Masyarakat kota dan desa sama sama memiliki asa untuk hidup tentram dan sejahtera, untuk mengupayakan kesejahteraan, di dalam kedua kelompok masyarakat tersebut terdapat takaran yang sedikit berbeda yaitu masyarakat kota condong merasa sejahtera jika ia memiliki harta benda yang dapat di gunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serta memiliki banyak uang, demikian membuat mereka merasa ada serta dengan demikian pula mereka merasa cukup sejahtera.
Sedangkan masyarakat desa dalam takaran kesejahteraannya yaitu dengan ia dapat bermasyarakat dengan baik, berkumpul dan berkontribusi langsung dengan sekitarnya meskipun mereka kadang tenggelam dalam golongan yang kurang memiliki harta benda atau barang barang mewah dan minim uang untuk membeli segala keinginannya, namun dengan mereka dapat berbaur dan saling tolong menolong secara langsung dengan masyarakat sekitarnya mereka sudah merasa cukup ada dan sejahtera.
Meskipun demikian, di zaman sekarang, kedua takaran tersebut tidak lagi dapat dijadikan sebagai tanda yang signifikan sebab adanya pemerataan sumber informasi, pendidikan, teknologi dan akses yang sudah masuk menyebar luas dengan mudahnya hingga pelosok desa sehingga dengan demikian kebiasaan masyarakat kota juga dapat di rasakan atau mempengaruhi pola pola masyarakat desa, disadari maupun tidak.
Akan tetapi bukan berarti semua itu telah menghilangkan perbedaan dalam sektor-sektor lain antara masyarakat desa dan kota. Bagaimana tidak, bahwa masih banyak masyarakat kota yang berstigma buruk terhadap masyarakat desa yang norak dan tidak berpendidikan. Sebaliknya pula bahwa banyak dari masyarakat desa beranggapan bahwa masyarakat kota lebih unggul dari mereka, bahkan juga ada yang beranggapan bahwa masyarakat kota adalah orang orang egois, individualis tidak bermasyarakat dan lebih parah lagi dianggap orang yang minim jiwa kemanusiaannya.
Jika ditelisik lebih dalam, persoalan kemanusiaan sebenarnya tidak dapat di petakan melalui geografisnya ataupun tata letak tempat tinggalnya, baik penduduk yang tinggal di desa ataupun kota. Sebab kemanusiaan melekat pada jiwa seseorang, bukan melekat pada status sosialnya. Jika dibilang orang kota tidak manusiawi, lantas bukti apa yang dapat menjustifikasi secara kongkrit akan hal itu? Demikian pula apa bukti kongkrit jika dikatakan bahwa masyarakat desa lebih manusiawi? Banyak yang salah paham akan hal tersebut dan tidak dapat memilah mana yang memiliki arti kemanusiaan dan mana yang memiliki arti solidaritas.
Masyarakat desa yang cenderung melaksanakan pekerjaan secara kolektif dianggap lebih manusiawi dari pada masyarakat kota yang ketika menyelesaikan pekerjaannya cenderung dilakukan sendiri-sendiri. Dari itu, mereka tidak mengerti perbedaan di antara keduanya. Masyarakat yang mendefinisikan seperti itu adalah masyarakat yang hanya bersikap apriori tidak mencari makna sebenarnya yang terkandung secara jelas ataupun tersirat dalam istilah-istilah yang bersangkutan seperti mendeskripsikan solidaritas adalah masyarakat yang hanya melakukan pekerjaan secara gotong-royong dan bersama sama. Padahal menurut Emile Durkhaim, masyarakat memiliki dua tipe solidaritas yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik, yang mana kedua tipe ini memiliki perbedaan;
- Solidaritas mekanik merupakan solidaritas yang cenderung lahir dari masyarakat desa atau masyarakat yang sederhana. Solidaritas ini terbentuk atas kesadaran bersama atau kolektif.
- Solidaritas organik adalah solidaritas yang biasanya lahir di masyarakat perkotaan atau di dalam masyarakat yang kompleksitas pembagian kerjanya tinggi, sehingga bentuk kesadaran kolektifnya rendah, sehingga pembagian kerja sudah jelas terbagi bagi atas kelompok masing-masing bahkan sesuai profesi dan keahliannya.
Dari sedikit penjelasan di atas jelas bahwa tidak dapat di katakan masyarakat desa memiliki solidaritas yang lebih tinggi dari pada masyarakat kota, karena sebenarnya antara masyarakat desa dan kota sama-sama memiliki solidaritas namun dengan jenis yang berbeda.
Beda lagi ketika berbicara persoalan kemanusiaan, jika diradikalkan bahwa tidak seharusnya istilah egois dan kejam di timpuk-kan terhadap masyarakat kota. Seperti yang saya katakan di atas bahwa kemanusiaan tidak melekat pada status sosial atau tempat di mana seseorang tinggal, sebab kemanusiaan sejati melekat secara alami pada jiwa seseorang.
Saya sebagai seorang yang tinggal di desa merasa muak mendengar fitnah-fitnah orang desa akan ketidakmanusiawian orang kota, padahal masyarakat desa pun sebetulnya layak dibilang tidak manusiawi. Buktinya banyak masyarakat desa yang melakukan tindakan dehumanisasi, seperti halnya suka ngomongin tetangga, suka fitnah tetangga, mencuri ayam tetangga dan salah satunya memaksakan kepercayaannya untuk orang lain yang memiliki unsur fanatik destruktif. Sehingga saya tekankan lagi bahwa tidak seharusnya kita mengatakan bahwa masyarakat desa ataupun kota yang diberi cap tidak manusiawi atau manusiawi, sebab kemanusiaan kembali pada tiap individu masyarakatnya sejauh mana mereka mengeksplor arti kemanusiaannya.
Secara radikal, yang sebagian orang anggap bahwa sikap soliter masyarakat kota dianggap tidak manusiawi sebenarnya di sana terdapat sikap manusiawi yang tersimpan, namun berhakikat arti kemanusiaan, seperti bagaimana toleransi masyarakat kota lebih tinggi di bandingkan masyarakat desa, dengan tidak terlalu membicarakan soal masalah pribadi tetangga. Di situlah arti kemanusiaannya, tidak ikut campur dalam arti merusak, namun mereka siap membantu ketika diminta pertolongannya.
Selain itu masih banyak cara untuk masyarakat yang dikenal dengan individualitasnya dan sikap soliternya untuk menunjukkan sikap kemanusiaan, kesetiakawanan atau sikap solider terhadap masyarakat sekitarnya. Tidak ada jalan suram bagi mereka yang dikucilkan sebagai manusia yang tidak manusiawi untuk melakukan tindakan kemanusiaan.
DISCLAIMER
|