesetiaan” dengan cara menjadi pengikut, alias follower (ada juga yang menyebutnya “subscriber”).
Sekilas terdengar sepele. Namun, jumlah followers itulah yang menjadi keuntungan para patron. Di era digitalisasi seperti sekarang, followers bisa dimonetisasi. Monetisasi itulah yang akan menjadi keuntungan sang patron, yang kini berwujud “influencer”. Semakin banyak followers, semakin banyak yang subscribe, semakin besar value yang bisa dimonetisasi.
Para influencer ini menggunakan berbagai instrumen untuk menggaet followers. Ada yang melalui unggahan video di Youtube, foto indah di Instagram, atau sekadar tulisan argumentatif di Facebook atau Twitter, pun konsultan dadakan di Ask.Fm. Yang jelas, para influencer ini memiliki pengaruh besar. Beberapa perusahaan ada yang memanfaatkan jasa para influencer untuk meningkatkan penjualannya, dengan pertimbangan, jika yang mempromosikan adalah para patron, para klien ikut tergerak untuk menjadi konsumen produk atau jasa perusahaan tersebut.
Dampak Keberadaan Patron Baru
Menjadi influencer di era sekarang memang tampak menggiurkan. Siapapun bisa menjadi influencer asalkan rajin menunjukkan eksistensi diri di media sosial. Tampilkan konten yang menarik, buat khalayak tergoda untuk meng-klik, kalau perlu sisipkan sedikit kontroversi agar viral dan menjadi pembicaraan.
Inilah dampak dari prinsip kesetaraan yang ditawarkan oleh media sosial. Ketika semua bisa menjadi patron, maka kualitas, kompetensi, dan segala modal sumber daya yang sebelumnya diperlukan tidak lagi menjadi patokan. Asalkan punya perangkat, yang murah sekalipun, dan kuota. Dua hal ini sudah cukup untuk tampil dan menjadi populer—menjadi patron dengan banyak klien yang siap mendukung dengan like dan share sebanyak-banyaknya.
Maka, jangan heran ketika seorang profesor, ilmuwan cerdik-cendekia dengan banyak reputasi akademis, kalah opininya dengan buzzer yang memiliki banyak pengikut. Artikel ilmiah yang ditulis dengan riset mendalam, di-share dengan jumlah yang tidak seberapa ketimbang share unggahan gosip dari akun lambe-lambean dengan banyak followers.
Kesempatan sama untuk tampil itu juga yang menyebabkan maraknya konten prank di kanal video yang tujuannya hanya untuk popularitas lalu mendapatkan like dan subrcribe sebanyak-banyaknya sehingga bisa dimonetisasi.
Yang terjadi pada kasus musisi di awal tulisan ini pun merupakan dampak dari munculnya patron-patron gaya baru. Musisi bicara wabah penyakit, menghadirkan narasumber yang konon katanya profesor dan dokter yang telah menemukan obatnya, di kanal video dengan banyak subscriber yang mengidolakan sang musisi. Sang musisi tidak memiliki keahlian di bidang kesehatan, kanalnya pun tidak mengikuti kaidah jurnalistik yang mutlak dimiliki oleh media massa. Namun banyak pengikut yang men-subscribe kanalnya dan mengamini isi kontennya.
Ini adalah ekses dari akses ketika siapapun bisa menjadi patron, siapapun bisa menjadi influencer dengan banyak followers. Maka ada benarnya jika sinisme itu muncul: matinya kepakaran. Karena yang pakar belum tentu menjadi patron, dan patron belum tentu pakar. Ujungnya, klien bisa tersesat salah jalan.
Memilah Patron
Keberadaan patron tampaknya memang sulit dihindarkan. Patron akan selalu ada di setiap zaman dengan bentuknya yang berbeda. Di sisi lain, keterbatasan menyebabkan pihak lain dalam kondisi tertentu memang harus memosisikan dirinya sebagai klien. Bahkan untuk urusan yang paling sederhana seperti merangkai kata untuk unggahan media sosial, tidak semua bisa melakukannya dan orang-orang dengan keterbatasan ini membutuhkan orang lain, sebagai patron, untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Era digital dengan serbuan informasi mau tidak mau membuat orang harus melek literasi. Melek literasi, di antaranya dengan tidak menelan mentah-mentah omongan influencer. Perlu berpikir kritis serta mengecek ulang informasi yang disampaikan oleh unggahan para influencer tersebut. Tentu saja perlu juga untuk memilah dan memilih influencer sebagai patron yang tepat. Misalnya, jika ingin memperoleh informasi tentang kesehatan, carilah influencer yang merupakan ahli gizi, kesehatan, atau dokter. Jika ingin meniti karir sebagai penyanyi dangdut, carilah influencer yang dapat memberikan tutorial menyanyi dangdut yang enak didengar, bisa ke penyanyi dangdut betulan atau guru olah vokal. Jangan dibalik: konsultasi kesehatan ke pedangdut dan belajar olah vokal ke dokter hewan.
Di sisi lain, para pakar juga perlu untuk “turun gunung” dari menara gading dan mempopulerkan diri sebagai patron. Cara yang ditempuh almarhum Rovicky Dwi Putrohari menurut hemat penulis adalah contoh yang baik dan menarik. Rovicky, jebolan UGM yang merupakan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, semasa hidupnya berusaha membagi pengetahuannya dalam bidang geologi dengan bahasa populer yang dipahami awam melalui blog pribadinya. Tulisan-tulisan Rovicky yang renyah tak jarang menjadi rujukan dan di-share juga oleh para klien ke berbagai media sosial. Rovicky, dalam hal ini menjadi influencer yang patut digugu dan ditiru, dengan kemanfaatan yang diberikannya kepada publik.
Referensi:
Buku
Eisenstadt, S.N. and L. Roniger. (1984). Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and The Structure of Trust in Society, Cambridge University Press, New York.
Scott, James. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, in The American Political Science Review, Vol. 66, No. 1, American Political Science Association, pp. 91-113.
Artikel
Kinanti, Nathania. (2019). Selamat Jalan Rovicky Dwi Putrohari, 'Pakde' Dongeng Geologi. National Geographic Indonesia tanggal 5 Maret 2019, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/131656004/selamat-jalan-rovicky-dwi-putrohari-pakde-dongeng-geologi?page=all.
DISCLAIMER
|