Kita hidup diatas kesadaran dan keterarahan pada sesuatu, apa yang kita lakukan di masa lalu terarah pada kehidupan saat ini, dan apa yang kita lakukan di masa kini, terarah pada kehidupan yang akan datang. Begitu pula dengan status kita sebagai mahasiswa, keputusan kita untuk menempuh dunia perkuliahan menyingkap upaya keterarahan kita pada masa depan yang hendak dicapai. Lulus di waktu yang tepat barangkali jadi salah satu hal yang hendak dicapai oleh kita sebagai mahasiswa. Beberapa bulan yang lalu, setelah hampir 4 jam mendekam dalam kamar dan duduk manis di depan layar laptop, kalimat “selamat anda dinyatakan lulus” dari ketua dosen penguji mengantarkan saya pada kesadaran bahwa apa yang selama ini saya dan para mahasiswa lain upayakan akhirnya telah terwujud, lulus adalah salah satu cara paling rasional untuk lepas dari beban perkuliahan. Rasa syukur dan lega jadi hal yang saya rasakan disatu dua bulan pasca peristiwa itu, selepasnya hampa, gelisah dan kecemasan mulai menggentayangi. Cemas pada banyak hal, terutama masa depan. Setelah ini mau kemana, berbuat apa, dan untuk apa?. Akhirnya, tulisan inipun saya tulis diatas rasa kecemasan ini.
Hari-hari saya lewati dengan kecemasan yang terus ditimbun dengan aktivitas keseharian, kegiatan seperti membaca, bermain game, tidur, hingga tersusunnya tulisan ini adalah upaya pelarian agar terlepas dari kecemasan tadi. Namun tetap saja, setelah seluruh aktivitas itu selesai, saya kembali terputus pada seluruh kegiatan tersebut dan kembali pada kondisi kecemasan. Lalu apa yang saya lakukan dalam kondisi ini?, mengikuti nasihat Heidegger, inilah waktu yang tepat untuk merenung. Mengambil jarak dari kehidupan keseharian, mulai kembali hidup menyendiri lalu merenungkan banyak hal tentang kehidupan yang telah dilalui, khususnya sewaktu kuliah. Perenungan ini mulai menyingkap banyak hal dalam hidup saya, dari kesadaran akan hidup yang selalu dibatasi oleh waktu, hingga banyaknya aktivitas yang banal dan tidak begitu penting telah banyak menggerogoti hidup sewaktu di bangku perkuliahan.
Perihal waktu, hidup kita berada dalam horizon kemewaktuan, dan selalu dibatasi oleh itu. Apa yang telah terjadi saat ini, tidak akan terjadi di masa mendatang, apa yang dapat kita lakukan sekarang, tidak akan dapat kita lakukan lagi besok dan seterusnya. Ini bukan bicara soal waktu vulgar seperti yang kita pakai sehari-hari untuk membuat janji, acara, atau waktu yang terdapat pada jam dinding dan arloji. Ini tentang waktu eksistensil yang hidup dalam suana hati. Telah banyak waktu yang telah saya buang sia-sia saat di bangku kuliah, waktu untuk mempelajari banyak hal telah saya habikan untuk berpacaran, waktu untuk membaca banyak buku telah saya habiskan untuk bermain game, hingga masa yang diberikan sang waktu untuk introspeksi dan memperbaiki diri telah saya habiskan untuk jalan-jalan. Hingga akhirnya tersadar, waktu tidak akan pernah kembali dalam bentuk yang sama. Mungkin, saya bisa meninggalkan aktivitas pacaran dan memulai belajar banyak hal, mungkin saya bisa berhenti bermain game dan membaca banyak buku, dan mungkin juga saya bisa berhenti jalan-jalan dan melakukan introspeksi diri. Namun, hasilnya tentu akan berbeda jika saya telah memulainya saat masih menempuh perkuliahan, mungkin saat ini saya akan berada pada level hidup yang berbeda jika memulainya saat itu. Pada titik ini saya sadar, bahwa hidup selalu dibatasi oleh waktu, dan kesadaran akan hal itu perlu untuk digugah agar mampu menghargai waktu yang kita miliki.
Tak lupa pula, perenungan ini menyingkap kebiasaan-kebiasaan yang tidak penting sewaktu di perkuliahan. Kebiasaan bersantai yang berlebihan, membuat kehilangan banyak hal positif yang bisa saya lakukan. Menurut saya, santai itu sebenarnya baik, terutama untuk mengatur tubuh dan psikis agar tidak terforsir oleh keadaan. Namun saya menyadari bahwa kebiasaan santai saya terlalu berlebihan, sehingga mengantarkan saya ke jurang banalitas dan ketidak bergunaan.
Ketersingkapan dua hal tadi mengilhami saya perihal apa yang saat ini harus saya lakukan, kesadaran saya terarah pada kehidupan masa depan yang diharapkan, terutama oleh orang tua dan keluarga saya. Hendak melunturkan sedikit egoisme dan idealisme, kemudian mengarahkan sisa hidup saat ini untuk mengejar harapan pada masa depan tersebut. Aktivitas perenungan ini juga mengantarkan saya pada beberapa hal, memanfaatkan waktu yang telah terbuang dengan belajar banyak hal, menyempatkan waktu untuk sekedar membaca buku, dan menyisikan sedikit ruang untuk menyendiri dan introspeksi diri.
Referensi
Hardiman, F. B. (2003). Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
DISCLAIMER
|