Memahami Agama: Perspektif Durkheim, Weber dan Marx

Pada zaman modern ini, hampir tiap masalah yang terjadi selalu dikaitkan dengan agama. Memang benar, sebagian masalah terkait dengan agama. Tapi apabila masalah tersebut berkaitan dengan agama, apakah masyarakat akan mengerti apa akar masalahnya? Sebagian orang terkadang belum mengerti mengenai agama dan hanya berlandaskan keyakinan dan kebenaran tafsiran yang diyakini untuk menyelesaikan problematika. Nyatanya, dalam suatu penyelesaian masalah tidak hanya satu jalan keluar melainkan ada banyak.

Menelisik Pemikiran Anthony Giddens tentang Manusia Sebagai Agen Berkesadaran

Anthony Giddens - Sumber: WikipediaAnthony Giddens - Sumber: WikipediaAnthony Giddens barangkali menjadi salah satu pemikir termasyur abad ini, terutama dalam bidang ilmu sosiologi. Sumbangsih pemikirannya sangat fundamental terutama dalam menjembatani persoalan paradigma dalam ilmu sosial, mungkin kita sudah cukup familiar dengan istilah sosiologi makro dan sosiologi mikro beserta konsekuensi metodisnya, dua paradigma besar ini menghegemoni perkembangan sosiologi dalam beberapa dekade terakhir. Dua paradigma ini juga yang mengilhami Giddens dalam perjalanan intelektualnya, melalui magnum opusnya, teori strukturasi, ia melakukan kritik habis-habisan terhadap dua paradigma tadi. Sederhananya, teori ini mengatakan bahwa tidak semestinya kita melakukan pemisahan antara struktur dan agen dalam mengkaji suatu realitas sosial. Keduanya merupakan dualitas tak terpisahkan dalam membentuk dunia sosial, maka yang seharusnya kita lihat adalah praktik sosial yang terbentuk sebagai konsekuensi dari dualitas struktur dan agen ini.

Menggugat Filsafat Modern (Perkenalan Amat Singkat dengan Gagasan Postmodern)

Dekonstrukcja-LEGO Philosophy - Sumber. Flickr ImageDekonstrukcja-LEGO Philosophy - Sumber. Flickr Image

Perjalanan ilmu sosial kerap diwarnai perdebatan-perdebatan sengit, bukan hanya tentang klaim-klaim teoretisnya, tetapi juga pada metode keilmuan yang dikembangkannya. Di Jerman misalnya, perdebatan soal metode ilmu sosial pernah beberapa kali mengemuka sebagai wacana publik yang panas dan melibatkan para ilmuwan sosial terkemuka pada saat itu, seperti Windleband, Dilthey, dan Max Weber. Perdebatan-perdebatan yang dikenal dengan istilah methodenstreit tersebut tampaknya masih belum mampu membawa ilmu sosial beranjak dari alam pikir positivistik, sampai akhirnya muncul perdebatan yang oleh publik Jerman dikenal dengan positivismunsstreit (perdebatan tentang positivisme) yang melibatkan Karl Popper dan Hans Albert di satu pihak, berhadapan dengan Adorno dan Habermas di pihak lain (Hardiman 2009:29–32).

Walaupun positivismunsstreit tak menghasilkan kata sepakat, tapi saat itu positivisme yang mendasari perkembangan teori-teori sosial modern mendapat serangan yang sangat sengit untuk pertama kalinya. Melalui perdebatan ini, publik ilmuwan sosial akhirnya memiliki alternatif lain di luar positivisme yang kala itu sangat hegemonik, bahkan hingga kini. Berbagai kritik terhadap positivisme yang dikemukakan Adorno dan Habermas dalam perdebatan itu kemudian dikenal sebagai cikal bakal perkembangan teori kritis (Franckfurt School).

Menimbang Gagasan Islamisasi Ilmu Sosial

Dalam sejarah peradaban modern, ilmu pengetahuan dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang saling berebut kekuasaan. Abad Pertengahan adalah abad kekuasaan agama. Agama adalah “kaisar” yang kekuasaannya sangat absolut. Agama tidak hanya menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan oleh manusia tapi juga apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan. Semboyannya, “di luar wahyu, tidak ada kebenaran”. Renaissance adalah kudeta atas kekuasaan agama. Rasio kemudian dinobatkan sebagai “kaisar” baru dengan kekuasaan yang tak kalah absolut dengan yang pertama. Semboyannya, “di luar rasio, tidak ada kebenaran”. Rasio menjadi penentu benar dan salah. Segala sesuatu yang bertentangan dengan rasio dicap sebagai mitos. Agama adalah korban pertamanya.

One-Dimensional Man Herbert Marcuse

Menurut Marcuse, masyarakat industri modern telah menciptakan sebuah sistem yang disebut sebagai "sistem satu dimensi", yang merujuk pada cara masyarakat tersebut mengendalikan pemikiran dan tindakan individu melalui berbagai cara seperti media massa, pendidikan, dan budaya populer.

Para Pengikut Gerakan Massa: Menimbang Gagasan Eric Hoffer

Peserta Aksi Bela Islam 313 - Dok. Wikipedia IndonesiaPeserta Aksi Bela Islam 313 - Dok. Wikipedia IndonesiaEverything flows and nothing stays”, ujar Heraclitus, filosof Yunani Abad ke-5 SM (Microsoft 2005). Begitulah kira-kira hukum yang berlaku secara universal di dunia ini. Perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perubahan sama pastinya dengan kematian. Segala aspek kehidupan manusia tidak pernah bisa mengelak dari hukum perubahan ini.

Sebagian besar perubahan berjalan secara alamiah atau terlihat alamiah, sementara perubahan lain harus dipaksakan agar dapat terwujud menjadi kenyataan. Hal ini karena suatu perubahan selalu bersifat sistemik, berimplikasi pada perubahan lain (Macionis 2008, 633), sehingga sebuah gerak berubah tak jarang menghendaki adanya perubahan tidak saja pada aspek-aspek kultural tapi juga struktural. Oleh sebab itu, bagi mereka yang tengah menikmati kemapanan—baik secara politik, ekonomi maupun kultural—perubahan adalah juga berarti ancaman bagi kekuasaan mereka. Sementara bagi kelompok/kelas yang tak ikut menikmati kemapanan, perubahan adalah jalan untuk mengubah nasib. Bagi kelompok ini, harapan untuk mengubah nasib dan keadaan adalah daya hidup yang mampu menggerakkan mereka untuk ikut serta dalam gerakan-gerakan sosial.

Pemberian Label, Salah Satu Penyebab Seseorang Melakukan Penyimpangan

Teori Labelling yang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert menyatakan bahwa seseorang yang diberi cap sebagai seorang penyimpang (deviant) akan cenderung melanjutkan perilaku menyimpang tersebut. Salah satu penyebab berlanjutnya tindakan penyimpangan di masyarakat adalah adanya pemberian label. Pemberian label membuat seseorang merasa bahwa dirinya merupakan orang yang buruk atau setidaknya dinilai buruk oleh masyarakat. Hal ini menurunkan semangat bahkan menghilangkan motivasi seseorang untuk menjadi orang yang lebih bisa diterima di masyarakat.  

Penggunaan Platform Tiktok Persepektif Sosiologi Klasik

Platform TiktokPlatform TiktokTikTok dapat dilihat sebagai media sosial yang meningkatkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial di masyarakat. TikTok dapat dianggap sebagai alat yang digunakan oleh kelas pemilik modal untuk memonopoli sumber daya dan kekuasaan masyarakat

Relasi Agama & Modernitas: Menggugat Teori Sekularisasi

Tulisan ini hendak mengkaji relasi agama dan modernitas dalam konteks teori sekularisasi. Kritik metodologis atas teori sekularisasi menjadi konsentrasi utama dalam tesis ini. Dalam kaitannya dengan persoalan ini, menarik untuk dikaji sebab-sebab metodologis yang menyebabkan teori ini pada akhirnya menemui kegagalan.
 
Konsep dasar teori sekularisasi terangkum dalam tiga tesis: pertama, proses modernitas sesungguhnya menyebabkan terjadinya kemerosotan relijiusitas dalam kehidupan manusia. Kedua, Sekularisasi juga meniscayakan terjadinya privatisasi agama. Modernitas yang mengusung panji-panji rasionalitas akan mendepak agama dari wilayah publik dan mempersempit ruang geraknya menjadi tak lebih dari urusan privat. Ketiga, modernitas memberikan pilihan-pilihan yang sangat beragam pada masyarakat untuk mendefinisikan dunia. Agama tidak bisa lagi memiliki privilege sebagai satu-satunya penguasa atas definisi dunia. Agama harus masuk dalam situasi pasar dan bersaing dengan lawan-lawan relijius lain dan nonrelijius untuk memasarkan definisinya atas dunia.

Sociology of Food: Perspektif Marx, Durkheim, dan Feminism

Para sosiolog memiliki cara pandang unik dan beragam dalam melihat realitas sosial, termasuk soal makanan.  Sebagaimana pembahasan kita sebelumnya (Baca: Sociology of Food: You Are What You Eat!), makanan bukan melulu soal rasa, tetapi terutama soal nilai-nilai sosio-kultural sebuah masyarakat. Marx menyebut commodiy fetishism sebagai bagian dari karakter masyarakat kapitalis. Melalui kacamata Durkheim, kita bisa melihat makanan sebagai sebuah totem. Semantara feminist perspective melihat makanan sebagai bagian dari proses gender segregation.

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini