Membangkitkan kembali Civic Community pada Desa di Indonesia

 Peningkatan Dana Desa (DD) menjadi pokok yang dirasa krusial dalam berbagai diskusi akhir-akhir ini. Salah seorang legislator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan dilakukannya peningkatan DD minimal sebesar 20 %. Selain itu, dalam berbagai kesempatan, salah satu pasangan calon presiden juga menjanjikan untuk meningkatkan dana desa. Peningkatan ini dianggap akan mampu untuk meningkatkan proses Pembangunan di sektor ekonomi, maupun infrastruktur di Desa.

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK (2022) merilis data terkait tingginya jumlah kasus korupsi terkait dengan penggunaan dana desa. Dari tahun 2015-2022, terdapat 601 korupsi dana desa.  Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat hal yang sama dimana pada tahun 2022 kasus korupsi terbanyak ada di desa dengan 155 kasus.

Di satu sisi, terdapat harapan beragam pihak untuk meningkatkan anggaran dana desa, namun disisi lain, DD seperti menguap begitu saja karena di korupsi. Lantas, apa sebenarnya sebab dari hal tersebut? Bisakah kita mengatasinya hanya dengan meningkatkan Dana Desa? Apa yang seharusnya kita lakukan untuk pengembangan desa-desa di Indonesia?

Collective Action dan Dana Desa

Nurhady Sirimorok (2018) mengemukakan bahwa desa-desa di Indonesia saat ini sudah mulai memudar apa yang disebutnya sebagai kerja kolektif/ Collective action atau kerja Bersama.  Menurutnya, kerja kolektif adalah tindakan terkoordinasi yang melibatkan sekelompok orang dengan kepentingan bersama dan untuk tujuan bersama dan biasanya dilakukan secara sukarela. Melalui perjalanan dan penelitian yang dilakukannya sejak tahun 2015 di desa-desa di Indonesia, ia menemukan 3 pola dari pudarnya kerja kolektif dalam penggunaan dana desa.

Pertama, Kerja kolektif kurang tampak dalam kegiatan berjangka panjang terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Forum musyawarah desa (musdes) lebih banyak diisi tokoh masyarakat yang kebanyakan laki-laki dewasa. Selain itu dalam bidang ekonomi, kelompok-kelompok yang ada di desa lebih berperan aktif saat menyambut barang atau uang bantuan dari dana desa. Kelompok yang ada seperti kelompok tani, ataupun kelompok ekonomi lainnya akhirnya menjadi  ketergantungan. Fungsi kelompok  tidak lebih dari sekedar penampung bantuan atau sekedar untuk alat realisasi anggaran daripada menjadi wadah untuk membicarakan dan menyelesaikan persoalan bersama. Ke dua, kerja kolektif lebih tampak pada kegiatan yang bersifat insidental seperti hajatan kultural yang berhubungan dengan siklus hidup atau pun pada masalah yang terlanjur muncul dan dirasakan banyak orang seperti memperbaiki tanggul air.  Ketiga, Kerja kolektif jangka Panjang hanya tampak dalam bidang keagamaan seperti pengelolaan masjid dan sarana belajar berbasis masjid.

Padahal, disisi lain, kerja-kerja kolektif diberbagai bidanglah yang menjadi faktor yang mempercepat proses pembangunan yang terjadi di desa dari pada bantuan dan anggaran dari luar. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Robert Putnam di Italia. Pada tahun 1993, Putnam meneliti penyebab adanya perbedaan pada proses pembangunan ekonomi yang terjadi di Italia bagian utara dan di bagian selatan. Italia Utara memiliki proses yang lebih baik daripada bagian Selatan. Beberapa daerah dan kota di Italia Utara memiliki status perkembangan yang tidak kalah dengan daerah paling maju di Eropa Utara. Sedangkan Italia bagian Selatan lebih mirip dengan negara berkembang. Putnam kemudian meneliti faktor yang mendasari terjadinya perbedaan diantara keduanya. Hasil penelitiannya pun terwujud dalam karyanya berjudul making democracy work : Civic traditions in modern Italy (1993).

Adapun faktor yang membuat perbedaan ini tidak terkait dengan hadirnya intervensi pihak luar dengan anggaran yang melimpah, ataupun dikarenakan kekayaan alamnya maupun sejarah historis dari wilayah Italia Utara maupun Italia Selatan. Putnam menemukan bahwa kunci dari perbedaan proses pembangunan yang terjadi di Italia ini adalah modal sosial. 

Bagi Putnam, modal sosial adalah cara disusunnya masyarakat yang ditandai jaringan-jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang mempermudah koordinasi dan kerja sama demi manfaat Bersama. Modal sosial adalah hubungan-hubungan satu sama lain yang diadakan para warga Masyarakat dengan suka rela untuk mencapai tujuan yang tidak dapat diwujudkan selama orang berjalan sendiri-sendiri. Contohnya koperasi, atau Badan Usaha Milik Desa / BUMDes.

Tiga unsur pokok dalam modal sosial adalah kepercayaan, resiprositas/hubungan timbal balik dan jaringan antar masyarakat. Masyarakat yang memiliki modal sosial ini Lantas disebut Putnam sebagai civic community dimana hal ini sangat   dekat dengan konsep civil society.

Lebih lanjut, Putnam menyebutkan bahwa ciri-ciri dari Civic community yaitu para anggota Masyarakat secara aktif melibatkan diri dalam urusan umum. Mereka mengutamakan persamaan. Ada hak dan kewajiban yang sama bagi semua. Sifat-sifat yang menonjol adalah solidaritas, kepercayaan, dan toleransi serta terdapat banyak struktur sosial yang beralaskan kerja sama yang baik dalam berbagai bentuk.

Namun, itu pulalah yang sekarang mulai memudar di desa-desa kita di Indonesia. kita melihat memudarnya kepercayaan antar masyarakat, hubungan resiprositas atau timbal balik satu sama lain yang perlahan terkikis, dan semakin surutnya jaringan yang memperkuat ikatan Masyarakat. Hal ini diperparah dengan penyalahgunaan dana desa yang dilakukan oleh segelintir oknum yang menjalankan pemerintahan di desa.

Lantas apa yang perlu kita lakukan kini untuk mengatasi hal ini? Apa yang dikatakan Putnam dalam akhir tulisannya patut kita cermati. Ia menyatakan bahwa pemerintahan yang amburadul seperti yang kita temukan pada beragam pemerintahan desa di Indonesia saat ini tidak bisa diatasi hanya dengan menanamkan modal (finansial) sebanyak- sebanyaknya. Ia menyarankan untuk mengatasi keadaan itu perlu mengembangkan modal sosial.

Modal sosial lah  faktor penting yang harus terus dikembangkan di desa-desa di Indonesia. Kita sudah punya collective memori gotong royong dan kerja bersama.  Hal inilah yang harusnya kembali diperkuat melalui sederetan kerja-kerja pengorganisasian masyarakat demi membangun kembali prakarsa warga dalam mengembangkan kerja-kerja kolektif dan membangun modal sosialnya. Hanya dengan cara tersebut, desa-desa kita dapat menuju pada civic community dan mewujudkan proses pembangunan yang berkeadilan, mendorong partisipasi bermakna setiap anggota Masyarakat dalam bahu membahu mewujudkan desa yang Sejahtera.

Martin Dennise Silaban, S.Si
Penulis: Martin Dennise Silaban, S.Si
Tentang Saya
Community Organizer di Yayasan SHEEP Indonesia, Yogyakarta

DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini