Dalam beberapa dekade silam, media sosial marak memberitakan mengenai aksi separatisme kelompok kriminal bersenjata yang terjadi di papua. Banyak dari masyarakat kita yang memandang pembelot ini sebagai penghianat negara dan separatis. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk mencapai kemerdekaan, atau pemisahan wilayah, dari negara kesatuan Republik Indonesia. Terdapat banyak pertentangan terhadap kelompok ini, termasuk dari masyarakat Papua sendiri. Mereka tidak ragu untuk menggunakan kekerasan, termasuk pembunuhan dan penyanderaan, baik terhadap individu dari luar Papua, maupun orang Papua sendiri yang membelot, serta terhadap anggota TNI. Namun bagaimana jika fenomena itu tadi kita lihat dari sudut pandang sosiologi Randall Collins? Akankah antagonis dari cerita itu sama? atau justru sebaliknya?
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keberagaman suku, budaya, agama, dan ras di tiap tiap daerah di pulaunya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menciptakan kesetaraan ekonomi dan pembangunan antar-pulau. Namun, realitasnya adalah bahwa kemajuan peradaban, pembangunan yang besar, kualitas pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar. Fenomena ini menimbulkan rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat di luar Pulau Jawa, karena dominasi Jawa dalam segala aspek tersebut.
Sedangkan masyarakat luar pulau jawa yang tertinggal seperti papua, tidak bisa merasakan previllege tersebut. Papua memang sudah dikenal luas sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, mineral dan hasil tambangnya. namun pribuminya sendiri hidup dalam kondisi kemiskinan, kurangnya pendidikan, serta sering menderita penyakit, dan sering kali dihadapkan pada perlakuan rasial. Ironisnya, orang-orang di luar Papua yang mengeruk manfaat dari eksploitasi sumber daya alam dan tambang di Papua, seringkali tidak memperhatikan kesejahteraan orang Papua sebagai penduduk asli yang telah lama tinggal di sana.
Dalam perspektif sosiologi, fenomena ini dapat didekati dengan berbagai teori, namun teori yang paling relevan adalah teori konflik sosial. seorang sosiolog kontemporer Amerika Randall Collins menyampaikan bahwa konflik sosial dalam masyarakat dapat menekankan peran konflik dalam membentuk struktur sosial, ketidaksetaraan, dan perubahan sosial. Teori ini menyoroti ketegangan, pertentangan, dan perjuangan antar kelompok dalam masyarakat sebagai motor utama perubahan sosial, Menurutnya, konflik sosial sering kali dipicu oleh pertukaran simbolik, perbedaan persepsi, atau akumulasi emosi dalam konteks interaksi sehari-hari. Collins menyoroti pentingnya memahami bagaimana emosi, simbol, dan interaksi mikro (antar orang) dalam mempengaruhi timbulnya konflik. Sebagai contoh, kita dapat mempertimbangkan konflik antara kelompok etnis di suatu daerah yang bersaing untuk mengendalikan sumber daya alam tertentu, seperti tanah atau air. Konflik ini mungkin dimulai dari situasi sederhana di mana dua individu dari kelompok yang berbeda saling bersaing untuk mengakses sumber daya tersebut.
Interaksi awal ini dapat memicu pertukaran simbolik yang menunjukkan klaim atas sumber daya, seperti ucapan-ucapan mengancam atau penggunaan simbol-simbol identitas kelompok. Emosi seperti ketegangan, takut, atau kemarahan mungkin mulai muncul saat konflik semakin memanas. Dalam konteks ini di papua, ketidaksetaraan ekonomi dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya menjadi pemicu utama konflik antara Papua dan pemerintah pusat. Masyarakat yang merasa di anak tirikan oleh negara juga membuat simbol simbol identitas kelompok mereka yakni bendera bintang kejora yang kelompok mereka buat. Dalam hal ini, collins mengutarakan bahwa konflik itu memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, seperti memperkuat ikatan kelompok atau memungkinkan komunikasi antara individu dan kelompok. Dalam kasus Papua Merdeka, konflik ini memungkinkan kelompok Papua untuk mengaktifkan diri mereka (eksis) dan mengkomunikasikan aspirasi kemerdekaan mereka kepada pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional di luar sana agar tahu problem apa yang sedang terjadi.
Kemudian daripada itu, Collins juga mempunyai pemikiran tentang Stratifikasi sosial, yang merujuk pada pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan atau kelas-kelas berdasarkan perbedaan status sosial, kekuasaan, dan akses terhadap sumber daya. Dalam konteks konflik Papua, stratifikasi sosial menjadi sangat relevan karena konflik tersebut memiliki akar dari ketidaksetaraan dalam hal status, kekuasaan, dan akses terhadap sumber daya antara penduduk Papua dan pemerintah Indonesia tersebut. perbedaan status sosial antara Papua dan pemerintah Indonesia sangat mencolok. Sejarah kolonialisme sejak zaman belanda dan eksploitasi sumber daya alam di Papua telah menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang signifikan antara kedua belah pihak. Hal ini tercermin dalam rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua dibandingkan dengan rata-rata nasional Indonesia, serta minimnya akses penduduk Papua terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar, hal inilah yang membuat mereka sulit berkembang ketimbang daerah daerah lainya.
Kecemburuan sosial juga berpengaruh dalam fenomena tersebut, bisa dilihat dari perbedaan akses terhadap sumber daya menjadi sumber konflik yang signifikan. Yang mana Papua kaya akan sumber daya alam seperti tambang emas, tembaga, dan gas alam, namun manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya tersebut tidak selalu dirasakan oleh penduduk Papua. Kurangnya partisipasi dan manfaat dari ekonomi sumber daya ini bagi masyarakat Papua menciptakan ketidakpuasan yang menjadi pemicu konflik.
Referensi
Christopher M. Hill, “Book Review: The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification,” Teaching Sociology 48, no. 1 (1 Januari 2020): 68–70.
Albertina Eger L. Nim, “KONFLIK SOSIAL PASCA BERDIRINYA PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWAIT ( Studi Di Areal PT. Harapan Sawit Lestari Dan PT. Ayu Sawit Lestari Di Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang),” SOCIOLOGIQUE, Jurnal Sosiologi 4.
Pemerintah provinsi papua. 2022. “IPM Papua 2022 meningkat 1,27 persen”. https://papua.go.id/
DISCLAIMER
|