Marcuse tentang Pendidikan
Kebangkitan kapitalisme untuk pendidikan publik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kedok restrukturisasi neoliberal dari sistem pendidikan, yakni melalui kemitraan pendidikan-bisnis, privatisasi, pilihan sekolah, dan sejenisnya (Barton, 2001). Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori Marxian diklaim kurang siap untuk menggambarkan kecenderungan opresif kapitalis maju yang meluas dalam kehidupan sosial masyarakat. Marcuse dan rekan-rekannya di Frankfurt School mengakui bahwa kekuatan kapitalisme sebagai upaya untuk menciptakan sistem keinginan yang didikte oleh industri budaya dan struktur kapitalis yang mendasarinya. Konsep masyarakat satu dimensi dapat digunakan untuk melihat realitas pergeseran rasionalitas teknologi yang mendominasi (Heertum & Richard, 2006).
Dalam hal ini, Marcuse menggagas estetika yang berakar dalam imajinasi manusia sebagai upaya untuk membebaskan semua daya inferior dari dominasi superior. Inferior yang dimaksud adalah para murid, sedangkan superior adalah para kapitalis. Fakta bahwa kebenaran yang melampaui estetika kehidupan dan pemikiran kritis hanya dapat diakses oleh segelintir orang kaya dan berpendidikan merupakan kesalahan dari masyarakat yang represif (Marcuse, 2014). McLaren mengklaim bahwa terdapat tiga pengaruh kapitalisme terhadap dunia pendidikan, yaitu, (1) hubungan kapitalisme dan pendidikan urban telah mengakibatkan praktik-praktik sekolah yang cenderung mengarah kepada kontrol ekonomi oleh kelas elite, (2) hubungan antara kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah menjadikan tujuan hanya sebatas mengejar profit daripada diarahkan untuk menjadikan kehidupan global lebih baik, (3) perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan dan kapitalisme dengan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan pada nilai korporasi dengan mengabaikan isu-isu tentang keadilan sosial dan martabat manusia (Barton, 2001).
Fenomena pendidikan yang terjadi hari ini menunjukkan bahwa pendidikan dipinggirkan oleh tekanannya pada akumulasi kapital (Barton, 2001). Kapitalisme dan pendidikan saling melayani dengan sangat erat, sehingga menjadi suatu hal yang tidak terhindarkan dan cukup problematis. Di luar analisis kapitalisme yang lebih kompleks dan multidimensi, Marcuse menawarkan strategi pedagogis khusus untuk mengatasi rasionalitas dan membentengi sensibilitas baru yang lebih selaras atau manusiawi (Heertum & Richard, 2006). Dalam hal ini, bentuk masyarakat satu dimensi direpresentasikan dalam korporatisasi pendidikan dan berbagai implikasinya yang menyesakkan. Komodifikasi pendidikan yang terjadi merupakan suatu bentuk degradasi proses pendidikan yang didorong oleh para kaum kapitalis.
Dalam sistem pendidikan kapitalis, orientasi dasar edukasi bukanlah pemberdayaan, melainkan memperdaya nalar yang mengkonstruksikan pendidikan sebagai proses dehumanisasi daripada humanisasi. Secara empiris, pendidikan memang memiliki kekuatan yang mengubah dan meluluhlantakkan sehingga untuk meredam potensi ancaman, sistem dan rezim kapitalis justru beralih fungsi sebagai benteng pertahanan pertama bagi struktur kekuasaan dan kepentingan penguasa. Upaya yang dilakukan Marcuse untuk dapat keluar dari hegemoni kelas penguasa dan membongkar kekuasaan semua sistem nilai adalah menyodorkan pedagogi kritis sebagai roh utama pendidikan (Saeng, 2012).
Pendidikan yang diartikan sebagai sebuah lembaga untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, namun pada kenyataannya pendidikan juga tidak dapat terhindarkan dari aspek sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya (Tholani, 2013) dimana hal tersebut justru menyebabkan pada keterasingan pendidikan dalam realitas nyata. Pada fase ini, pendidikan menjadi proses pengejawantahan nilai ideal dan keindahan dalam masyarakat sosialis. Manusia yang kodratnya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari dunia rasional dan relasi interpersonal yang dijembatani oleh pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan sarana dan pusat humanisasi manusia (Saeng, 2012).
Pemikiran Marcuse mengenai pendidikan jelas memiliki dua dimensi. Pertama, pendidikan memiliki potensi untuk berperan sebagai kendaraan menuju pembebasan sekaligus sebagai salah satu penindasan. Namun demikian, Stephen Brookefield menyoroti sifat ganda dari teori pendidikan Marcuse yakni basis pendidikan yang berbasis pada pengalaman orang dewasa memiliki aspek yang ‘melegitimasi’ masyarakat satu dimensi. Sifat ganda tersebut menjadi sebuah pertentangan yang mencerminkan apa yang Marcuse sebut sebagai “dialektika pendidikan” dalam masyarakat. Artinya, pendidikan dapat berfungsi untuk mengarahkan proses politik secara efektif, tetapi di satu sisi pendidikan juga berfungsi sebagai rasionalitas yang dilembagakan (Cunningham, 2013). Dalam hal ini, sudah jelas bahwa pendidikan yang memproduksi pengetahuan memang terstrukturasi untuk melindungi masyarakat dari perubahan yang radikal..
Sokola Rimba menjadi Pendidikan Kritis-Alternatif sebagai Upaya Pembebasan
Sebagian besar Suku Anak Dalam hidup dengan pola berpindah. Cara mereka untuk bertahan hidup adalah dengan berburu, meramu, dan mengandalkan kepercayaan nenek moyang sebagai proses produksi pengetahuan mereka. Anak-anak Rimba memiliki memori, penglihatan, dan pendengaran yang kuat dan tajam. Mayoritas orang Rimba tidak ingin mengakses sekolah formal karena alasan geografis dan kultural. Hidup mereka yang jauh dari peradaban modern, sehingga urgensi ini menggerakkan hati aktivis muda Indonesia untuk memberikan fasilitas pendidikan baca-tulis-hitung kepada anak-anak Rimba melalui Gerakan Pendidikan Sokola atau lebih dikenal dengan Sokola Rimba.
Pendidikan mulai muncul di Rimba awalnya bermula dari seorang pencinta alam Indonesia yaitu Butet Manurung yang nekat ke Rimba untuk melihat dan berupaya untuk anak-anak Rimba mengenal pendidikan. Butet meyakini bahwa pendidikan yang diberikan melalui belajar baca-tulis-hitung dapat membantu mereka dalam mengatasi masalah dari dunia luar. Namun demikian, anak-anak Rimba menampik bahwa mereka tidak perlu pendidikan. Salah satu muridnya mengatakan “Ibu Guru, apa guna kami bisa membaca dan menulis kalau hutan kami hancur juga? Apa gunanya pintar kalau hidup kami dipaksa oleh aturan Taman Nasional untuk keluar dari hutan” (Anindita et al., 2019). Butet membutuhkan waktu selama tujuh bulan hingga akhirnya mendapatkan kepercayaan dari tiga anak Rimba yang merupakan murid pertamanya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis mencoba membingkai dinamika pendidikan pada Sokola Rimba dengan menggunakan pemikiran Marcuse seputar pendidikan. Kritik pendidikan kritis menjadi salah satu prinsip Marcuse, sebagaimana dijelaskan fungsi teori kritik adalah berupaya mentransformasikan struktur dominan di masyarakat agar manusia terbebaskan dan dapat mengeliminasi represi (Bleich, 1977). Sekolah memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Pada kondisi tersebut, pendidikan seharusnya lebih menaruh perhatian kepada isu-isu fundamental dan esensial seperti meningkatkan humanitas (Nuryanto, 2003). Dalam hal ini, Marcuse menjelaskan bahwa pendidikan memiliki status sebagai wujud pembebasan.
Gagasan Marcuse dapat direfleksikan dalam Sokola Rimba yang notabene menjadi pendidikan kritis-alternatif sebagai upaya pembebasan orang Rimba dari stereotype dan termarjinalkan karena aspek geografis dan kultural. Pemikiran Marcuse terus menentang institusi dan praktik lembaga pendidikan kontemporer sambil memberikan alternatif emansipatoris (Kellner, 2006). Sokola Rimba hadir untuk memberikan pendidikan kritis dan dialogis kepada anak-anak Rimba. Dalam hal ini menjadi relevan dengan pemikiran Marcuse yang menawarkan konsep pedagogi kritis yang lebih penuh harapan dan memberdayakan di mana sebagai upaya untuk melawan sinisme yang merajalela (Heertum & Richard, 2006).
Selanjutnya Marcuse menawarkan analisisnya tentang mekanisme kontrol dan dominasi yang semakin diperkuat dan kompleks. Dalam hal ini, Marcuse mengkonseptualisasikan dalam strategi pedagogis khusus untuk mengatasi rasionalitas dan memperkuat stabilitas baru yang lebih sejalan yang adil, setara, dan manusiawi (Heertum & Richard, 2006). Hal tersebut menjadi relevan dikaitkan dengan Sokola Rimba yang notabene menjadi pendidikan kritis-alternatif untuk anak-anak Rimba yang termarjinalkan oleh keadaan geografis dan kultural. Kemudian secara praksis, anak-anak Rimba dapat mengakses pendidikan dan belajar baca-hitung-tulis melalui Sokola Rimba. Sehingga, dengan kata lain Sokola Rimba menjadi salah satu mediasi untuk pembebasan anak-anak Rimba dari ketertinggalan.
Terdapat model pedagogi pembebasan yang diterapkan oleh guru-guru Sokola Rimba berbasis pada persoalan komunitas adat yang berlangsung dalam tiga tahapan yang berkesinambungan. Tahap pertama adalah fasilitasi literasi dasar berupa pemberian kemampuan teknis baca-tulis-hitung (calistung). Kemampuan dasar bagi kelompok buta aksara tersebut diperlukan sebagai amunisi menghadapi arus perubahan dari dunia luar. Tahap kedua adalah fasilitasi literasi terapan, dimana mereka diarahkan pada fungsionalisasi dalam mengatasi persoalan kehidupan harian dan menguatkan identitas kultural, seperti: materi wawasan kerimbaan berupa dongeng-dongeng, aturan adat, sejarah kawasan, dan sebagainya. Tahap ketiga adalah pengorganisasian dan penguatan internal yaitu proses pembelajaran yang didorong untuk kemandirian komunitas adat dalam menentukan kebijakan pendidikan anak-anak Rimba secara kontekstual (Anindita et al., 2019).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep Marcuse menjadi relevan untuk menganalisis Sokola Rimba yang notabene merupakan pendidikan kritis-alternatif yang berbasis pada pengalaman dan menawarkan konsep pedagogi kritis yang lebih penuh harapan dan memberdayakan anak-anak Rimba. Sebagaimana kritik Marcuse, di era hegemoni neo-konservatif perspektif kritis pendidikan lebih dibutuhkan daripada era sebelumnya. Selain itu juga, karya Marcuse juga menyumbangkan kritik dan visi alternatif sebagai upaya untuk menjaga harapan manusia tetap hidup, merawat optimistik dalam kajian pendidikan, dan membayangkan masa depan yang berbeda dan lebih baik.
Daftar Pustaka
Anindita, A., Manurung, B., Rokhdian, D., Apristawijaya, F., & Fawaz. (2019). Melawan Setan Bermata Runcing.
Barton, A. C. (2001). Capitalism, critical pedagogy, and urban science education: An interview with Peter McLaren. Journal of Research in Science Teaching, 38(8), 847–859. https://doi.org/10.1002/tea.1035
Bleich, H. (1977). The Philosophy of Herbert Marcuse. University Press of America.
Cunningham, J. (2013). Praxis Exiled: Herbert Marcuse and the One Dimensional University. Journal of Philosophy of Education, 47(4), 537–547. https://doi.org/10.1111/1467-9752.12037
Heertum, V., & Richard. (2006). Marcuse, Bloch and Freire: Reinvigorating a Pedagogy of Hope. Policy Futures in Education, 4(1), 45–51. https://doi.org/10.2304/pfie.2006.4.1.45
Kellner, D. (2006). Marcuse’s Challenges to Education. Policy Futures in Education, 4(1), 1–5. https://doi.org/10.2304/pfie.2006.4.1.1
Marcuse. (2014). The One Dimentional Man. In Igarss 2014 (Issue 1).
Nuryanto, M. A. (2003). Teori Kritis dan Pengaruhnya Terhadap Aliran Pendidikan Kritis (pp. 27–60).
Saeng, V. (2012). Herbert Marcsue Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. PT Gramedia Pustaka Utama.
Tholani, M. I. (2013). Problematika Pendidikan di Indonesia ( Telaah Aspek Budaya ). Jurnal Pendidikan, 1(2), 64–74.
DISCLAIMER
|